Hukum Tari-tarian dengan Lenggak-lenggok

 
Hukum Tari-tarian dengan Lenggak-lenggok

Hukum Tari-tarian dengan Lenggak-lenggok

Pertanyaan :

Bagaimana hukum tari-tarian dengan lenggak-lenggok dan gerak lemah gemulai?

Jawaban :

Muktamar memutuskan bahwa tari-tarian itu hukumnya boleh meskipun dengan lenggang-lenggok dan gerak lemah gemulai selama tidak terdapat gerak kewanita-wanitaan bagi kaum laki-laki, dan gerak kelaki-lakian bagi kaum wanita. Apabila terdapat gaya-gaya tersebut maka hukumnya haram.

Keterangan, dalam kitab:

  1. Ithaf Sadah al-Muttaqin[1]

وَلْنَذْكُرْ مَا لِلْعُلَمَآءِ فِيْهِ أَيْ فِي الرَّقْصِ مِنْ كَلاَمٍ فَذَهَبَتْ طَآئِفَةٌ إِلَى كَرَاهَتِهِ مِنْهُمْ الْقَفَّالُ حَكَاهُ عَنْهُ الرَّوْيَانِيُّ فِي الْبَحْرِ. وَقَالَ اْلأُسْتَاذُ أَبُوْ مَنْصُوْرِ تَكَلُّفُ الرَّقْصِ عَلَى اْلإِيْقَاعِ مَكْرُوْهٌ وَهَؤُلاَءِ احْتَجُّوْا بِأَنَّهُ لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَهُوَ مَكْرُوْهٌ وَذَهَبَتْ طَآئِفَةٌ إِلَى إِبَاحَتِهِ قَالَ الْفَوْرَانِي فِيْ كِتَابِهِ الْعُمْدَةِ الْغَنَّاءُ يُبَاحُ أَصْلُهُ وَكَذَلِكَ ضَرْبُ الْقَضِيْبِ وَالرَّقْصُ وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ. قَالَ إِمَامُ الْحَرَمَيْنِ الرَّقْصُ لَيْسَ بِمُحَرَّمٍ فَإِنَّهُ مُجَرَّدُ حَرَكَاتٍ عَلَى اسْتِقَامَةٍ أَوِ اعْوِجَاجٍ وَلَكِنْ كَثِيْرُهُ يُحَرِّمُ الْمُرُوءَةَ وَكَذَلِكَ قَالَ الْمَحَلِّي فِي الدَخَائِرِ وَابْنُ الْعِمَادِ السَّهْرَوَرْدِي وَالرَّافِعِيُّ وَبِهِ جَزَمَ الْمُصَنِّفُ فِي الْوَسِيْطِ وَابْنُ أَبِي الدَّمِ وَهَؤُلاَءِ احْتَجُّوْا بِأَمْرَيْنِ ؛ السُّنَّةُ وَالْقِيَاسُ. أَمَّا السُّنَّةُ فَمَا تَقَدَّمَ مِنْ حَدِيْثِ عَائِشَةَ قَرِيْبًا فِي زَفْنِ الْحَبَشَةِ وَحَدِيْثِ عَلِيٍّ فِيْ حِجْلِهِ وَكَذَا جَعْفَرُ وَزَيْدٌ. وَأَمَّا الْقِيَاسُ فَكَمَا قَالَ إِمَامُ الْحَرَمَيْنِ حَرَكَاتٌ عَلَى اسْتِقَامَةٍ أَوِ اعْوِجَاجٍ فَهِيَ كَسَآئِرِ الْحَرَكَاتِ. وَذَهَبَ طَائِفَةٌ إِلَى تَفْصِيْلٍ فَقُلْتُ إِنْ كَانَ فِيهِ نَتْنٌ وَتَكَسُّرٌ فَهُوَ مَكْرُوْهٌ وَإِلاَّ فَلاَ بَأْسَ بِهِ. وَهَذَا مَا نَقَلَهُ ابْنُ أَبِي الدَّمِ عَنِ الشَّيْخِ أَبِيْ عَلِيِّ بْنِ أَبِيْ هُرَيْرَةَ، وَكَذَا مَا نَقَلَهُ الْحَلِيمِيُّ فِيْ مَنْهَاجِهِ وَهَؤُلاَءِ احْتَجُّوْا بِأَنَّ فِيْهِ التَّشَبُّهُ بِالنِّسَاءِ وَقَدْ لُعِنَ الْمُتَشَبِّهُ بِهِنَّ. وَذَهَبَ طَائِفَةٌ إِلَى أَنَّهُ إِنْ كَانَ فِيهِ نَتْنٌ وَتَكَسُّرٌ فَهُوَ مَكْرُوْهٌ وَإِلاَّ فَلاَ. وَهَذَا مَا أَوْرَدَهُ الرَّافِعِيُّ فِي الشَّرْحِ الصَّغِيْرِ وَحَكَاهُ فِي الشَّرْحِ الْكَبِيْرِ عَنِ الْحَلِيْمِي وَحَكَاهُ الْجِيْلِي فِي الْمُحَرَّرِ

