Mengusir Penjajah dari Tanah Air Tercinta

 
Mengusir Penjajah dari Tanah Air Tercinta

Memerangi Tentara Musuh yang Sudah Ada di Tengah-tengah Kita

Pertanyaan :

Bagaimana hukumnya kita berperang untuk menolak musuh yang sudah menginjakkan kakinya di tanah air kita sebagaimana yang telah terjadi sekarang ini?.

Jawab :

  1. Bahwa berperang menolak penjajah dan para pembantunya adalah wajib ain atas tiap-tiap jiwa, baik laki-laki atau perempuan, dan anak-anak juga yang sama berada di tempat yang dimasuki oleh mereka itu (penjajah atau pembantunya).
  2. Wajib ain pula atas tiap-tiap jiwa yang berada di dalam tempat-tempat yang jaraknya kurang dari 94 Km. terhitung dari tempat mereka itu (musuh).
  3. Wajib kifayah atas segenap orang-orang yang berada di tempat-tempat yang jaraknya ada 94 Km. tersebut.
  4. Jikalau jiwa-jiwa yang tersebut dalam nomor 1 dan 2 di atas tidak mencukupi untuk menolaknya maka jiwa yang tersebut di dalam nomor 3 wajib membantu sampai cukup.

Keterangan, dari kitab:

  1. Al-Tajrid li Naf’ al-‘Abid [1]

(قَوْلُهُ وَإِنْ دَخَلُوْا إلخ) هَذَا مَفْهُوْمُ قَوْلِهِ سَابِقًا وَالْكُفَّارُ بِبِلاَدِهِمْ شَيْخُنَا (قَوْلُهُ مَثَلاً) مُتَعَلِّقٌ بِدَخَلُوْا لِإِدْخَالِ مَا لَوْ صَارَ بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ الْبَلْدَةِ دُوْنَ مَسَافَةِ قَصْرٍ فَإِنَّهُ فِيْ حُكْمِ دُخُوْلِ الْبَلَدِ كَمَا فِيْ م ر وَيَصِحُّ أَيْضًا بِبَلْدَةٍ لِإِدْخَالِ الْقَرْيَةِ وَيَصِحُّ تَعَلُّقُهُ بِقَوْلِهِ لَنَا لِإِدْخَالِ الْبِلاَدِ الذِّمِّيِّيْنَ تَأْمَلُ (قَوْلُهُ تَأَهُّبُهُمْ) أَيِ اسْتِعْدَادُهُمْ لِقِتَالِ ز ي بِأَنْ لَمْ يَهْجُمُوْا بَغْتَةً شرح م ر إِلَى أَنْ قَالَ (قَوْلُهُ وَفَرْضُ كِفَايَةٍ فِيْ حَقِّ مَنْ بَعُدَ) يَنْبَغِيْ أَنَّهُ لَيْسَ الْمُرَادُ بِكَوْنِهِ فِيْ فَرْضِ كِفَايَةٍ فِيْ حَقِّ مَنْ بَعُدَ أَنَّهُ يَجِبُ قِيَامُ طَائِفَةٍ مِنْهُمْ مُطْلَقًا بَلْ الْمُرَادُ أَنَّهُ إِنْ  لَمْ يَكْفِ غَيْرُهُمْ مِنْ أَهْلِ الْمَوْضِعِ وَمَنْ قُرُبَ مِنْهُمْ وَجَبَ عَلَيْهِمْ مُسَاعَدَتُهُمْ بِقَدْرِ الْكِفَايَةِ وَإِلاَّ فَلاَ يَجِبُ عَلَيْهِمْ شَيْءٌ سم

