Hukum Air yang Keluar Sebelum Melahirkan

 
Hukum Air yang Keluar Sebelum Melahirkan
Sumber Gambar: Pixabay/Pexels/Laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Air yang Keluar Sebelum Melahirkan

Pertanyaan :
Bagaimanakah hukumnya air yang keluar sebelum bersalin?

Apakah seperti air sakit kencing (salisil baul) karena kadang-kadang keluarnya sampai empat hari?

Jawaban :
Apabila air yang keluar itu jernih maka hukumnya seperti air sakit kencing dalam hal kenajisannya dan tetap wajib shalat dan lain-lain, baik bersambung dengan haid sebelumnya atau terpisah. Apabila yang keluar itu darah atau air kuning maka bila terpisah dari haid sebelumnya, maka hukumnya adalah haid dengan menetapi syarat-syaratnya.

Baca Juga: 0237. Hasil Proses Pengolahan Air Bersih

Keterangan, dalam kitab:

  1. Al-Minhaj al-Qawim

فَلَوْ رَأَتْ حَامِلٌ الدَّمَ ثُمَّ طَهُرَتْ يَوْمًا مَثَلاً ثُمَّ وَلَدَتْ فَالدَّمُ الْخَارِجُ بَعْدَ الْوِلاَدَةِ نِفَاسٌ وَقَبْلَهَا حَيْضٌ

Bila wanita hamil melihat darah, kemudian suci kembali misalnya selama sehari, kemudian ia melahirkan, maka darah yang keluar setelah persalinan merupakan darah nifas, sedangkan sebelum persalinan adalah darah haid.

  1. Bughyah al-Mustarsyidin

الدَّمُ الْخَارِجُ مِنَ الْحَامِلِ بِسَبَبِ الْوِلاَدَةِ قَبْلَ انْفِصَالِ جَمِيْعِ الْوَلَدِ وَإِنْ تَعَدَّدَ عَنِ الرَّحْمِ يُسَمَّى طَلْقًا وَحُكْمُهُ كَدَمِ اْلاِسْتِحَاضَةِ فَيَلْزَمُهَا فِيْهِ التَّعْصِيْبُ وَالطَّهَارَةُ وَالصَّلاَةُ وَلاَ يَحْرُمُ عَلَيْهَا مَا يَحْرُمُ عَلَى الْحَائِضِ حَتَّى الْوَطْءِ أَمَّا مَا يَخْرُجُ لاَ بِسَبَبِ الْوِلاَدَةِ فَحَيْضٌ بِشَرْطِهِ نَعَمْ لَوْ ابْتَدَأَ بِهَا الْحَيْضُ ثُمَّ ابْتَدَأَتْ الْوِلاَدَةُ انْسَحَبَ عَلَى الْطَلْقِ حُكْمُ الْحَيْضِ أَيْ سَوَاءٌ مَضَى لَهَا يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ قَبْلَ الْطَلْقِ أَمْ لاَ عَلَى خِلاَفٍ فِيْ ذَلِكَ

Darah yang keluar dari wanita hamil disebabkan persalinan sebelum lahirnya anak secara keseluruhan, walaupun keluar berulang-ulang dari rahim, maka dinamakan darah thalq (persalian) dan hukumnya sama dengan darah istihadhah. Maka ia harus menyumbat darah tersebut, bersuci dan tetap shalat, serta baginya tidak diharamkan segala yang diharamkan bagi wanita yang haid, termasuk persetubuhan. Adapun darah yang keluar bukan sebab persalinan, maka hukumnya adalah darah haid sesuai dengan persyaratannya. Memang begitu, namun jika pertama ia haid, kemudian baru bersalin, maka hukum haid diberlakukan pada persalinan, maksudnya walaupun ia sudah melewati sehari semalam sebelum persalinan atau tidak, sesuai khilafiyah dalam masalah tersebut.

Baca Juga: 0238. Hukum Mendaur Ulang Air Mutanajjis

Ibn Hajar al-Haitami, al-Minhaj al-Qawim, (Indonesia: al-Haramain, t. th.), h. 27.
Abdurrahman Ba’alawi, Bughyah al-Mustarsyidin, (Mesir: Musthafa al-Halabi, 1371 H/1952 M)), h. 32.

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 99 Keputusan Mukhtamar Nahdlatul Ulama ke-5 di Pekalongan Pada Tanggal 13 Rabiuts Tsani 1349 H. / 7 September 1930 M.