Hukum Anak yang Dilahirkan oleh Istri, Ketika Suami Pergi selama Kurang atau Sampai dengan 4 Tahun

 
Hukum Anak yang Dilahirkan oleh Istri, Ketika Suami Pergi selama Kurang atau Sampai dengan 4 Tahun

Suami Pergi Sampai 4 Tahun

Pertanyaan :

Bagaimana pendapat Muktamar tentang seorang istri yang melahirkan anak kemudian suaminya bepergian sampai empat tahun atau kurang, kemudian istri tersebut melahirkan lagi seorang anak kedua dan ia menyatakan (ikrar) bahwa ia tidak bersetubuh dengan seseorang lelaki baik suaminya sendiri maupun orang lain.

Apakah anak kedua itu menjadi anaknya suami yang bepergian tersebut?

 

Jawab :

Bila anak yang kedua itu lahir sebelum lewat enam bulan dari kelahiran pertama, maka anak itu menjadi anak kembar, dan menjadi anak dari suami yang bepergian tersebut, dan apabila anak kedua itu lahir sesudah lewat enam bulan dan ada kemungkinan bersetubuh dengan suaminya sesudah kelahiran pertama dan si suami tidak memungkirinya dengan angkat sumpah (lian), maka anak itu menjadi anak dari suami tersebut, apabila tidak ada kemungkinan bersetubuh dengan suaminya sesudah kelahiran pertama dan/atau si suami memungkirinya dengan angkat sumpah (lian), maka kandungan kedua itu hukumnya kandungan zina dalam arti tidak ada iddah dan boleh dikumpuli, dan juga hukumnya kandungan syubhat dalam arti tidak ada had (pidana), tidak ada qadzaf (dakwaan zina) dan menghindari persangkaan buruk.

Keterangan, dalam kitab:

  • Hasyiyah Al-Bajuri[1]

وَضَابِطُ التَّوْأَمَيْنِ بِأَنْ لاَ يَتَخَلَّلَ بَيْنَهُمَا سِتَّةُ أَشْهُرٍ بِأَنْ وُلِدَا مَعًا أَوْ تَخَلَّلَ بَيْنَهُمَا دُوْنَ سِتَّةِ أَشْهُرٍ. فَإِنْ تَخَلَّلَ بَيْنَهُمَا سِتَّةَ أَشْهُرٍ فَأَكْثَرُ هُمَا حَامِلاَنِ لاَ تَوْأَمَانِ. Batasan pengertian anak kembar adalah bila di antara kedua anak kembar tersebut tidak berselang selama enam bulan, atau berselang kurang dari enam bulan. Jika di antara keduanya berselang enam bulan atau lebih, maka merupakan dua kehamilan dan bukan dua anak kembar.

  1. Bughyah al-Mustarsyidin[2]

فَعُلِمَ أَنَّ كُلَّ امْرَأَةٍ حَمَلَتْ وَأَتَتْ بِوَلَدٍ أَمْكَنَ لُحُوْقُهُ بِزَوْجِهَا لَحِقَهُ وَلَمْ يَنْتَفِ عَنْهُ إِلاَّ بِاللِّعَانِ وَإِنْ لَمْ يُمْكِنْ كَأَنْ طَالَتْ غَيْبَةُ الزَّوْجِ بِمَحَلٍّ لاَ يُمْكِنُ اجْتِمَاعُهُمَا عَادَةً كَانَ حُكْمُ الْحَمْلِ كَالزِّنَا بِالنِّسْبَةِ لِعَدَمِ وُجُوْبِ الْعِدَّةِ وَجَوَازِ نِكَاحِهَا وَوَطْئِهَا وَكَالشُّبْهَةِ بِالنِّسْبَةِ لِدَرْءِ الْحَدِّ وَالْقَذَفِ وَاجْتِنَابِ سُوْءِ الظَّنِّ.

Maka diketahui bahwa setiap wanita yang hamil dan melahirkan anak, yang mungkin nasabnya ditemukan dengan suaminya maka anak itu menjadi anaknya, dan suami tersebut tidak bisa mengingkarinya kecuali dengan sumpah li’an. Dan jika nasabnya tidak mungkin bertemu dengan suaminya, seperti berada di suatu tempat yang secara ‘adatnya tidak mungkin terjadi pertemuan antara keduanya, maka hukum kehamilannya itu seperti kehamilan dari perzinaan dalam hal tidak adanya kewajiban ber’iddah, boleh menikahi dan menyetubuhinya, dan hukumnya seperti syubhat (kehamilan dengan selain suami tanpa kesengajaan berzina) dalam hal tidak diberlakukan had perzinaan, tuduhan berzina dan menghindari buruk sangka terhadapnya.

[1]   Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib, (Surabaya: al-Hidayah, t. th.), Jilid II, h. 169. Redaksi ini tidak ditemukan dalam Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib, namun subtansinya banyak dicantumkan dalam beberapa kitab fiqh madzhab Syafi’i, seperti al-Iqna’ dalam pasal tentang Li’an dan I’anah al-Thaliban dalam pasal tentang ‘Iddah berikut ini: وَلَا يَصِحُّ نَفْيُ أَحَدِ تَوْأَمَيْنِ بِأَنْ لَمْ يَتَخَلَّلْ بَيْنَهُمَا سِتَّةُ أَشْهُرٍ بِأَنْ وُلِدَا مَعًا أَوْ تَخَلَّلَ بَيْنَ وَضْعَيْهِمَا دُونَ سِتَّةِ أَشْهُرٍ Dan tidak sah menafikan salah satu dari dua anak kembar, yaitu di antara kelahiran keduanya tidak terpisahkan enam bulan (hijriyah), yakni lahir bersamaan atau kelahiran keduanya terpisah waktu yang kurang dari enam bulan. Muhammad al-Syirbini al-Khatib, al-Iqna pada Tuhfah al-Habib ‘ala Syarh al-Khatib, (Beirut: Dar al-Fikr, t. th.), Juz IV, h. 38. وَيَتَوَقَّفُ أَيْضًا عَلَى وَضْعِ الْوَلَدِ الْأَخِيرِ مِنْ تَوْأَمَيْنِ بَيْنَهُمَا أَقَلُّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ فَإِنْ كَانَ بَيْنَهُمَا سِتَّةُ أَشْهُرٍ فَأَكْثَرَ فَالثَّانِي حَمْلٌ آخَرُ     Dan habisnya masa wanita hamil ‘iddah juga tergantung pada kelahiran anak terakhir dari dua anak kembar yang terpisah waktu kurang dari enam bulan (hijriyah). Bila antara keduanya terpisah enam bulan atau lebih, maka anak yang kedua merupakan kehamilan lain (bukan kehamilan pertama/anak kembar). Abu Bakar al-Dimyathi, I’anah al-Thalibin, (Beirut: Dar al-Fikr, t. th.), Juz IV, h. 48.

[2] Abdurrahman Ba’alawi, Bughyah al-Mustarsyidin, (Surabaya: al-Hidayah, t. th.), h. 249-250.

 

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 96

KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-5

Di Pekalongan Pada Tanggal 13 Rabiuts Tsani 1349 H. / 7 September 1930 M.