Menggarap Sawah Orang yang Tidak Mau Berzakat

 
Menggarap Sawah Orang yang Tidak Mau Berzakat

Menggarapkan Sawah Kepada Orang yang Tidak Mau Mengeluarkan Zakatnya

Pertanyaan :

Bagaimana hukumnya orang yang menggarapkan sawah (bibit dari penggarap) pada orang yang tidak mau memberikan zakatnya, apakah orang yang menggarapkan itu berdosa karena tidak zakat?.

Jawab :

Bahwasanya orang yang menggarapkan sawah dalam soal itu tidak berdosa, karena si penggarap tidak memberikan zakat, asal orang yang menggarapkan itu telah menentang (inkar) dan telah memerintahkan kebaikan dan menghalangi kemungkaran sekuasanya, kemudian padi yang diterima oleh penggarap, masih ada di dalamnya hak para yang berhak menerima zakat. Cara untuk membersihkannya, supaya yang menggarapkan sawah minta izin dari si penggarap akan memberikan zakat padi yang diterimanya, lalu ia memberikan zakat kepada mustahiqqin.

Keterangan, dari kitab:

  1. Mirqah al-Shu’ud al-Tashdiq Syarh Sullam al-Taufiq [1]

وَلاَ تَعَارُضَ بَيْنَ قَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ الْحَدِيْثَ، وَبَيْنَ قَوْلِهِ تَعَالَى يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لاَ يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ. إِذْ مَعْنَاهُ عِنْدَ الْمُحَقِّقِيْنَ أَنَّكُمْ إِذَا فَعَلْتُمْ بِهِ لاَ يَضُرُّكُمْ تَقْصِيْرُ غَيْرِكُمْ وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَمَا كُلِّفَ بِهِ إِلاَّ اْلأَمْرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ فَإِذَا فَعَلَ ذَلِكَ وَلَمْ يَمْتَثِلْ الْمُخَاطَبُ فَلاَ عَتْبَ بَعْدَ ذَلِكَ عَلَى الْفَاعِلِ لِكَوْنِهِ أَدَّى مَا عَلَيْهِ فَإِنَّمَا عَلَيْهِ اْلأَمْرُ لاَ الْقَبُوْلُ هَكَذَا أَفَادَهُ الْفَشَنِيُّ.

Tidak ada kontradiksi antara sabda Rasul: “Barangsiapa melihat kemungkaran maka hendaknya ia mencegahnya ...” dan antara firman Allah SWT: “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri Anda; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi madharat kepada Anda apabila Anda telah mendapat petunjuk” (al-Maidah: 105). Karena pengertiannya menurut para pakar adalah: “Jika kalian mengerjakannya, maka keteledoran selain kalian tidak akan menyebabkan madharat terhadap kalian”. Jika memang demikian, maka seseorang tidak dibebani kecuali memerintahkan dengan kebaikan dan melarang kemungkaran. Jika hal ini sudah dilaksanakan dan orang yang diajak bicara/diberi dakwah tidak mau melaksanakan, maka ia tidak tercela karena kewajibannya hanyalah menyuruh kebaikan dan tidak ada keharusan untuk diterima. Demikian pemahaman yang disampaikan al-Fasyani.

  1. Fath al-Wahhab [2]

(فَلَوْ بَاعَهُ) أَيْ مَا تَعَلَّقَتْ بِهِ الزَّكَاةُ أَوْ بَعْضَهُ قَبْلَ إِخْرَاجِهَا (بَطَلَ فِيْ قَدْرِهَا) وَإِنْ أَبْقَى فِي الثَّانِيَةِ قَدْرَهَا  لِأَنَّ حَقَّ الْمُسْتَحِقِّيْنَ شَائِعٌ فَأَيُّ قَدْرٍ بَاعَهُ كَانَ حَقُّهُ وَحَقُّهُمْ.

Seandainya ia menjualnya, yakni sesuatu yang masih terkait dengan zakat atau sebagiannya sebelum zakatnya dikeluarkan, maka penjualannya batal dalam kadar zakatnya. Meskipun ia menyisakan sejumlah kadar zakat dalam kasus yang kedua -menjual sebagian-. Sebab hak orang-orang yang berhak menerima zakat itu mencakup semuanya. Oleh sebab itu, berapa pun kadar yang dijualnya, kadar itu merupakan haknya dan hak para penerima zakat.

  1. Tuhfah al-Muhtaj [3]

وَذَلِكَ أَعْنِيْ مَا بَحَّثَهُ السُّبُكِيُّ هُوَ مَا مُلَخُّصُهُ، آجَرَ أَرْضًا لِلزَّرْعِ وَأَخَذَ أُجْرَتَهَا مِنْ حَبَّةٍ قَبْلَ إِخْرَاجِ زَكَاتِهِ فَهُوَ كَمَا لَوِ ابْتَاعَهُ فَلِلْفُقَرَاءِ مُطَالَبَتُهُ إِذْ لِلسَّاعِي أَخْذُهَا مِنَ الْمُشْتَرِي عَلَى كُلِّ قَوْلٍ وَيَرْجِعُ بِمَا أُخِذَ مِنْهُ عَلَى الزَّارِعِ إِنْ أَيْسَرَ وَطَرِيْقُ بَرَائَتِهِ أَيْ الْمُؤْجِرِ مِنْ قَدْرِ الزَّكَاةِ الَّذِيْ قَبَضَهُ أَنْ يَسْتَأْذِنَ الزَّارِعَ فِيْ إِخْرَاجِهَا أَوْ يُعْلِمَ اْلإِمَامَ أَوِ السَّاعِيَ لِيَأْخُذَهَا مِنْهُ فَإِنْ تَعَذَّرَ فَيَنْبَغِي إِيْصَالُهَا لِلْمُسْتَحِقِّيْنَ وَإِنْ لَمْ أَرَ مَنْ ذَكَرَهُ وَيَنْبَغِي إِشَاعَتُهُ.

Dan hal tersebut, maksudku yang dibahas al-Subki, ringkasnya adalah: “Bila seseorang menyewakan tanah untuk ditanami, dan mengambil upahnya dari hasil tanamannya sebelum dikeluarkan zakatnya, maka kasus  tersebut seperti bila ia membelinya. Maka bagi kaum fakir miskin berhak untuk memintanya, karena Sa’i (penarik zakat yang diangkat pemerintah) berhak mengambilnya dari pembeli, dan pembeli boleh mengambil kembali uang yang sudah diberikan kepada si penanam bila si penanam mampu. Dan cara pemilik tanah membebaskan diri dari kadar zakat yang ia terima (dari si penanam) adalah dengan meminta izin si penanam untuk mengeluarkan zakat tersebut, atau memberi tahu penguasa atau penarik zakat untuk mengambil zakat itu darinya. Jika kesulitan, maka ia harus memberikan zakat itu kepada orang yang berhak menerimanya. Saya belum melihat ulama lain menerangkan cara tersebut, dan semestinya disebarluaskan.

[1] Muhammad Nawawi al-Jawi, Mirqah Shu’ud al-Tashdiq Syarhah Sullam al-Taufiq, (Indonesia: Griya Insan, t. th.). h. 16.

[2] Syaikh al-Islam Zakariya al-Anshari, Fath al-Wahhab, (Indonesia: Dar al-Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, t. th.), Juz I, h. 118.

[3] Ibn Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj pada hamisy Abdul Hamid al-Syirwani, Hasyiyah al-Syirwani (Mesir: Dar al-Shadr, t. th.), Jilid III, h. 367.

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 221 KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-13 Di Menes Banten Pada Tanggal 13 Rabiuts Tsani 1357 H. / 12 Juli 1938 M.