Para ulama berbeda pendapat tentang tarian, sebagian ada yang memakruhkan seperti Imam al-Qaffal dan al-Rauyani dalam kitab al-Bahr. Demikian halnya menurut Ustadz Abu Manshur, memaksakan tarian bisa serasi dengan irama itu hukumnya makruh. Mereka berargumen bahwa nyanyian itu termasuk laibun wa lahwun (permainan dan senda gurau) yang dimakruhkan. Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa tarian itu hukumnya mubah menurut al-Faurani dalam kitab al-Umdah, nyanyian itu pada dasarnya adalah mubah demikian pula bermain drum, tarian dan yang semisalnya.

Menurut Imam al-Haramain, tarian itu tidak haram karena hanya sekedar gerakan olah gerak lurus dan goyang, akan tetapi jika terlalu banyak, dapat menyebabkan rusaknya kehormatan diri. Pendapat ini senada dengan al-Mahalli dalam kitab al-Dakhair, Ibn al-Imad al-Sahrawardi, Imam al-Rafi’i, sang pengarang (al-Ghazali) dalam kitab al-Wasiith yang mantap dengan pendapat tersebut, dan Ibn Abi Dam. Mereka berargumen dengan dua hal: hadist dan qiyas. Adapun hadistnya adalah sebagaimana yang telah lalu dari hadist Aisyah  tentang tarian orang-orang Habsy, demikian halnya dengan hadis Ali tentang gerak lompatannya serta yang dilakukan oleh Ja’far dan Zaid. Adapun qiyasnya adalah, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam al-Haramain (tarian) erupakan babarapa olah gerak lurus dan goyang, sama dengan gerakan-gerakan lainnya.

Menurut sebagian ulama tarian tersebut harus dirinci, jika dalam tarian itu ada unsur ketidakopanan dan lemah gemulai, maka hukumnya makruh. Jika unsur tersebut tidak ada, maka tarian itu boleh (tidak apa-apa). Inilah yang dikutip oleh Ibn Abi Dam dari Syeikh Abu Ali bin Abu Hurairah. A-Halimi juga mengutip seperti itu dalam kitab Manhajnya. Mereka berargumen bahwa dalam tarian itu ada kecenderungan untuk bergaya perempuan, padahal orang yang berpura-pura dan bergaya  perempuan itu telah dilaknat. Kelompok ulama lain berpendapat bahwa tarian yang mengandung unsur ketidakopanan dan lemah gemulai, maka hukumnya haram. Jika unsur tersebut tidak ada, maka hukumnya tidak haram.

Demikian yang disampaikan oleh Imam Rafi’i dalam kitab Syarah al-Shagir dan beliau meriwayatkan statemen di atas dalam Syarh al-Kabir dari Imam Halimi, dan al-Jili meriwayatkan statemen tersebut dalam kitab al-Muharrar.

  1. Mauhibah Dzi al-Fadhl[2]

لَعَنَ اللهُ الْمُخَنِّثِيْنَ مِنَ الرِّجَالِ وَالْمُتَرَجِّلاَتِ مِنَ النِّسَاءِ قَالَ الْعَزِيْزِيّ وَلاَ يَجُوْزُ لِرَجُلٍ التَّشَبُّهُ بِامْرَأَةٍ فِيْ نَحْوِ لِبَاسٍ أَوْ هَيْئَةٍ وَلاَ عَكْسَ لِمَا فِيْهِ مِنْ تَغْيِيْرِ خَلْقِ اللهِ تَعَالَى.

“Allah melaknat laki-laki yang bergaya menyerupai wanita, dan wanita yang bergaya menyerupai laki-laki. Al-Azizi menyatakan: “Laki-laki dilarang menyerupai wanita dalam berpakaian ataupun sikap. Begitu juga sebaliknya (perempuan dilarang menyerupai laki-laki), karena hal itu termasuk mengubah ciptaan Allah Swt.

[1] Murtadha al-Zabidi, Ithaf Sadah al-Muttaqin, (Beirut: Maktabah Dar al-Fikr, t.th.), Juz VI, h. 567.

[2] Muhammad Mahfudz al-Tarmasi al-Jawi, Mauhibah Dzi al-Fadhl, (Mesir: al-Amirah al-Syarafiyah, 1326 H), Jilid IV, h. 713.

 

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 26

KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-1

Di Surabaya Pada Tanggal 13 Rabiuts Tsani 1345 H. / 21 Oktober 1926 M.