Hukum Menikahi Anak Tiri

 
Hukum Menikahi Anak Tiri
Sumber Gambar: ilustrasi.Png

LADUNI.ID, Jakarta - Islam telah mengatur sistem pernikahan dengan cara yang sebaik mungkin dan tidak sembarangan, seandainya tidak demikian maka pernikahan seorang ayah dengan anak kandungnya pun bisa terjadi. Problem yang jamak terjadi di tengah-tengah masyarakat diantaranya seorang ayah yang hendak menikahi anak perempuan tirinya. Lantas yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana hukum menikahi anak tiri menurut hukum Islam?

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman dalam Surat An-Nisa ayat 23:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا

Artinya: “Diharamkan bagi kalian (menikahi) ibu kalian, anak perempuan kalian, saudara perempuan kalian, bibi kalian dari ayah, bibi kalian dari ibu, anak perempuan dari saudara laki-laki, anak perempuan dari saudara perempuan, ibu yang menyusui kalian, saudara perempuan sepersusuan, ibu dari istri kalian, dan anak perempuan tiri dari istri kalian yang telah disetubuhi. Bila kalian belum mengumpuli para istri itu maka tak mengapa kalian menikahi anak tiri itu. Juga haram bagi kalian menikahi istri dari anak laki-laki kandung kalian dan mengumpulkan dua saudara perempuan kecuali apa yang telah lewat. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa 4:23)

Sementara pada ayat sebelumnya dalam surat yang sama Allah Subhanahu Wa Ta’ala  berfirman:

وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ

Artinya: “Dan janganlah kalian menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi bapak-bapak kalian kecuali apa yang telah lewat.”

Secara garis besar ulama fiqh menyimpulkan ada tiga sebab yang menjadikan perempuan haram untuk dinikahi, yakni:

1. Adanya hubungan kekerabatan atau nasab antara perempuan dan calon suaminya.
2. Memiliki hubungan sepersusuan antara perempuan dan calon suaminya.
3. Memiliki hubungan mushâharah (hubungan kekeluargaan yang terjadi karena adanya perkawinan) antara si perempuan dengan calon suaminya.

Tentang tiga kategori perempuan yang haram dinikahi ini bisa dilihat dalam berbagai kitab fiqh di antaranya dalam kitab Kifayatul Akhyar karangan Syekh Abu Bakar Al-Husaini (Damaskus: Darul Basyair, 2001, juz I, hal. 431 – 433)

 Hukum menikahi Anak Tiri

Allah Subhanahu Wa Ta’ala  berfirman dalam surat Al-Ahzab ayat 4 dan 5:

وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ

Artinya: “Allah tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak-anakmu.”

ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ

Artinya: “Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama bapak-bapak mereka.”

Kedua ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak menjadikan anak-anak angkat sebagai anak-anak kandung yang memiliki hubungan nasab dengan orang tua angkatnya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga memerintahkan agar anak-anak angkat itu dinasabkan kepada bapak-bapak kandung mereka (lihat: Muhammad Nawawi Al-Jawi, Marah Labid, [Beirut: Darul Fikr, 2007], juz II, hal. 196 – 197).

Dari sini kiranya bisa disimpulkan bahwa anak angkat tetaplah sebagai anaknya orang yang melahirkan (bapak biologisnya) dan bukan anaknya orang yang mengangkatnya sebagai anak. Meski anak angkat tidak menjadi anak dari orang tua angkatnya namun dalam menentukan hukum menikahinya mesti dijelaskan lebih dahulu dari mana asal usul anak tersebut mengingat bisa jadi anak angkat itu memiliki hubungan mahram dengan orang tua angkatnya dan bisa jadi sama sekali tidak memiliki hubungan apapun dengannya. Sehingga harus diperhatikan pada aspek mahramnya juga.

Dalam hukum Islam, menikahi anak angkat dibolehkan atau sah, Namun jika hal ini akan menjadi bahan perbincangan di masyarakat karena dianggap sebagai sesuatu yang tidak lumrah sebaiknya dihindari.

Keterangan Kitab Fathul Mu’in  dan I’anah Al-Thalibin

(وَكَذَا فَصْلُهَا) ... (إِنْ دَخَلَ بِهَا) ( قَوْلُهُ وَكَذَا فَصْلُهَا إِلَخ ) ... أَيْ وَكَمَا يَحْرُمُ أَصْلُ الزَّوْجَةِ يَحْرُمُ أَيْضًا فَصْلُ الزَّوْجَةِ

(Dan begitu pula anak perempuannya) … (bila seseorang pernah bersetubuh dengan si istri) (Ungkapan Syaikh Zainuddin al-Malibari: “Dan begitu pula anak anak perempuannya.”) … Maksudnya sebagaimana haram menikahi ibu si istri, haram pula menikahi anak perempuannya.

Hadis riwayat Ummu Habibah (istri Rasulullah) bahwa beliau pernah mengajukan tawaran kepada Rasul untuk menikahi saudaranya Azat binti Abu Sufyan “Apakah itu yang kau harapkan?” tegas Nabi. “Iya, sebab aku pasti akan dimadu, dan aku ingin engkau memadu saudaraku” lalu Nabi menjawab “Ia tidak halal untukku.” kemudian Ummu Habibah berkata lagi “Kami medapat kabar, bahwa engkau akan mempersunting putri Abu Salamah.”

“Anak perempuan Ummu Salamah?” timpal Nabi, “Iya” jawab Ummu Habibah, lalu Rasul mengutarakan alasan alasan mengapa hal itu diharamkan, beliau bersabda, “Seandainya ia bukanlah anak asuhanku, maka ia tak halal untukku, ia adalah anak dari sodara sepersusuanku, aku dan Abu Salamah menyusu pada Tsuwaibah, maka dari itu janganlah kalian memberikan tawaran untukku anakku atau saudara perempuanku. (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadis ini menjelaskan alasan mengapa Rasulullah menjadikan dirinya haram menikah dengan anak perempuan Ummu Salamah, karena Rasullah telah menikah dengan ibunya (Ummu Salamah).

Kesimpulan dari hukum menikahi anak tiri adalah ditafsil (diperinci). Pertama, jika seorang ayah menikahi anak tirinya dan belum melakukan hubungan badan dengan ibu dari anaknya maka hukumnya adalah halal, namun dengan catatan harus sudah bercerai dengan istrinya ketika akan menikahi anak tirinya. Kedua, jika sudah melakukan hubungan badan dengan istri (ibu dari anak tirinya) maka hukum menikahi anak tirinya adalah haram.  Wallahua’lam.

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 288 KEPUTUSAN KONFERENSI BESAR PENGURUS BESAR SYURIAH NAHDLATUL ULAMA KE 1 Di Jakarta Pada Tanggal 21 - 25 Syawal 1379 H. / 18 - 22 April 1960 M.

___________
Catatan: Tulisan ini terbit pertama kali pada  Jumat, 31 Agustus 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan.

Editor : Sandipo