Pendapat Mengenai Fatwa Ulama Mesir yang Memperbolehkan Mengambil Bola Mata Orang Meninggal

 
Pendapat Mengenai Fatwa Ulama Mesir yang Memperbolehkan Mengambil Bola Mata Orang Meninggal

Mengambil Bola Mata Mayit untuk Mengganti Bola Mata Orang Buta

Pertanyaan :

Bagaimana pendapat Muktamar tentang ifta (fatwa) mufti Mesir yang memperbolehkan mengambil bola mata mayit untuk mengganti bola mata orang buta? Benarkah fatwa tersebut?.

Jawab :

Bahwa ifta (fatwa) mufti Mesir itu tidak benar, bahkan haram mengambil bola mata mayit, walaupun mayit itu tidak terhormat (ghair muhtaram) seperti mayitnya orang murtad. Demikian pula haram menyambung anggota tubuh dengan anggota tubuh lain, karena bahayanya buta itu tidak sampai melebihi bahayanya merusak kehormatan mayit.

Keterangan, dari kitab:

  1. Hasyiyah al-Rasyidi ‘ala Fath al-Jawad [1]:

اَمَّا اْلأَدَمِيُّ فَوُجُوْدُهُ حِيْنَئِذٍ كَالْعَدَمِ كَمَا قَالَ الْحَلَبِيُّ عَلَى الْمَنْهَجِ وَلَوْ غَيْرَ مُحْتَرَمٍ كَمُرَّتَدٍ وَحَرْبِيٍّ فَيَحْرُمُ الْوَصْلُ بِهِ وَيَجِبُ نَزْعُهُ

Adapun (jasad) manusia, maka adanya sama dengan tidak adanya sebagaimana yang dinyatakan al-Halabi dalam catatannya atas kitab al-Manhaj, walaupun tidak terhormat, seperti orang murtad dan kafir harbi. Karenanya maka haram tranplantasi (dengan organ mereka) dan harus dicopot kembali.

  1. Hadits Nabi Saw.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللهِ r قَالَ كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا (رَوَاهُ أَحْمَدُ فِي الْمُسْنَدِ وَأَبُو دَاوُدَ بِإِسْنَادٍ عَلَى شَرْطِ مُسْلِمٍ وَابْنُ مَاجَّةَ)

“Dari Aisyah ra., sungguh Rasulullah Saw. telah bersabda: “memecahkan tulang orang mati itu sama dengan memecahkan tulangnya ketika masih hidup.” (HR. Ahmad dalam al-Musnad, Abu Dawud dengan standar sanad Muslim dan Ibn Majah)

عَنْ أُمُّ سَلَمَةَ عَنْ النَّبِيِّ r قَالَ كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِ عَظْمِ الْحَيِّ فِي اْلإِثْمِ (رَوَاهُ ابْنُ مَاجَّةَ) حَدِيْثٌ حَسَنٌ

“Dari Ummu Sulaim, dari Nabi Saw., beliau berkata: “Memecah tulang orang mati itu sama dengan memecah tulangnya ketika masih hidup dalam hal dosanya.” (HR. Ibn Majah dari Ummu Salamah).

[1] Husain al-Rasyidi, Hasyiyah al-Rasyidi ‘ala Fath al-Jawad, (Indonesia: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, t. th.), h. 26-27.

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 315 KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-23 Di Solo Pada Tanggal 29 Rajab - 3 Sya’ban 1382 H. / 25 - 29 Desember 1962 M.