Pendapat tentang Ulama yang Menjabat di Pemerintahan

 
Pendapat tentang Ulama yang Menjabat di Pemerintahan

Ulama di Pemerintahan

Pertanyaan :

Bagaimana ulama-ulama kita yang menjabat dalam pemerintahan?. Apakah tidak termasuk dalam sabda Nabi Muhammad Saw.:

الْعُلَمَاءُ أُمَنَاءُ الرُّسُلِ عَلَى عِبَادِ اللهِ تَعَالَى مَالَمْ يُخَالِطُوا السَّلاَطِيْنَ. فَإِنْ خَالَطُوْهُمْ وَفَعَلُوْا ذَلِكَ فَقَدْ خَانُوْا الرُّسُلَ وَخَانُوْهُمْ فَاحْذَرْهُمْ وَاعْتَزِلُوْهُمْ

Artinya: Para ulama adalah kepercayaan para Rasul atas para hamba Allah selama mereka tidak bergaul dengan para penguasa. Akan tetapi kalau mereka bergaul dan berbuat demikian, maka sungguh mereka telah berkhianat kepada para rasul dan para hamba Allah, maka takut dan hindarilah mereka.” Dalam kitab Majmu’ bahasa Jawa karangan K. Sholeh Darat Semarang ditegaskan bahwa: “Ulama pejabat pemerintahan adalah orang-orang yang terhina dan tertipu”, ataukah tidak termasuk dalam hadits tersebut?.

Jawab :

Para ulama pejabat pemerintah itu tidak termasuk dalam hadits dan pendapat K. Sholeh seperti tersebut di atas, jika menjabatnya karena ada hajat/dharurat/kemaslahatan agama, dan dengan niat yang baik.

Keterangan, dari kitab:

  1. Is’ad al-Rafiq [1]

وَأَنْ لاَ يَكُوْنَ مُتَرَدِّدًا عَلَى السَّلاَطِيْنَ وَغَيْرِهِمْ مِنْ أَرْبَابِ الرِّيَاسَةِ فِي الدُّنْيَا إِلاَّ لِحَاجَةٍ وَضَرُوْرَةٍ أَوْ مَصْلَحَةٍ دِيْنِيَّةٍ رَاجِحَةٍ عَلَى الْمَفْسَدَةِ إِذَا كَانَتْ بِنِيَّةٍ حَسَنَةٍ صَالِحَةٍ. وَعَلَى هَذَا يُحْمَلُ مَا جَاءَ لِبَعْضِهِمْ مِنَ الْمَشْيِ وَالتَّرَدُّدِ إِلَيْهِمْ كَالزُّهْرِي وَالشَّافِعِي وَغَيْرِهِمَا لاَ عَلَى أَنَّهُمْ قَصَدُوْا بِذَلِكَ فُضُوْلَ اْلأَغْرَاضِ الدُّنْيَوِيَّةِ قَالَهُ السَّمْهُوْدِي .

Dan hendaknya tidak bolak-balik pergi ke sultan dan para penguasa dunia lainnya kecuali karenas hajah, dharurah, atau maslahat agama yag lebih besar dari pada mafsadahnya,  jika disertai niat baik. Pada konteks seperti inilah pergaulan para ulama seperti al-Zuhri, al-Syafi’i dan selainnya dengan para penguasa dipahami. Bukan dalam konteks mereka mencari kepentingan duniawi. Demikian kata al-Samhudi.

[1] Muhammad Babashil, Is’ad al-Rafiq ‘ala Sullam al-Taufiq, (Indonesia: Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah t. th.), Juz II, h. 31.

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 294 KEPUTUSAN KONFERENSI BESAR PENGURUS BESAR SYURIAH NAHDLATUL ULAMA KE 1 Di Jakarta Pada Tanggal 21 - 25 Syawal 1379 H. / 18 - 22 April 1960 M.