Hukum Bolehnya Makan di Dalam Masjid

 
Hukum Bolehnya Makan di Dalam Masjid

Makan di Mesjid yang Lazim Membikin Kotoran

Pertanyaan :

Bagaimanakah hukumnya makan dalam mesjid yang lazimnya menimbulkan kotor?

Jika haram apakah disebabkan karena menimbulkan kotor saja atau juga karena makan?

Jika haramnya karena menimbulkan kotor, apakah wajib dihilangi seketika bila ada kotor atau tidak?

 

Jawab :

Apabila berkeyakinan atau mempunyai perkiraan akan mengotori mesjid dengan barang najis maka makan di dalam mesjid itu hukumnya haram. Apabila tidak yakin dan hanya membikin kotor dengan sesuatu yang tidak najis maka hukumnya kurang baik (khilaf al-aula). Hukum haram dan hukum khilaf al-aula disebabkan karena membuat kotor mesjid itu yang mengakibatkan kewajiban untuk menghilangkan seketika itu juga barang najis tersebut. Adapun soal makannya di dalam mesjid itu hukumnya boleh.

Keterangan, dari kitab:

  1. Ianah al-Thalibin[1]

وَيُؤْخَذُ مِنْ ذَلِكَ أَنَّ الْوُضُوْءَ فِي الْمَسْجِدِ جَائِزٌ وَإِنْ تَقَاطَرَ فِيْهِ مَاؤُهُ لِأَنَّهُ غَيْرُ مَقْصُوْدٍ فَلاَ يَحْرُمُ وَلاَ يُكْرَهُ. وَلاَ يُشْكَلُ بِطَرْحِ الْمَاءِ الْمُسْتَعْمَلِ فِيْهِ فَإِنَّهُ قِيْلَ بِحُرْمَتِهِ وَقِيْلَ بِكَرَاهَتِهِ وَهُوَ الْمُعْتَمَدُ حَيْثُ لاَ تَقْذِيْرَ لِأَنَّ طَرْحَ ذَلِكَ مَقْصُوْدٌ بِخِلاَفِ الْمُتَقَاطِرِ مِنْ أَعْضَاءِ الْوُضُوْءِ.

Dan dari situ (ketidakbolehan keluar hanya untuk keperluan berwudhu saat i’tikaf) dipahami, bahwa wudhu di dalam mesjid walaupun airnya bertetesan di dalamnya itu boleh, dan karena menetesnya itu bukan hal yang dimaksud, maka tidak haram dan tidak makruh. Berbeda dengan menumpahkan air mustamal di dalamnya, maka menurut suatu pendapat hukumnya haram dan pendapat lain memakruhkannya, pendapat inilah yang mu’tamad (jadi pedoman) selama tidak mengotori mesjid, sebab menumpahkan air itu merupakan hal yang dimaksud, berbeda dengan air yang menetes dari anggota wudhu.

  1. Fatawa Husain Ibrahim al-Maghribi[2]

وَالتَّضَيُّفُ فِيْ مَسْجِدِ الْبَادِيَةِ يَكُوْنُ بِإِطْعَامِ الطَّعَامِ النَّاشِفِ كَالتَّمْرِ لاَ إِنْ كَانَ مُقَذِّرًا كَالطَّبْحِ وَالْبِطِّيْخِ وَإِلاَّ حَرُمَ إِلاَّ بِنَحْوِ سُفْرَةٍ تُجْعَلُ تَحْتَ اْلإِنَاءِ بِحَيْثُ يَغْلِبُ عَلَى الظَّنِّ عَدَمُ التَّقْذِيْرِ فَالظَّاهِرُ أَنَّهُ يَقُوْمُ مَقَامَ النَّاشِفِ.

Penjamuan dalam mesjid pedesaan itu (yang boleh) dengan memberi makanan kering seperti kurma, dan bukan bila makanan itu akan mengotori mesjid, seperti masakan dan semangka, bila tidak seperti itu maka haram. Kecuali menggunakan alas yang diletakkan di bawah tempat makanannya yang sekiranya diduga kuat tidak akan mengotori, maka menurut pertimbangan yang kuat hal itu bisa disamakan dengan makanan kering.

[1]   Al-Bakri Muhammad Syatha al-Dimyathi, I’anah al-Thalibin, (Semarang: Thaha Putra, t.th). Jilid II, h. 262.

[2]   Husain Ibrahim al-Maghribi, al-Fatawa Husain Ibrahim al-Maghribi, (Bogor: Maktabah ‘Arafah, t. th.), h. 51.

 

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 113

KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-6

Di Pekalongan Pada Tanggal 12 Rabiuts Tsani 1350 H. / 27 Agustus 1931 M.