Problem Menyelenggarakan Shalat Jumat di Perkantoran dan Alternatif Hukumnya

 
Problem Menyelenggarakan Shalat Jumat di Perkantoran dan Alternatif Hukumnya
Sumber Gambar: Foto Aprilandika Pratama / Kumparan (ilustrasi foto)

Laduni.ID, Jakarta - Hukum melaksanakan shalat Jum'at di tempat-tempat yang kemungkinan tidak memenuhi syarat sah pelaksanaan shalat Jum'at seperti adanya penduduk tetap (mustauthin) seperti perkantoran dan kawasan industri secara hukum adalah tafshil (rinci). Shalat Jum’at tanpa mustauthin dan muqimin atau dengan mustauthin dan muqimin, tetapi tidak memenuhi syarat, hukumnya tafshil atau dirinci sebagaimana yang sudah jelaskan pada pembahasan sebelumnya

Secara hukum shalat Jum'at di perkantoran dihukumi sah  apabila diikuti orang-orang yang tinggal menetap sampai bilangan yang menjadi syarat sahnya Jum’at dan tidak terjadi penyelenggaran Jum’at lebih dari satu. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama Ke-27 di Situbondo pada Tanggal 8-12 Desember 1984. Adapun keputusan dari Muktamar tersebut adalah sebagai berikut:

"Menyelenggarakan shalat Jum’at di tempat-tempat seperti kantor-kantor, apabila diikuti orang-orang yang tinggal menetap sampai bilangan yang menjadi syarat sahnya Jum’at dan tidak terjadi penyelenggaran Jum’at lebih dari satu, maka hukumnya sah"

Baca Juga: Hukum Menyelenggarakan Shalat Jumat Secara Bergantian

Adapun keterangan yang digunakan adalah dari kitab Bughyah Al-Musytarsyidin karya Abdurrahman bin Muhammad Ba’lawi.

وَالْحَاصِلُ مِنْ كَلاَمِ اْلأَئِمَّةِ أَنَّ أَسْبَابَ جَوَازِ تَعَدُّدِهَا ثَلاَثَةٌ ضِيْقُ مَحَلِّ الصَّلاَةِ بِحَيْثُ لاَ يَسَعُ الْمُجْتَمِعِيْنَ غَالِبًا وَالْقِتَالُ بَيْنَ الْفِئَتَيْنِ بِشُرُوْطِهِ وَبُعْدُ أَطْرَافِ الْبَلَدِ بِأَنْ كَانَ بِمَحَلٍّ لاَ يَسَعُ النِّدَاءَ أَوْ بِمَحَلٍّ لَوْ خَرَجَ مِنْهُ بَعْدَ الْفَجْرِ لَمْ يُدْرِكْهَا إِذْ لاَ يَلْزَمُ السَّعْيُ إِلَيْهَا إِلاَّ بَعْدَ الْفَجْر

"Kesimpulan dari pendapat para tokoh ulama adalah, bahwa sebab-sebab diperbolehkan shalat Jum’at lebih dari satu itu ada tiga: 1) Tempat pelaksanaan shalat sempit sehingga tidak mampu memuat jamaah secara umum, 2) Terjadi peperangan antara dua golongan dengan berbagai syaratnya, 3) Jauhnya jarak antara batas daerahnya, sehingga suara adzan tidak terdengar darinya, atau berada di suatu tempat (daerah tersebut) yang seandainya keluar (melaksanakan jum’atan) setelah terbit fajar, maka tidak menemukannya (telat). Sebab, tidak ada keharusan pergi ke Jum’atan kecuali setelah terbitnya fajar"

Saat ini pelaksanaan shalat Jum'at di perkantoran menjadi hal yang sudah biasa dan tidak bisa dihindari dikarenakan keadaan yang tidak memungkinkan untuk melaksanakan shalat Jum'at di wilayah yang secara hukum syarat sah shalat Jum'atnya terpenuhi seperti adanya penduduk tetap (mustauthin) sebanyak 40 orang mukallaf sebagaimana dalam Madzhab Syafi'i.

Pelaksanaan shalat Jum'at di perkantoran/perusahaan yang sangat mungkin tidak memenuhi persyaratan, misalnya:
1). Jumlah peserta tidak mencapai 40 orang dari kalangan penduduk tetap (mustauthin).
2). Peserta hanya dari pegawai/karyawan yang hanya berstatus muqim (menempat sementara) atau musafir, dan
3). Penyelenggaraan shalat Jum'at di tempat itu bukan satu-satunya.