(Ungkapan Syaikh Zakaria al-Anshari: “Apabila mereka masuk …”) ini merupakan mafhum dari ungkapan beliau tadi: “Dan orang-orang kafir masih berada di daerah mereka.” Demikian menurut guruku -Muhamamd al-‘Amwasyi-. (Ungkapan beliau: “Misalnya.”) berhubungan dengan kata دَخَلُوْا , karena memasukkan kasus bila antara orang-orang kafir dan daerah muslimin kurang dari masafah al-qashr -94 km-, maka hukumnya  seperti mereka telah masuk daerah muslimin, seperti keterangan dalam Syarh al-Ramli. Bisa juga berhubungan dengan kata بَلْدَةٍ , karena memasukkan kasus bila mereka masuk ke desa muslimin. Benar pula berhubungan dengan kata لَنَا , karena memasukkan kasus mereka masuk ke daerah kafir dzimmi. Renungkanlah! (Ungkapan beliau: “Persiapan mereka.”), maksudnya persiapan mereka untuk perang. Demikian menurut al-Zayyadi. Yakni mereka tidak menyerang secara mendadak. Demikian dalam Syarh al-Ramli. … (Ungkapan beliau: “Dan perang itu fardhu kifayah bagi orang yang jauh.”) Semestinya yang dikehendaki dengan ungkapan beliau tentang perang itu hukumnya fardhu kifayah bagi orang yang jauh, bukanlah secara mutlak ada sebagian dari mereka yang telah berperang. Namun yang dimaksud adalah bila selain mereka, yakni muslimin yang daerahnya dimasuki tentara kafir dan muslimin di dekat mereka tidak mencukupi, maka bagi muslimin yang berada di tempat jauh wajib menolong mereka dengan kadar sampai cukup. Bila tidak begitu, maka muslimin yang berada di tempat jauh tidak wajib apa-apa. Demikian menurut Ibn Qasim al-‘Ubbadi.

  1. Hasyiyah al-Bajuri [2]

(قَوْلُهُ الثَّانِي) أَيْ مِنَ الْحَالَيْنِ السَّابِقَيْنِ وَقَوْلُهُ أَنْ يَدْخُلَ الْكُفَّارُ بَلْدَةً مِنْ بِلاَدِ الْمُسْلِمِيْنَ أَيْ مَثَلاً فَمِثْلُ الْبِلاَدِ الْقَرْيَةُ وَغَيْرُهَا وَمِثْلُ الْبَلْدَةِ مِنْ بِلاَدِ الْمُسْلِمِيْنَ الْبَلْدَةُ مِنْ بِلاَدِ الذِّمَّةِ وَقَوْلُهُ أَوْ يَنْزِلُوْا قَرِيْباً مِنْهَا أَيْ بِأَنْ يَكُوْنُوْا دُوْنَ مَسَافَةِ الْقَصْرِ مِنْهَا كَمَا قَالَهُ الشَّمْسُ الرَّمْلِي (قَوْلُهُ الْجِهَادُ حِيْنَئِذٍ) أَيْ حِيْنَ إِذْ دَخَلُوْا بَلْدَةً مِنْ بِلاَدِ الْمُسْلِمِيْنَ أَوْ نَزَلُوْا قَرِيْباً مِنْهَا وَقَوْلُهُ فَرْضُ عَيْنٍ عَلَيْهِمْ أَيْ عَلَى أَهْلِ تِلْكَ الْبَلْدَةِ وَعَلَى مَنْ كَانَ دُوْنَ مَسَافَةِ قَصْرٍ مِنْهَا وَإِنْ كَانَ فِيْ أَهْلِهَا كِفَايَةٌ لِأَنَّهُ كَالْحَاضِرِ مَعَهُمْ وَعَلَى مَنْ كَانَ بِمَسَافَةِ الْقَصْرِ إِذَا احْتاَجُوْا إِلَيْهِمْ بِقَدْرِ الْكِفَايَةِ  ِلإِنْقَاذِهِمْ مِنَ الْهَلَكَةِ فَيَصِيْرُ فَرْضَ عَيْنٍ فِيْ حَقِّ مَنْ قَرُبَ وَفَرْضَ كِفَايَةٍ فِيْ حَقِّ مَنْ بَعُدَ (قَوْلُهُ فَيَلْزَمُ أَهْلَ ذَلِكَ الْبَلَدِ) أَيْ حَتَّى الصِّبْيَانِ وَالنِّسَآءِ وَالْعَبِيْدِ ...

