Penjelasan tentang Ucapan “Permusuhan Lahir Batin” antara Suami Istri

 
Penjelasan tentang Ucapan “Permusuhan Lahir Batin” antara Suami Istri

Pengertian “Permusuhan Lahir Batin” antara Suami Istri

Pertanyaan :

Apa yang dimaksud dengan bermusuhan antara suami istri yang lahir atau yang batin, dalam keterangan ulama bahwa nikah paksa (ijbar) itu sah apabila di antara kedua mempelai itu tidak terdapat bermusuhan yang lahir. Kalau seorang calon mempelai perempuan mengucap: “Kalau saya akan dinikahkan dengan si anu, maka saya akan marah karena saya benci sekali pada si anu itu.”

Apakah ucapan yang demikian itu termasuk bermusuhan yang lahir, atau sewaktu mengetahui akan dinikahkan, lalu tidak mau makan dan minum, ia sangat setuju kalau pernikahannya tidak terlaksana, apakah perbuatan demikian itu namanya bermusuhan (‘adawah)?, Atau tidak?

Jawab :

Yang dinamakan bermusuhan (‘adawah) yang lahir, yaitu bermusuhan yang diketahui para penduduk setempat, dan bermusuhan (‘adawah) yang batin yaitu yang tidak diketahui penduduk setempat. Adapun ucapan-ucapannya bahwa ia marah dan ia benci sekali, itu termasuk bermusuhan (‘adawah), dan perbuatan tidak makan dan minum kalau akan dinikahkan, itu bukan nama bermusuhan, tetapi sekedar benci saja.

Keterangan, dari kitab:

  1. Ianah al-Thalibin [1]

قَوْلُهُ حَيْثُ لاَ عَدَاوَةٌ ظَاهِرَةٌ أَيْ بَيْنَهُمَا فَإِنْ وُجِدَتْ الْعَدَاوَةُ الظَّاهِرَةُ وَهِيَ الَّتِيْ لاَ تَخْفَى عَلَى أَهْلِ مَحْلَتِهَا فَلَيْسَ لَهُ تَزْوِيْجُهَا إِلاَّ بِإِذْنِهَا بِخِلاَفِ غَيْرِ الظَّاهِرَةِ وَهِيَ الَّتِيْ خَفِيَتْ عَلَى أَهْلِ مَحْلَتِهَا فَلاَ تُؤَثِّرُ  لِأَنَّ الْوَلِيَّ يَحْتَاطُ لِخَوْفِ الْعَارِ لَهُ وَلِغَيْرِهِ. وَيُشْتَرَطُ أَيْضًا أَنْ لاَ يَكُوْنَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ الزَّوْجِ عَدَاوَةٌ وَلَوْ غَيْرَ ظَاهِرَةٍ. وَإِنَّمَا لَمْ يُعْتَبَرْ ظُهُوْرُ الْعَدَاوَةِ فِيْهِ كَمَا اعْتُبِرَ فِي الْوَلِيِّ  لِأَنَّ عَدَاوَتَهُ الْخَفِيَّةَ تُحْمِلُهُ عَلَى إِضْرَارِهَا بِمَا لاَ يُحْتَمَلُ بِسَبَبِ الْمُعَاشَرَةِ.

Pernyataan sekiranya tidak ada permusuhan yang jelas, yakni antara keduanya (suami-istri). Jika terdapat permusuhan yang jelas, yakni yang tidak tersembunyi dari penduduk setempat, maka si wali tidak punya otoritas untuk mengawinkannya, kecuali dengan seizinnya (wanita). Lain halnya jika permusuhan itu tidak jelas, yakni tidak diketahui penduduk setempat, maka tidak ada pengaruhnya sama sekali, karena si wali akan berhati-hati oleh adanya celaan terhadapnya dan terhadap yang lain. Disyaratkan pula agar antara si istri dan suami tidak terdapat permusuhan walaupun tidak nampak jelas. Tidak dipertimbangkannya permusuhan yang nampak jelas bagi calon suami, sebagaimana dipertimbangkan pada wali, karena permusuhannya tidak nampak jelas akan membuat calon suami itu menyakiti si wanita dengan sesuatu yang tidak bisa dibiarkan, karena kehidupan bersama antara keduanya.

