Penjelasan Hak Keuntungan dari Penambahan Harga Barang

 
Penjelasan Hak Keuntungan dari Penambahan Harga Barang

Menambah Harga Barang dari Ketentuan

Pertanyaan :

Apabila seorang wakil (verkoper) untuk menjualkan barang seharga Rp. 55,- misalnya, dengan ketentuan ia mendapat persen Rp. 2,-. Kemudian barang tersebut dijualnya dengan harga Rp. 60,- (laba Rp. 5,-). Siapakah yang berhak menerima keuntungan tersebut. Pemilik barang ataukah wakilnya?

Jawab :

Keuntungan tersebut menjadi hak pemilik barang, bukan hak wakilnya.

Keterangan, dalam kitab:

  1. Syarh al-Mahalli 'ala al-Minhaj[1]

(وَإِنْ قَالَ بِعْ بِمِائَةٍ لَمْ يَبِعْ بِأَقَلَّ) مِنْهَا (إِلاَّ اَنْ يُصَرِّحَ بِالنَّهْيِ) عَنِ الزِّيَادَةِ فَلاَ يَزِيْدُ. إهـ.

Seandainya pemilik barang berkata kepada (pesuruhnya): “Juallah barang tersebut seharga seratus”, maka ia tidak boleh menjualnya kurang dari seratus, kecuali bila si pemilik barang tersebut dengan jelas melarang lebih dari seratus, maka ia tidak boleh menjualnya lebih dari padanya.

  1. Futuhat al-Wahhab[2]

وَمِنْهُ يُؤْخَذُ اِمْتِنَاعُ مَا يَقَعُ كَثِيْرًا مِنْ اِخْتِيَارِ شَخْصٍ حَاذِقٍ لِشِرَاءِ مَتَاعٍ فَيَشْتَرِيْهِ بِأَقَلَّ مِنْ قِيْمَتِهِ لِحَذْقِهِ وَمَعْرِفَتِهِ وَيَأْخُذُ لِنَفْسِهِ تَمَامَ الْقِيْمَةِ مُعَلِّلاً ذَلِكَ بِأَنَّهُ هُوَ الَّذِي وَفَّرَهُ لِحِذْقِهِ وَأَنَّهُ فَوَّتَ عَلَى نَفْسِهِ أَيْضًا زَمَنًا يُمْكِنُهُ فِيْهِ اْلإِكْتِسَابُ فَيَجِبُ عَلَيْهِ رَدُّ مَا بَقِيَ لِمَالِكِهِ لِمَا ذُكِرَ مِنْ اِمْكَانِ مُرَاجَعَةٍ إلخ فَتَنَبَّهْ لَهُ فَاِنَّهُ يَقَعُ كَثِيْرًا. إهـ. Dengan demikian dapat dipahami terlarangnya kasus yang banyak terjadi tentang usaha seseorang yang cerdik untuk memberi suatu barang, kemudian dengan kecerdikan dan pengetahuannya ia bisa membeli barang tersebut dengan harga yang lebih murah (dari harga yang telah ditentukan oleh yang menyuruhnya), dan mengambil (kelebihan) dari harga sepenuhnya untuk dirinya sendiri dengan alasan, bahwa yang demikian itu berkat kecerdikannya dan bahwa ia telah menghabiskan waktu yang bisa digunakan untuk bekerja. Maka ia harus mengembalikan kelebihan tersebut kepada si pemilik uang yang menyuruhnya. Karenanya, maka waspadalah karena hal semacam ini banyak terjadi.

[1]   Jalaluddin al-Mahalli, Syarah Mahalli ‘ala Minhaj, (Indonesia: al-Haramain, t. th.), Jilid II, h. 432.

[2]   Sulaiman al-Jamal, Futuhat al-Wahhab, (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-Arabi, t. th), Jilid III, h. 348.

 

Sumber: Ahkamul Fuqaha no.80

KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-4

Di Semarang Pada Tanggal 14 Rabiuts Tsani 1348 H. / 19 September 1929 M.