Hukum Menangguhkan Haid Supaya Bisa Menyelesaikan Ibadahnya

 
Hukum Menangguhkan Haid Supaya Bisa Menyelesaikan Ibadahnya

Laduni.ID, Jakarta - Haid atau datang bulan bagi wanita merupakan hal yang wajar, hal ini merupakan kodrat yang harus diterima seorang wanita. Dikutip dari laman halodoc.com, siklus menstruasi dihitung dari hari pertama satu menstruasi hingga hari pertama berikutnya. Namun, siklus ini tidak sama untuk setiap wanita.

Umumnya, menstruasi dapat terjadi setiap 21 hingga 35 hari dan berlangsung selama dua hingga tujuh hari. Selama beberapa tahun pertama menstruasi dimulai, seorang wanita mungkin mengalami siklus menstruasi yang cukup panjang. Namun, siklus menstruasi cenderung memendek dan menjadi lebih teratur seiring bertambahnya usia.

Siklus menstruasi teratur ditandai dengan durasi yang sama setiap bulannya. Selain itu, menstruasi bisa menimbulkan nyeri ringan atau berat atau bahkan tanpa rasa sakit. Semuanya masih dianggap normal apabila kamu masih mengalami menstruasi teratur setiap bulannya dengan siklus 21–35 hari. Namun, saat mendekati menopause, siklus mungkin menjadi tidak teratur lagi.

Meski menstruasi merupakan kodrat seorang wanita dan merupakan hal yang seharsunya terjadi, Namun, tidak dipungkiri bahwa terkadang dianggap sebagai penghambat, contohnya dalam pelaksanaan ibadah haji yang seluruh rangkaiannya harus dikerjakan dalam keadaan suci. Lalu bagaimana hukumnya bila seorang wanita melakukan usaha menangguhkan haid dengan maksud agar dapat menyelesaikan ibadah haji, dan bagaimana pula hukum hajinya?

Usaha menangguhkan haid tersebut boleh, asal tidak membahayakan, dan hukum hajinya sah, sesuai dengan rujukan kitab di bawah ini

1. Ghayah Talkhish al-Murad min Fatawa Ibn Ziyad

وَفِي فَتَاوَى الْقِمَاطِ مَا حَاصِلُهُ جَوَازُ اسْتِعْمَالِ الدَّوَاءِ لِمَنْعِ الْحَيْضِ

Dan kesimpulan dalam Fatawa al-Qimath adalah boleh menggunakan obat-obatan untuk mencegah haid.  

2. Qurrah al-‘Ain fi Fatawa al-Haramain

مَسْأَلَةٌ: إِذَا اسْتَعْمَلَتِ الْمَرْأَةُ دَوَاءً لِمَنْعِ دَمِ الْحَيْضِ أَوْ تَقْلِيْلِهِ فَإِنَّهُ يُكْرَهُ مَا لَمْ يَلْزَمْ عَلَيْهِ قَطْعُ النَّسْلِ أَوْ قِلَّتُهِ

Jika wanita memakai obat untuk mencegah haid atau memenguranginya, maka hukumnya makruh bila tidak menyebabkan keturunan terputusnya atau memenguranginya.   

3. Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah

أَمَّا إِذَا خَرَجَ دَمُ الْحَيْضِ بِسَبَبِ دَوَاءٍ فِيْ غَيْرِ مَوْعِدِهِ فَإِنَّ الظَّاهِرَ عِنْدَهُمْ لاَ يُسَمَّى حَيْضًا. فَعَلَى الْمَرْأَةِ أَنْ تَصُوْمَ وَتُصَلِّيَ وَلَكِنْ عَلَيْهَا أَنْ تَقْضِيَ الصِّيَامَ احْتِيَاطًا لِاحْتِمَالِ أَنْ يَكُوْنَ حَيْضًا وَلاَ تَنْقَضِيْ بِهِ عِدَّتُهَا وَهَذَا بِخِلاَفِ مَا إِذَا اسْتَعْمَلَتْ دَوَاءً يَنْقَطِعُ بِهِ الْحَيْضُ فِيْ غَيْرِ وَقْتِهِ الْمُعْتَادِ. فَإِنَّهُ يُعْتَبَرُ طُهْرًا وَتَنْقَضِيْ بِهِ الْعِدَّةُ عَلَى أَنَّهُ لاَ يَجُوْزُ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَمْنَعَ حَيْضَهَا أَوْ تَسْتَعْجِلَ إِنْزَالَهُ إِذَا كَانَ ذَلِكَ يَضُرُّ صِحَّتَهَا  لِأَنَّ الْمُحَافَظَةَ عَلَى الصِّحَّةِ وَاجِبَةٌ

Adapun jika darah haid itu keluar di luar siklusnya disebabkan oleh obat-obatan, maka menurut pendapat kuat ulama Malikiyah adalah darah tersebut tidak dinamakan haid. Maka si wanita wajib puasa dan shalat dan wajib mengqadha puasanya karena kehati-hatian. Sebab ada kemungkinan darah itu adalah haid dan ‘iddahnya tidak habis dengan sebab keluarnya darah tersebut.