(Ungkapan Syaikh Ibn Qasim al-Ghazi: “Kondisi kedua.”) maksudnya dari dua kondisi yang telah lewat. (Ungkapan beliau: “Bila  orang-orang kafir masuk ke suatu negara dari negara muslimin.”) maksudnya sebagai contoh. Maka seperti halnya negara adalah suatu desa dan semisalnya, dan seperti halnya negara muslimin adalah negara kafir dzimmi. (Ungkapan beliau: “Atau mereka berada di dekat suatu negara muslimin.”) maksudnya mereka berada dalam radius yang kurang dari masafah al-qashr -94 km-, sebagaimana yang diutarakan al-Syams al-Ramli. (Ungkapan beliau: “Berperang dalam kondisi tersebut.”) maksudnya mulai ketika mereka masuk ke suatu negara dari negara muslimin atau berada di dekatnya. (Ungkapan beliau: “Fardhu ‘ain.”) maksudnya bagi penduduk daerah tersebut dan penduduk sekitar dalam radius kurang dari masafah al-qashr, meskipun penduduk daerah tersebut telah mencukupi, sebab penduduk dalam radius kurang dari masafah al-qashr itu seperti hadir bersama penduduk daerah yang diserang tersebut, serta bagi penduduk dalam radius masafah al-qashr bila dibutuhkan dengan kadar secukupnya untuk menyelamatkan mereka dari penjajahan. Maka hukum berperang menjadi fardhu ‘ain bagi orang yang dekat dari tempat yang diserang dan fardhu kifayah bagi yang jauh darinya. (Ungkapan beliau: “Maka wajib bagi penduduk negara tersebut.”) sehingga anak-anak, kaum wanita, para budak …

  1. Fath al-Wahab [3]

(وَإِن دَخَلُوْا) أَيْ الْكُفَّارُ (بَلْدَةً لَنَا) مَثَلاً (تَعَيَّنَ) الْجِهَادُ (عَلَى أَهْلِهَا) سَوَاءٌ أَمْكَنَ تَأَهُّبُهُمْ لِقِتَالٍ أَمْ لَمْ يُمْكِنْ لَكِنْ عَلِمَ كُلُّ مَنْ قَصِدَ أَنَّهُ إِنْ أُخِذَ قُتِلَ أَوْ لَمْ يَعْلَمْ أَنَّهُ إِنِ اِمْتَنَعَ مِنَ الاسْتِسْلاَمِ قُتِلَ أَوْ لَمْ تَأْمَنْ الْمَرْأَةُ فَاحِشَةً إِنْ أُخِذَتْ (وَعَلَى مَنْ دُوْنَ مَسَافَةِ قَصْرٍ مِنْهَا) وَإِنْ كَانَ فِيْ أَهْلِهَا كِفَايَةٌ لِأَنَّهُ كَالْحَاضِرِ مَعَهُمْ فَيَجِبُ ذَلِكَ عَلَى مَنْ ذُكِرَ (حَتَّى عَلَى فَقِيْرٍ وَوَلَدٍ وَمَدِيْنٍ وَرَقِيْقٍ بِلاَ إِذْنٍ) مِنَ اْلأَصْلِ وَرَبِّ الدَّيْنِ وَالسَّيِّدِ (وَعَلَى مَنْ بِهَا) أَيْ بِمَسَافَةِ الْقَصْرِ فَيَلْزَمُهُ الْمُضِيُّ إِلَيْهِمْ عِنْدَ الْحَاجَةِ (بِقَدْرِ كِفَايَةٍ) دَفْعًا لَهُمْ وَإِنْقَاذًا مِنَ الْهَلَكَةِ فَيَصِيْرُ فَرْضَ عَيْنٍ فِيْ حَقِّ مَنْ قَرُبَ وَفَرْضَ كِفَايَةٍ فِيْ حَقِّ مَنْ بَعُدَ .

(Dan bila mereka masuk), maksudnya tentara kafir (ke negara kita muslimin) misalnya, (maka fardhu ‘ain) berperang (bagi penduduknya), baik tentara kafir tersebut mungkin melakukan persiapan perang maupun tidak, namun setiap orang yang dituju mereka mengetahui bila ia ditawan maka akan dibunuh, atau tidak mengetahui bila ia tidak mau menyerah maka akan dibunuh, atau kaum wanita tidak aman dari dizinai bila ditawan, (dan bagi orang yang berada di radius kurang dari masafah al-Qashr -94 km- darinya), meskipun penduduk daerah tersebut sudah mencukupi, karena orang yang berada di radius tersebut seperti orang yang hadir bersama mereka, maka berperang wajib baginya, (sehingga bagi seorang fakir, anak, yang punya hutang dan budak, tanpa izin) dari orang tua, orang yang menghutangi dan sayyid -pemilik budak-, (dan bagi orang yang ada di radius tersebut), maksudnya orang yang berada di radius masafah al-qashr, maka baginya wajib pergi membantu mereka ketika dibutuhkan, (dengan sesuai kebutuhan), karena membela dan menyelamatkan mereka dari penjajahan. Maka hukum berperang menjadi fardhu ‘ain bagi orang yang dekat dari tempat yang diserang dan fardhu kifayah bagi yang jauh darinya.

