Keutamaan Dana Haji untuk Membiayai Amaliyah yang Bersifat Sosial

 
Keutamaan Dana Haji untuk Membiayai Amaliyah yang Bersifat Sosial

Keutamaan Dana untuk Naik Haji Ghair al-Wajib untuk Membiayai Amaliyah yang Bersifat Sosial Kemasyarakatan

Pertanyaan :

Bagaimanakah pandangan Muktamar terhadap keutamaan penggunaan dana untuk naik haji ghair al-wajib dibandingkan dengan untuk membiayai amaliyah yang bersifat sosial kemasyarakatan?.

Jawab :

Pengertian haji ghair al-wajib seperti yang ditanyakan itu, dapat berarti haji fardhu kifayah, yaitu apabila yang melakukan haji kedua dan seterusnya itu orang yang merdeka, yang mukallaf; dan dapat berarti haji sunnah -yaitu apabila yang melakukan hamba sahaya (raqiq), anak kecil (yang belum baligh) dan orang gila. Sementara itu, amal sosial kemasyarakatan pun ada yang fardhu kifayah, ada pula yang sunah. Maka apabila haji ghair al-wajib dan amal sosial sama-sama fardhu kifayah atau sama-sama sunah, mengenai  mana yang lebih utama, ada dua pendapat:

  1. Lebih utama naik haji.
  2. Lebih utama sosial.

Keterangan, dari kitab:

  1. I’anah al-Thalibin [1]

وَيَجِبَانِ أَيْضًا وُجُوْبًا كِفَائِيًا كُلَّ سَنَةٍ لِإِحْيَاءِ الْكَعْبَةِ الْمُشَرَّفَةِ عَلَى اْلأَحْرَارِ الْبَالِغِيْنَ إِلَى أَنْ قَالَ وَيُسَنَّانِ مِنَ اْلأَرِقَّاءِ وَالصِّبْيَانِ وَالْمَجَانِيْنِ

Keduanya (naik haji dan umrah) juga wajib kifayah dilakukan setiap tahun bagi orang-orang merdeka dan baligh, agar dapat menghidupkan Ka’bah yang mulia ... dan keduanya sunah bagi hamba sahaya, anak-anak dan orang gila.

2. Hasyiyah ‘ala al-Idhah fi al-Manasik [2]

(قَوْلُهُ وَمِنْ أَعْظَمِ الطَّاعَاتِ) وَمِنْ ثَمَّ وَجَّهُوْا قَوْلَ الشَّافِعِيّ t اْلإِشْتِغَالُ بِالْعِلْمِ أَفْضَلُ مِنَ الصَّلاَةِ النَّافِلَةِ لِأَنَّ اْلإِشْتِغَالَ بِالْعِلْمِ فَرْضُ كِفَايَةٍ وَهُوَ أَفْضَلُ مِنَ النَّفْلِ وَيَأْتِى عَلَى مَا ذَكَرْتُهُ بِنَاءً عَلَى أَنَّ فَرْضَ الصَّدَقَةِ أَفْضَلُ مِنْ فَرْضِ الْحَجِّ وَنَفْلُهَا أَفْضَلُ مِنْ نَفْلِهِ وَهُوَ مَا يَدُلُّ عَلَيْهِ كَثِيْرٌ مِنَ الْعِبَارَاتِ فِيْمَا فُهِمَ مِنْهَا كَلاَمُ الْعُبَادِيِّ فِيْ زِيَادَتِهِ مِنْ أَنَّ حَجَّ التَّطَوُّعِ أَفْضَلُ مِنْ صَدَقَةِ التَّطَوُّعِ

Pernyataan al-Nawawi, “Dan di antara amal-amal ketaatan yang paling besar.” dari situ para ulama menguatkan pendapat Imam Syafi’i yang menyatakan bahwa menekuni ilmu lebih utama dari pada shalat sunnah, sebab belajar ilmu itu fardhu kifayah dan lebih utama dibanding ibadah sunnah. Dan akan diterangkan nanti atas apa yang telah saya sampaikan, berdasarkan sedekah wajib -zakat- lebih utama dari pada haji wajib, dan sedekah sunnah lebih utama dari haji sunnah. Begitu kesimpulan yang ditunjukkan mayoritas redaksi -kitab fiqh- dalam masalah yang dari redaksi tersebut dipahami pernyataan al-‘Ubbadi dalam kitab Ziadahnya: “Sungguh haji sunnah lebih utama dari pada sedekah sunah.”

3. Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifah Alfazh al-Minhaj [3]

وَ تَقَدَّمَ فِيْ بَابِ صَلاَةِ النَّفْلِ عَنِ الْقَاضِي حُسَيْنٍ أَنَّ حَجَّ التَّطَوُّعِ أَفْضَلُ الْعِبَادَاتِ لِاشْتِمَالِهِ عَلَى الْمَالِ وَالْبَدَنِ وَقَالَ الْحَلِيْمِيُّ الْحَجُّ يَجْمَعُ مَعَانِيَ الْعِبَادَاتِ كُلَّهَا فَمَنْ حَجَّ فَكَأَنَّمَا صَلَّى وَصَامَ وَاعْتَكَفَ وَزَكَّى وَرَابَطَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ وَغَزَا

Sebagaimana telah dijelaskan di bab shalat sunah yang dikutip dari al-Qadhi Husain, haji sunnah itu adalah ibadah yang paling afdhal, sebab mencakup harta dan badan. Al-Halimi berpendapat: “Haji itu menghimpun seluruh pengertian ibadah. Maka orang yang berhaji, seakan ia sekaligus melaksanakan shalat, berpuasa, beri’tikaf, berzakat, berjuang di jalan Allah Swt. Dan berperang.

4. I’anah al-Thalibin [4]

قَوْلُهُ خِلاَفًا لِلْقَاضِي أَيْ فَإِنَّهُ قَالَ الْحَجُّ أَفْضَلُ مِنْهَا أَيْ وَمِنْ غَيْرِهَا مِنْ سَائِرِ الْعِبَادَاتِ أَيْ لِاشْتِمَالِهِ عَلَى الْمَالِ وَالْبَدَنِ وَلِأَنَّا دُعِينَا إِلَيْهِ وَنَحْنُ فِي الْأَصْلَابِ كَمَا أُخِذَ عَلَيْنَا الْعَهْدُ بِالْإِيمَانِ حِينَئِذٍ وَلِأَنَّ الْحَجَّ يَجْمَعُ مَعَانِي الْعِبَادَاتِ كُلِّهَا فَمَنْ حَجَّ فَكَأَنَّمَا صَلَّى وَصَامَ وَاعْتَكَفَ وَزَكَى وَرَابَطَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ وَغَزَا كَمَا قَالَهُ الْحُلَيْمِيّ قَالَ الْعَلاَّمَةُ عَبْدُ الرَّؤُوْفِ الْمُنَاوِيُّ وَالظَّاهِرُ أَنَّ قَوْلَ الْقَاضِي هُوَ أَفْضَلُ مَفْرُوْضٍ فِيْ غَيْرِ الْعِلْمِ

Pernyataan Syaikh Zainudin al-Malibari: “Berbeda dengan al-Qadhi.” Maksud Qadhi Husain adalah haji lebih utama dari pada shalat, begitu pula lebih utama dari ibadah selainnya. Sebab, haji mencakup –ibadah- harta benda dan badan, kita -manusia- telah dipanggil berhaji di saat masih -berupa air mani- dalam tulang rusuk -seorang ayah- seperti halnya saat itu kita dijanji dengan iman, dan haji mengumpulkan semua subtansi ibadah. Maka siapa yang melaksanakannya, seolah ia telah melakukan shalat, puasa, i’tikaf, membayar zakat, bergabung dengan pasukan jihad fi sabilillah dan berperang, seperti penjelasan al-Halimi. Al-‘Allamah Abd al-Ra’uf al-Munawi berkata: “Yang jelas pendapat Qadhi Husain “Haji itu ibadah paling utama.”, adalah untuk selain ilmu.

5. Referensi lain:     

a. Hasyiyah al-Sittin, karya al-Matharai, h. 130.    

b. Al-Fatawa al-Kubra, karya Ibn Hajar al-Haitami, Jilid III, h. 143.    

c. Bughyah al-Mustarsyidin, h. 116.    

d. I’anah al-Thalibin, Juz II, h. 284.

[1]  ِAl-Bakri bin Muhammad Syaththa al-Dimyati, I’anah al-Thalibin, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th) Juz II, h. 280.

[2]  Ibn Hajar al-Haitami, Hasyiyah ‘ala al-Idhah fi al-Manasik, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 5.

[3] Muhammad al-Khatib al-Syirbini, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifah Alfazh al-Minhaj, (Beirut: Dar al-Fikr, t. th.), Jilid I, h. 360.

[4] Muhammad Syaththa al-Dimyati, I’anah al-Thalibin, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th),  Jilid II, h. 277.

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 348 KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-27 Di Situbondo Pada Tanggal 8-12 Desember 1984