Menggunakan Tanah untuk Madrasah, yang Berkaitan dengan Wakaf

 
Menggunakan Tanah untuk Madrasah, yang Berkaitan dengan Wakaf

Menggunakan Tanah untuk Madrasah, Kaitannya dengan Wakaf

Pertanyaan :

Ada panitia Nahdhiyyin mengumpulkan barang atau uang derma untuk membeli tanah dan alat-alat pergedungan fi al-ardh al-muhyat laa min al-mawat. Kemudian tanah dan gedung itu dipergunakan untuk madrasah dan mushalla atau kantor. Akan tetapi tidak ada shighat wakaf dari siapapun dan belum ada syarat-syarat dan peraturan mengenai nazhir serta tidak ada hubungannya dengan sesuatu yayasan, oleh karena itu:

  1. Apakah tanah dan gedung itu sudah menjadi wakaf.
  2. Siapakah yang berhak membuat/menjadikan wakafnya dan membuat syarat-syaratnya?.
  3. Siapakah yang berkompeten menjadi nazhir?.

Kalau sebagian dari anggota panitia itu masuk organisasi lain, bolehkah tanah dan gedung tersebut dimiliki dan dibuatkan peraturan-peraturan atau diawasi oleh mereka yang dari organisasi lain NU?.

Jawab :

a. Barang-barang dan gedung-gedung belum menjadi barang wakaf.

b. Yang berhak membuat/menjadikan barang-barang wakaf dan membuat syarat-syaratnya adalah:

  1. Waqif (orang yang mewakafkan),
  2. Panitia yang mengumpulkan,
  3. Hakim syar’i.

c. Yang berkompeten menjadi nazhir adalah: kalau waqif menentukan maka nazhirnya adalah orang yang ditentukan oleh waqif. Kalau waqif tidak menentukan, maka nazhirnya adalah panitia yang Kalau panitia itu sudah tidak ada, maka yang berkompeten menjadi nazhir adalah hakim syar’i, kalau tidak ada nazhir yang khos. d. Tidak boleh sebagian dari anggota panitia yang pindah ke organisasi lain, memiliki dan membuat peraturan-peraturan atau manazhirnya (barang itu tetap menjadi hak milik NU).

Keterangan, dari kitab:

1. Asna al-Mathalib [1]

(وَلاَ يَصِيْرُ الْمُشْتَرَى وَقْفًا حَتَّى يُوْقِفَهُ)الْفَصِيْحُ يَقِفَهُ (الْحَاكِمُ) وَفُرِقَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْمَبْنِيِّ فِيْ عِمَارَةِ الْجُدُرِ أَنَّ الْمَوْقُوْفَةَ وَتَرْمِيْمَهَا حَيْثُ يَصِيْرُ وَقْفًا بِالْبِنَاءِ لِجِهَّةِ الْوَقْفِ بِأَنَّ الْعَبْدَ الْمَوْقُوْفَ قَدْ فَاتَ بِالْكُلِّيَّةِ وَاْلأَرْضَ الْمَوْقُوْفَةَ بَاقِيَةٌ وَالطِّيْنَ وَالْحَجَرَ الْمَبْنِيَّ بِهِمَا كَالْوَصْفِ التَّابِعِ وَمَا ذُكِرَ مِنْ أَنَّ الْحَاكِمَ يَتَوَالَى الشِّرَاءَ وَالْوَقْفَ مَحَلُّهُ إِذَا لَمْ يَكُنْ لِلْوَقْفِ نَاظِرٌ خَاصٌّ وَإِلاَّ فَهُوَ الَّذِي يَتَوَالَى بِهِمَا كَمَا هُوَ الْمَفْهُوْمُ مِنْ كَلاَمِهِمْ فِيْمَنْ يَتَوَلَّى أَمْرَ الْوَقْفِ.

Budak yang dibeli –sebagai ganti budak wakafan yang mati- tidak menjadi barang wakaf -shighat fashih dari kata يُوَقِّفَهُ adalah يَقِفَهُ, sampai hakim mewakafkannya. Perbedaan antara budak yang dibeli tersebut dan bangunan yang ditegakkan dalam perawatan dinding yang hukum bangunan wakaf dan pembuatan dindingnya bisa langsung menjadi barang wakaf dengan dibangun pada arah lahan wakaf, adalah budak  yang diwakafkan sama sekali sudah tidak bisa dimanfaatkan, sementara lahan wakaf masih ada dan tanah liat serta batu yang digunakan membangun itu hukumnya seperti sifat yang mengikuti lahan wakaf. Keterangan yang telah disebutkan, yaitu hakim itu menangani pembelian dan pewakafannya adalah jika tidak ada nazhir khusus yang mengelola wakaf tersebut. Jika ada, maka dia yang menangani keduanya, sebagaimana yang dipahami dari pernyataan para ulama tentang pihak yang menangani urusan perwakafan.

2. Tuhfah al-Muhtaj dan Hawasyai al-Syarwani wa al-‘Ubbadi [2]

قَالَ الشَّيْخُ أَبُوْ مُحَمَّدٍ وَكَذَا لَوْ أَخَذَ مِنَ النَّاسِ شَيْئًا لِيُبْنَى بِهِ زَاوِيَةً أَوْ رِبَاطًا فَيَصِيْرُ كَذَلِكَ بِمُجَرَّدِ بِنَائِهِ وَاعْتَرَضَ بَعْضُهُمْ مَا قَالَهُ الشَّيْخُ بِأَنَّهُ فَرَّعَهُ عَلَى طَرِيْقَةٍ ضَعِيْفَةٍ

(قَوْلُهُ عَلَى طَرِيقَةٍ ضَعِيفَةٍ) وَهِيَ عَدَمُ اشْتِرَاطِ اللَّفْظِ فِي الْوَقْفِ مُطْلَقًا وَكِفَايَةُ الْفِعْلِ وَالنِّيَّةِ فَقَطْ

Syaikh Abu Muhammad berkata: “Begitu pula bisa menjadi wakaf tanpa mengucapkan sighat wakaf, bila seseorang mengumpulkan sumbangan (dana dan semisalnya) untuk digunakan membagun zawiyah atau ribath (tempat ibadah khusus para sufi), maka sumbangan tersebut langsung menjadi wakaf dengan digunakannya membangun (tanpa memerlukan sighat wakaf). Sebagian ulama menentang pendapat beliau tersebut dengan menyatakan, bahwa pendapat itu beliau kembangkan atas dasar riwayat yang lemah. (Ungkapan Ibn Hajar al-Haitami: “Atas dasar riwayat yang lemah.”) Yaitu tidak disyaratkannya pengucapan shighat wakaf secara mutlak, dan wakaf cukup dengan pelaksanaan -pembangunan- serta niat saja.

[1] Syaikh al-Islam Zakariya al-Anshari, Asna al-Mathalib, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2001), Jilid III, h. 474.

[2] Ibn Hajar al-Haitami, al-Syarwani dan al-‘Ubbadi, Tuhfah al-Muhtaj dan Hawasyai al-Syarwani wa al-‘Ubbadi, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), Cet. I, Juz VI, h. 298.

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 323 KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-25 Di Surabaya Pada Tanggal 20 - 25 Desember 1971 M.