Lalu bagaimana tawaran hukum untuk memberikan solusi hukum dalam pelaksaaan shalat Jum'at seperti di atas? Mengingat penyelenggaraan shalat Jum'at dalam kondisi ketiga kondisi di atas sulit untuk dihindari. Hal ini jangan sampai menyebabkan kelompok Islam Moderat (kelompok Nahdliyin) dan santri-santri pesantren yang sudah mumpuni dalam ilmu agama dihantui oleh ketidak absahan shalat Jum'at karena tidak terpenuhinya syarat shalat Jum'at, sehingga enggan untuk mengisi mimbar dan ruang dakwah di tempat seperti perkantoran dan perusahaan. Sehingga pada akhirnya tempat-tempat tersebut diisi oleh kelompok-kelompok "Islam Baru Hijrah" yang akan leluasa menyebarkan faham keislaman mereka.

Baca Juga: Hukum Menyelenggarakan Shalat Jumat Tanpa Penduduk Setempat

Kiranya penting memberikan jawaban atas ketiga kasus di atas sebagai alternatif hukum, meski bukan satu-satunya hukum. Alternatif hukum untuk kondisi pertama yaitu jumlah peserta tidak mencapai 40 orang dari kalangan penduduk tetap (mustauthin). Sayyid Al-Bakri bin Muhammad Syaththa pengarang I'anah At-Thalobin menyatakan bahwa As-syafi'i dalam qoul qodim ada dua pendapat:
1. Minimal peserta Jumat empat orang penduduk tetap
2. Minimal dua belas orang penduduk tetap

فلا ينافي ان له قولين قديمين في العدد أيضا أحدهما اقلهم أربعة .......ثاني القولين اثنا عشر

Apakah boleh menggunakan pendapat qoul qodim dalam hal ini (pendapat Imam As-Syafi'i saat beliau di Bagdad)? Ya tentu boleh asal qoul qodim itu didukung oleh Ashab (santri-santri As-Syafi'i).

وهل بجوز تقليد هذين القولين الجواب نعم فانه قول للامام نصره بعض اصحابه ورجحه

Alternatif hukum untuk kondisi kedua, peserta hanya dari pegawai/karyawan yang hanya berstatus muqim (menempat sementara) atau musafir.

Al-Yaqut An-Nafis menyatakan shalat Jum'at dengan peserta jamaah yang berstatus muqim qhoiru mustauthin (mukim sementara) ada dua hukum yaitu sah dan tidak sah. Berarti dalam kondisi kedua terdapat alternatif hukum yang mengesahkan shalat Jum'atnya.

وجاء في المهذب هل تنعقد بمقيمين غير مستوطنين فيه وجهان قال علي بن ابي هريرة تنعقد بهم لأنه تلزمهم الجمعة فانعقدت بهم كالمستوطنين وقال ابو اسحق لا تنعقد

Syekh Zainudin Al-Malibari memberi alternatif hukum mengenai peserta Jum'at yang berstatus musafir bahwa dalam madzhab Abu Hanifah peserta Jumat yang hanya berstatus musafir itu sah.

فتنعقد عنده بأربعة ولو عبيدا او مسافرين

Baca Juga: Hukum Narapidana Menyelenggarakan Shalat Jum’at

Sedangkan alternatif hukum untuk kondisi ketiga, penyelenggaraan shalat Jum'at di tempat itu bukan satu-satunya, Syekh Ismail bin Zain dalam Qurrotul Ain menyatakan boleh penyelenggaraan shalat Jum'at lebih dari satu dalam satu tempat dalam waktu yang sama, yang penting pesertanya minimal empat puluh orang penduduk tetap.

اما مسالة تعدد الجمعة فالظاهر جواز ذلك مطلقا.بشرط ان لا ينقص عدد كل عن اربعين رجلا

Jadi, dalam kasus penyelenggaraan shalat Jum'at di perkantoran/perusahaan dengan kemungkinan terjadinya tiga kasus di atas itu terbuka hukum diperbolehkannya sebagai alternatif pilihan hukum, meski sangat mungkin terbuka terjadinya talfiq (mencampur madzhab) yang menurut pendapat kuat di kalangan Syafi'i tidak dibenarkan sebagaimana penjelasan Syekh Zainuddin Al-Malibari, tapi pendapat lain sebagaimana yang dikatakan Fathul A'llam adalah boleh.

والذي اذهب اليه واختاره القول بجواز التقليد في التلفيق لا بقصد تتبع ذلك لان من تتبع الرخص فسق

Wallahu A'lam

Catatan: Tulisan ini terbit pertama kali pada tanggal 06 September 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan


Referensi:
1. Kitab Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam No. 359
2. Tulisan Alfaqir M Sholeh (Wakil Rais Syuriyah PCNU Kab. Jombang) yang Dimuat di NU Online Jombang