  1. Futuhat al-Wahhab [2]

أَمَّا مُجَرَّدُ كَرَاهَتِهَا لَهُ مِنْ غَيْرِ ضَرَرٍ فَلاَ يُؤَثِّرُ لَكِنْ يُكْرَهُ لَهُ تَزْوِيْجُهَا مِنْهُ كَمَا نَصَّ عَلَيْهِ فِي اْلأُمِّ ... وَيُشْتَرَطُ لِصِحَّةِ الْعَقْدِ حِيْنَئِذٍ عَدَمُ عَدَاوَةٍ ظَاهِرَةٍ مِنَ الْوَلِيِّ لَهَا بِأَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهَا أَهْلُ مَحَلَّتِهَا إِلَى أَنْ قَالَ: وَخَرَجَ بِالْعَدَاوَةِ الْكَرَاهَةُ لِنَحْوِ بُخْلٍ أَوْ عَمَى أَوْ تَشَوُّهِ خِلْقَةٍ فَيُكْرَهُ التَّزْوِيْجُ فَقَطْ قَالَ فِيْ شَرْحِ الرَّوْضِ وَلاَ حَاجَةَ لاِشْتِرَاطِ عَدَمِ عَدَاوَةِ الزَّوْجِ لِأَنَّ شَفَقَةَ الْوَلِيِّ تَدْعُوْهُ إِلَى أَنَّهُ لاَ يُزَوِّجُهَا مِنْ عَدُوِّهَا. اهـ. قَوْلُهُ لَيْسَ بَيْنَهَا عَدَاوَةٌ أَي بَيْنَهَا وَبَيْنَ الْوَلِيِّ. وَالْمُرَادُ بِالظَّهَارَةِ أَنْ يَعْرِفَهَا أَهْلُ مَحَلَّتِهَا وَالْبَاطِنَةُ خِلاَفُهَا.

Adapun sekedar rasa benci atau tidak suka si wanita terhadap si pria tanpa bahaya, maka hal tersebut tidak berpengaruh apapun. Namun, dimakruhkan bagi si wali untuk mengawinkannya dengan pria tersebut, seperti termaktub dalam kitab al-Umm.

Dan disyaratkan bagi sahnya akad, tidak adanya rasa permusuhan yang jelas dari pihak wali terhadap si wanita, dengan permusuhan yang diketahui penduduk setempat. 

Dengan kata permusuhan, maka mengecualikan rasa tidak suka, misalnya karena kikir, buta atau buruk rupa(fisik), maka hukum mengawinkannya hanya makruh. Dalam Syarh al-Raudh Syaikh Zakaria bin Muhammad bin Zakaria al-Anshari berkata: “Tidak perlu menyaratkan tidak adanya rasa permusuhan suami, karena kasih sayang si wali akan membuatnya tidak mengawinkan dengan musuh si calon istri. (Pernyataan Syaikh Zakaria al-Anshari: “Tidak ada permusuhan antara si perempuan.”) maksudnya antara dia dan walinya. Maksud permusuhan yang tampak adalah yang diketahui penduduk setempat, sedang permusuhan batin adalah sebaliknya.

  1. Futuhat al-Wahhab [3]

وَفُرِّقَ بَيْنَ الْعَدَاوَةِ وَالْبَغْضَاءِ بِأَنَّ الْعَدَاوَةَ هِيَ الَّتِيْ تَقْضِى إِلَى التَّعَدِّيْ بِاْلأَفْعَالِ. وَالْبَغْضَاءُ هِيَ الْعَدَاوَةُ الْكَامِنَةُ فِيْ الْقَلْبِ.اهـ.

Dan antara permusuhan dan kebencian itu dibedakan, yaitu permusuhan adalah yang mendorong kejahatan fisik, sedangkan kebencian adalah permusuhan yang terpendam dalam hati.

[1] Al-Bakri Muhammad Syatha al-Dimyathi, I’anah al-Thalibin, (Singapura: Sulaiman Mar’i, t .th). Jilid III, h. 308.

[2] Sulaiman al-Jamal, Futuhat al-Wahhab ‘ala Fath al-Wahhab, (Beirut: Dar al-Fikr t. th.) Jilid IV, h. 147-148.

[3] Sulaiman al-Jamal, Futuhat al-Wahhab ‘ala Fath al-Wahhab, (Beirut: Dar al-Fikr t. th.) Jilid V, h. 358.

 

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 165

KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-10

Di Surakarta Pada Tanggal 10 Muharram 1354 H. / April 1935 M.