Pengertian Sekufu atau Setingkat bagi Calon Pasangan yang Akan Menikah

 
Pengertian Sekufu atau Setingkat bagi Calon Pasangan yang Akan Menikah
Sumber Gambar: ilustrasi.Png

LADUNI.ID, Jakarta – Dalam pernikahan, dua pasang manusia menjadi satu. Tidak hanya dua manusia, tapi juga dua keluarga dan kebiasaannya. Sebelum memutuskan akan menikah, tentu masing-masing calon pasangan harus saling mengenal satu sama lain dengan cara yang dibenarkan oleh syariat. Istilah dalam fiqh pernikahan mengenai standar pasangan yang sederajat adalah “kafa`ah” atau sekufu. Tapi, apa sebenarnya makna sekufu dalam pernikahan?

Secara bahasa kafa`ah bermakna setara atau sama. Makna ini diambil dari surat Al-Ikhlas ayat 4 yang berbunyi,

وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ

Artinya: Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia. (QS. Al-Ikhlas 112:4)

Sedangkan dalam kacamata fiqh, kafa`ah atau kita akan sebut dengan sekufu setelah ini bermakna “kesamaan sepasang suami istri yang menghilangkan perasaan malu dalam beberapa hal tertentu.” Artinya, dua pasang suami istri merasa saling pantas dan tidak merasa malu satu sama lain menyandang status sebagai suami istri karena beberapa hal tertentu.

Dalam kitab Al-Fiqih Ala Al-Madzhahib Al-Arba’ah karangan Abdurrahman Al-Jaziry, disebutkan bahwa yang termasuk perkara kafa’ah adalah agama, keturunan, kekayaan, pekerjaan dan bebas dari cacat. Para fuqaha telah sepakat bahwa faktor agama termasuk dalam pengertian kafa’ah.

Tidak diperselisihkan lagi di kalangan madzhab Maliki, bahwa apabila seorang gadis dikawinkan oleh ayahnya dengan seorang peminum khamer atau singkatnya dengan orang fasik, maka gadis tersebut berhak menolak perkawinan tersebut. Kemudian hakim memeriksa perkaranya dan menceraikan antara keduanya. Begitu pula halnya apabila ia dikawinkan dengan pemilik harta haram atau dengan orang yang banyak bersumpah dengan kata-kata thalaq.

Fuqaha berselisih pendapat tentang faktor nasab (keturunan), apakah termasuk dalam pengertian kafa’ah atau tidak. Begitu pula tentang faktor kemerdekaan, kekayaan dan bebas dari cacat (aib). Menurut pendapat yang terkenal dari Imam Malik, dibolehkan kawin dengan hamba sahaya Arab, dan mengenai hal itu Beliau beralasan dengan firman Allah SWT dalam surat Al-Hujurat ayat 13 yang berbunyi :

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ (١٣)

13. Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujarat 49: 13)

Akan tetapi dalam perkawinan hamba sahaya tersebut ulama Malikiah mempunyai dua pendapat: Pertama, jika hamba sahaya berkulit putih kawin dengan wanita merdeka maka perkawinannya kufu’. Kedua , jika perkawinan antara hamba sahaya berkulit hitam dengan wanita merdeka maka perkawinannya tidak sekufu’ dan itu merupakan aib.

Imam Sufyan Al-Tsauri dan Imam Ahmad berpendapat bahwa wanita Arab tidak boleh kawin dengan hamba sahaya.  dan para pengikutnya berpendapat bahwa wanita Quraisy tidak boleh kawin kecuali dengan lelaki Quraisy, dan wanita Arab tidak boleh kawin kecuali dengan lelaki Arab pula. Silang pendapat ini disebabkan pendapat mereka tentang mafhum(pengertian).
Sabda Nabi Muhammad  SAW :
“Wanita itu dinikahi karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka carilah wanita yang taat kepada agama, niscaya akan beruntung.” (HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim ).

Segolongan fuqaha ada yang memahami bahwa faktor agama sajalah yang dijadikan pertimbangan. Demikian itu karena didasarkan kepada Sabda Nabi Muhammad  SAW: Maka carilah wanita yang taat kepada agama. Segolongan yang lain berpendapat bahwa faktor nasab (keturunan) sama kedudukannya dengan faktor agama, demikian pula faktor kekayaan. Dan tidak ada yang keluar dari lingkup kafa’ah kecuali apa yang dikeluarkan oleh ijma’, yaitu bahwa kecantikan tidak termasuk dalam lingkup kafa’ah. Semua fuqaha yang berpendapat adanya penolakan nikah karena adanya cacat, mereka akan menganggap bebas dari cacat termasuk dalam lingkup kafa’ah. Berdasarkan pendapat ini ada yang memasukkan kecantikan sebagai lingkup kafa’ah.

Di kalangan madzhab Maliki, tidak diperselisihkan lagi bahwa faktor kemiskinan (pada pihak lelaki) termasuk salah satu perkara yang menyebabkan dibatalkannya perkawinan yang dilakukan oleh seorang ayah bagi anak gadisnya, begitu pula faktor kemerdekaan (bukan budak).

Mengenai mahar mitsil (yakni mahar yang semisal ukurannya), maka Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa hal tersebut tidak digolongkan sebagai kafa’ah. Oleh karenanya seorang ayah boleh mengawinkan anak gadisnya dengan mahar yang kurang dari mahar mitsil. Sedangkan Imam Hanafi memasukkan mahar mitsil sebagai kafa’ah.

Jadi Kesimpulannya :
Kafa’ah bukanlah syarat sah akad perkawinan. Ia hanya nasihat atau anjuran yang harus diperhatikan oleh pasangan yang akan menikah. Bahwa orang yang akan menikah diharapkan memiliki kesetaraan sosial dan agama agar setelah diikat dalam akad perkawinan tidak ada yang merasa dihina atau diperlakukan tidak terhormat oleh pasangannya dengan alasan status sosial atau lainnya.

Adanya kafa’ah ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan kebahagiaan bagi pasangan yang akan menikah pasca akad pernikahannya nanti. Jadi, bukan berarti Islam mengajarkan kasta atau kelas sosial. Tetapi justru Islam memahami karakter manusia sedalam-dalamnya sehingga sebelum kemafsadatan terjadi dalam hubungan suami isteri, Islam sudah memberikan peringatan.
 

Sumber : Kitab Al-Fiqih Ala Al-Madzhahib Al-Arba’ah

___________

Catatan: Tulisan ini terbit pertama kali pada Sabtu, 16 Juni 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan.

Editor : Sandipo