  1. Raudhah al-Thalibin [4]

الْجِهَادُ الَّذِيْ هُوَ فَرْضُ عَيْنٍ فَإِذَا وَطِئَ الْكُفَّارُ بَلْدَةَ الْمُسْلِمِيْنَ أَوْ أَطَلُّوْا عَلَيْهَا وَنَزَلُوْا بَابَهَا قَاصِدِيْنَ وَلَمْ يَدْخُلُوْا صَارَ الْجِهَادُ فَرْضَ عَيْنٍ عَلَى التَّفْصِيْلِ الَّذِيْ نُبَيِّنُهُ إِنْ شَآءَ اللهُ وَعَنْ ابْنِ أَبِيْ هُرَيْرَةَ وَغَيْرِهِ أَنَّهُ يَبْقَى فَرْضَ كِفَايَةٍ وَالصَّحِيْحُ اْلأَوَّلُ فَيَتَعَيَّنُ عَلَى أَهْلِ تِلْكَ الْبَلْدَةِ الدَّفْعُ بِمَا أَمْكَنَهُمْ إِلَى أَنْ قَالَ اِذَا دَخَلَ الْكُفَّارُ دَارَ اْلإِسْلاَمِ فَالْجِهَادُ فَرْضُ عَيْنٍ عَلَى مَنْ قَرُبَ وَفَرْضُ كِفَايَةٍ فِيْ حَقِّ مَنْ بَعُدَ وَعَلَى هَذَا فَحُكْمُ أَهْلِ اْلإِعْذَارِ عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ فِي الضَّرْبِ اْلأَوَّلِ وَفِيْهِ وَجْهٌ أَنَّهُ يَجِبُ عَلَى جَمِيْعِهِمْ الْمُسَاعَدَةُ وَالْمُسَارَعَةُ وَلِيَكُنْ هَذَا فِي اْلأَقْرَبِيْنَ مِمَّنْ هُوَ عَلَى مَسَافَةِ الْقَصْرِ وَإِنْ كَانَ فِيْ أَهْلِ الْبَلْدَةِ وَالَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ كِفَايَةٌ فَاْلأَصَحُّ أَنَّهُ لاَيَجِبُ عَلَى الَّذِيْنَ فَوْقَ مَسَافَةِ الْقَصْرِ الْمُسَاعَدَةُ لِأَنَّهُ يُؤَدِّيْ ِلْلأِيْجَابِ عَلَى جَمِيْعِ اْلأُمَّةِ وَفِي ذلِكَ حَرَجٌ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ

Jihad yang hukumnya fardhu ‘ain adalah ketika orang-orang kafir menduduki daerah muslimin, atau mendekatinya, berada di gerbangnya dengan bertujuan -memasukinya- dan belum memasukinya. Maka hukum jihad adalah fardhu ‘ain sesuai perincian hukum yang akan saya terangkan insya Allah. Menurut Ibn Abi Hurairah dan ulama lainnya jihad tetap berhukum makruh. Namun pendapat yang shahih (benar) adalah pendapat pertama. Maka bagi penduduk daerah tersebut wajib melakukan pembelaan diri dengan alat seadanya … Ketika orang-orang kafir memasuki daerah Islam, maka jihad hukumnya fardhu ‘ain bagi orang yang dekat dan fardhu kifayah bagi orang yang jauh. Berdasarkan pendapat (al-Baghawi) ini, maka hukum orang-orang yang mempunyai udzur -seperti anak-anak, perempuan, orang buta dan semisalnya- itu sesuai dengan keterangan yang telah aku sampaikan dalam jihad bagian pertama (ketika orang-orang kafir masih berada di daerah mereka). Dan dalam kasus ini ada satu pendapat yang menyatakan bahwa bagi mereka semua wajib menolong dan bersegera ikut berperang. Dan hendaknya pendapat ini untuk mereka yang dekat, yaitu orang yang ada dalam radius masafah al-qashr. Bila penduduk daerah yang serang dan daerah yang dekat dengannya sudah mencukupi, maka pendapat al-ashshah menyatakan bahwa bagi orang yang berada pada radius di atas masafah al-qashr tidak wajib memberi pertolongan, karena bila begitu akan berarti mewajibkan jihad bagi seluruh umat Islam. Dan hal itu akan menimbulkan kesulitan diluar kebutuhan.

  1. Radd al-Muhtar[5]

وَحَاصِلُهُ أَنَّ كُلَّ مَوْضِعٍ خِيْفَ هُجُوْمُ الْعَدُوِّ مِنْهُ فُرِضَ عَلَى اْلإِمَامِ أَوْ عَلَى أَهْلِ ذَلِكَ الْمَوْضِعِ حِفْظُهُ وَاِنْ لَمْ يَقْدِرُوْا فُرِضَ عَلَى اْلأَقْرَبِ إِلَيْهِمْ إِعَانَتُهُمْ اِلَى حُصُوْلِ الْكِفَايَةِ بِمُقَاوَمَةِ الْعَدُوِّ إِلَى أَنْ قَالَ (قَوْلُهُ بَلْ يُفْرَضُ عَلَى اْلأَقْرَبِ فَاْلأَقْرَبُ إلخ) أَيْ يُفْرَضُ عَلَيْهِمْ عَيْنًا وَقَدْ يُقَالُ كِفَايَةً بِدَلِيْلِ أَنَّهُ لَوْ قَامَ بِهِ اْلأَبْعَدُ حَصَلَ الْمَقْصُوْدُ فَيَسْقُطُ عَلَى اْلأَقْرَبِ لَكِنْ هَذَا ذَكَرَهُ فِي الدُّرَرِ فِيْمَا لَوْ هَجَمَ الْعَدُوُّ وَعِبَارَةُ الدُّرَرِ وَفَرْضُ عَيْنٍ إِنْ هَجَمُوْا عَلَى ثَغْرٍ مِنْ ثُغُوْرِ اْلإِسْلاَمِ. فَيَصِيْرُ فَرْضَ عَيْنٍ عَلَى مَنْ قَرُبَ مِنْهُمْ وَهُمْ يَقْدِرُوْنَ عَلَى الْجِهَادِ وَنَقَلَ صَاحِبُ النِّهَايَةِ عَنِ الذَّخِيْرَةِ أَنَّ الْجِهَادَ اِذَا جَآءَ النَّفِيْرُ إِنَّمَا يَصِيْرُ فَرْضَ عَيْنٍ عَلَى مَنْ يَقْرُبُ مِنَ الْعَدُوِّ فَأَمَّا مَنْ وَرَآئَهُمْ بِبُعْدٍ مِنَ الْعَدُوِّ فَهُوَ فَرْضُ كِفَايَةٍ عَلَيْهِمْ .

Dan kesimpulannya, setiap tempat yang rawan diserang musuh, maka penguasa atau penduduk daerah tersebut wajib menjaganya. Bila tidak mampu, maka muslimin yang dekat dengannya wajib membantu mereka sampai mampu mengalahkan musuh ... (Ungkapan ‘Alauddin al-Hashkafi: “Namun fardhu bagi muslim yang terdekat, lalu yang terdekat setelahnya.”) maksudnya fardhu ‘ain bagi mereka. Dan dikatakan fardhu kifayah. Dalilnya adalah bila orang yang jauh dari musuh telah berperang dan berhasil mengalahkan musuh, maka kewajiban berperang bagi orang yang dekat dengannya gugur. Namun, pernyataan ini disebutkan Syaikh Munlakhusru di kitab Durar al-Ahkam dalam kasus bila musuh menyerang secara mendadak. Redaksi Durar al-Ahkamnya yaitu: “Dan perang itu fardhu ‘ain apabila musuh melakukan serangan mendadak di suatu perbatasan daerah Islam. Maka hukum berperang menjadi wajib bagi orang yang berada didekatnya dalam keadaan mereka mampu. Dan penulis al-Nihayah (al-Husain bin Ali al-Sighnaqi) mengutip dari kitab al-Dzakhirah bahwa fardhu ‘ain jihad ketika musuh menyerang itu hanya bagi orang yang dekat dengan musuh. Sedangkan orang yang jauh, maka hukum berjihad bagi mereka adalah fardhu kifayah. Diwajibkan bagi yang lebih dekat dan yang lebih dekat lagi untuk berjihad sebagai fardhu ‘ain. Menurut pendapat yang lain sebagai fardhu kifayah dengan dalil, seandainya yang lebih jauh sudah melaksanakannya, maka maksud berjihad sudah terpenuhi dan gugurlah kewajibannya bagi mereka yang berada paling dekat.

  1. Al-Hawi al-Kabir[6]

وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ أَنْ يَدْخُلَ الْعَدُوُّ بِلاَدَ اْلإِسْلاَمِ وَيَطَؤُهَا فَيَتَعَيَّنُ فَرْضُ قِتَالِهِ عَلَى أَهْلِ الْبِلاَدِ الَّتِيْ وَطِئَهَا وَدَخَلَهَا. فَإِنْ لَمْ يَكُنْ بِأَهْلِهَا قُدْرَةٌ عَلَى دَفْعِهِ تَعَيَّنَ فَرْضُ الْقِتَالِ عَلَى كَافَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ حَتَّى يَنْكَشِفَ الْعَدُوُّ عَنْهُمْ إِلَى بِلاَدِهِ. وَإِنْ كَانَ بِهِمْ قُدْرَةٌ عَلَى دَفْعِهِ لَمْ يَسْقُطْ بِهِمْ فَرْضُ الْكِفَايَةِ عَنْ كَافَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ مَا كَانَ الْعَدُوُّ بَاقِيًا فِيْ دَارِهِمْ وَهَلْ يَصِيْرُ فَرْضُ قِتَالِهِ مُتَعَيَّنًا عَلَى كَافَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ كَمَا تَعَيَّنَ أَهْلُ الثَّغْرِ أَمْ لاَ؟ عَلَى وَجهَيْنِ: أَحَدُهَا يَتَعَيَّنُ لِأَنَّ جَمِيْعَ الْمُسْلِمِيْنَ يَدٌ عَلَى مَنْ سِوَاهُمْ فَيَصِيْرُ فَرْضُ قِتَالِهِمْ مُتَعَيَّنًا عَلَى كَافَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ. وَالْوَجْهُ الثَّانِيْ أَنْ لاَ يَتَعَيَّنَ عَلَيْهِمْ وَيَكُوْنُ بَاقِيًا عَلَى الْكِفَايَةِ لِقُدْرَةِ أَهْلِ الثُّغْرِ عَلَى دَفْعِهِمْ فَيَصِيْرُ فَرْضُ قِتَالِهِ مُتَعَيَّنًا وَعَلَى الْكَافَّةِ مِنْ فُرُوْضِ الْكِفَايَاتِ .

Bagian yang ketiga, jika musuh memasuki negeri Islam dan mendudukinya, maka bagi penduduk negeri fardhu ‘ain memeranginya. Jika penduduk negeri tersebut tidak punya kemampuan untuk melawan, maka kewajiban berperang berlaku bagi seluruh ummat Islam sampai musuh terusir ke negeri mereka. Jika penduduk negeri tersebut punya kemampuan untuk membela, kewajiban berjihad sebagai fardhu kifayah tetap tidak gugur bagi segenap umat Islam selama musuh masih berada di negeri tersebut. Namun apakah kewajiban memerangi musuh menjadi kewajiban seluruh umat Islam seperti mereka yang berada di daerah perbatasan, ada dua pendapat. Pertama, menjadi kewajiban. Sebab, semua umat Islam itu ibarat penguasa bagi umat selainnya, sehingga kewajiban memerangi musuh menjadi kewajiban semua umat Islam. Kedua, tidak menjadi kewajiban semua umat Islam. Dan hukumnya tetap fardhu kifayah karena penduduk daerah perbatasan telah mencukupi untuk melawan musuh. Maka berperang bagi mereka hukumnya fardhu ‘ain dan bagi selainnya fardhu kifayah.

[1]   Sulaiman al-Bujairimi, al-Tajrid li Naf’ al-‘Abid, (Mesir: Musthafa al-Halabi, 1345), Jilid IV, h. 251.

[2]   Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri, (Mesir: Isa al-Halabi, 1922), Jilid II, h. 269.

[3]   Syaikh al-Islam Zakariya al-Anshari, Fath al-Wahhab pada hamisy Sulaiman al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal ‘ala Syarah Manhaj al-Thullab, (Mesir: Musthafa Muhammad t. th.), Juz V, h. 191.

[4]   Muhyiddin al-Nawawi, Raudhah al-Thalibin, (Beirut: al-Maktabah al-Islami, 1985), Cet. Ke-2, Jilid X, h. 214-1215.

[5]   Ibn Abidin, Radd al-Muhtar ‘ala al-Dur al-Mukhtar, (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-Arabi, t. th.), Jilid III, h. 219-220.

[6]   Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, (Beirut: Dar al-Fikr, 1414 H/1994 M), Jilid XVIII, h. 161-162.

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 271 KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-16 Di Purwokerto Pada Tanggal 26-29 Maret 1946 M.