Hal ini berbeda dengan kasus wanita yang memakai obat yang menghentikan haidnya di luar waktu siklus biasanya, maka ia dianggap suci dan ‘iddahnya habis sebab haidnya terhenti. Semuanya atas dasar seorang wanita tidak boleh mencegah atau memajukan haid bila hal itu membahayakan kesehatannya, sebab menjaga kesehatan itu hukumnya wajib.  

Sebagai informasi, perubahan warna darah menstruasi bisa menjadi alarm agar lebih waspada. Berikut ini arti warna darah menstruasi yang perlu diketahui:

1.Merah Muda
Darah haid yang keluar bisa saja berwarna merah muda, biasanya muncul pada masa awal haid dan menjelang siklus selesai. Salah satu kondisi yang bisa ditandai dengan darah menstruasi merah muda adalah rendahnya kadar estrogen di dalam tubuh. Darah merah muda yang keluar mungkin juga adalah lokia, yaitu darah nifas yang umumnya keluar selama beberapa waktu setelah wanita melahirkan.

2.Merah Gelap
Darah haid bisa keluar dengan warna merah gelap. Darah yang berwarna merah gelap juga bisa berarti bahwa wanita masih mengeluarkan darah nifas alias lokia. Selain itu, darah menstruasi yang berwarna gelap juga bisa menjadi tanda bahwa siklus menstruasi akan segera berakhir.

3.Merah Menyala
Pada awal keluarnya, darah menstruasi umumnya akan berwarna merah menyala. Namun seiring hari, warna darah akan memudar dan menjadi lebih gelap. Hati-hati jika warna merah terang ini terus bertahan dan terjadi secara berlebihan. Kondisi ini disebut bisa menjadi tanda adanya infeksi seperti gonorrhea, hingga gejala fibroids. Keluarnya darah berwarna merah menyala juga bisa menjadi tanda awal kehamilan.

4.Darah Cokelat
Jika kadar progesteron dalam rahim rendah, maka darah haid akan berwarna coklat. Ini karena darah butuh waktu lebih lama untuk keluar dari tubuh. Darah haid yang berwarna cokelat juga bisa menjadi tanda bahwa siklus menstruasi akan segera berakhir.

5.Oranye
Warna merah cenderung oranye pada darah haid juga harus diwaspadai. Kondisi ini bisa jadi merupakan tanda telah terjadi infeksi bakteri atau infeksi menular seksual. Segera lakukan pemeriksaan ke rumah sakit jika mengalami kondisi ini.

6. Abu-Abu
Jika kamu memiliki darah haid dengan warna keabu-abuan agak hitam, maka segera bicarakan dengan dokter karena bisa jadi kamu terkena infeksi rahim. Darah haid berwarna abu-abu bisa menjadi tanda ada infeksi yang biasanya disertai dengan gejala lain, seperti demam, nyeri, serta gatal di seputar miss V.

7. Darah Hitam
Jangan panik jika darah menstruasi tiba-tiba berwarna kehitaman. Serupa dengan darah berwarna cokelat, darah haid hitam juga bisa menjadi tanda bahwa siklus menstruasi akan segera berakhir. Darah haid berwarna hitam merupakan darah lama alias darah haid yang tersisa, mungkin dari bulan sebelumnya.

__________________________

Referensi

  1. I’anah al-Thalibin, Juz IV, h. 39. b. Al-Syarqawi ‘ala al-Tahrir, Juz II, h. 320. c. Al-Idhah, hlm. 387.  
  2. Abdurrahman bin Muhammad Ba’ alawi, Ghayah al-Talkhish fi Fatawa Ibn Ziyad pada Bughyah al-Mustarsyidin, (Beirut: Dar al-Fikr,  t. th.), h. 247.
  3. Muhamad Ali al-Maliki, Qurrah al-‘Ain fi Fatawa al-Haramain, (Beirut: Dar al- Fikr,  2004), h. 30.
  4. Abdurrahman al-Juzairi, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), Juz IV, h. 16.

Catatan: Tulisan ini terbit pertama kali pada 2018-09-07. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan.