Hukum Jual Beli Hutang Piutang

 
Hukum Jual Beli Hutang Piutang

Bai’ud Dain (Jual Beli Piutang)

Si A berhutang pada B. Perjanjian hutang-piutang tersebut dikuatkan dalam akte perjanjian hutang-piutang. Karena mendesaknya kebutuhan, sebelum jatuh tempo oleh B, akte perjanjian hutang-piutang itu dijual kepada C. Berdasarkan akte perjanjian hutang-piutang itu C menagih kepada si A.  

Pertanyaan :

Bagaimana hukum jual beli hutang-piutang (bai’ al-dain)?. Misalnya si A berhutang kepada si B. Perjanjian hutang-piutang dikuatkan dalam akte perjanjian hutang-piutang. Karena terdesak kebutuhan, sebelum jatuh tempo, akte perjanjian hutang-piutang tersebut dijual kepada si C. Berdasarkan akte perjanjian tersebut si C menagih kepada si A?.

Jawab :

Jual beli hutang-piutang (bai’ al-dain) seperti tersebut di atas hukumnya boleh, jika nilainya sama. Dan jika nilainya berkurang, hukumnya tidak boleh.  

Keterangan, dari kitab:

1. Al-Iqna’ fi Hill Alfazh Abi Syuja’ [1]

وَيَصِحُّ بَيْعُ الدَّيْنِ بِغَيْرِ دَيْنٍ لِغَيْرِ مَنْ هُوَ عَلَيْهِ كَأَنْ بَاعَ بَكْرٌ لِعَمْرٍو مِائَةً لَهُ عَلَى زَيْدٍ بِمِائَةٍ كَبَيْعِهِ مِمَّنْ هُوَ عَلَيْهِ  كَمَا رَجَّحَهُ فِي الرَّوْضَةِ وَإِنْ رُجِّحَ فِي الْمِنْهَاجِ الْبُطْلاَنُ

Sah menjual hutang dengan selain hutang kepada orang lain yang tidak punya kewajiban atasnya, seperti Bakar menjual kepada Umar hutang senilai seratus yang menjadi kewajiban Zaid dengan nilai seratus pula. Pendapat ini diunggulkan dalam al-Raudhah, berbeda dengan al-Minhaj yang tidak mengesahkannya.  

2. Bughyah al-Mustarsyidin [2]

(مَسْأَلَةُ ك)

لاَ يَصِحُّ بَيْعُ الدَّيْنِ الْمُؤَجَّلِ بِأَنْقَصَ مِنْهُ حَالاً مِنْ جِنْسِهِ مِنَ الْمَدِيْنِ رِبَوِيًّا أَوْ غَيْرَهُ كَمَا لَوْ صَالَحَ مِنْ عَشْرَةٍ مُؤَجَّلَةٍ عَلَى خَمْسَةٍ حَالَةٍ لِأَنَّهُ جَعَلَ النَّقْصَ فِيْ مُقَابَلَةِ الْحُلُوْلِ وَهُوَ لاَ يَحِلُّ

(Kasus dari Muhammad Sulaiman al-Kurdi) Tidak sah menjual hutang bertempo dengan sesuatu yang nilainya lebih rendah dari jenis hutang tersebut secara kontan kepada orang yang menghutangi, baik berupa barang ribawi atau  selainnya. Seperti akad shulh (damai) dari 10 yang ditempo pada 5 secara kontan. Sebab, ia menjadikan kekurangannya sebagai imbal balik dari pembayaran kontannya dan hal itu tidak halal.  

3. Al-Mizan al-Kubra [3]

وَكَذَلِكَ اتَّفَقُوْا عَلَى تَحْرِيْمِ النَّجْشِ وَعَلَى تَحْرِيْمِ بَيْعِ الْكَالِئِ بِالْكَالِئِ وَهُوَ بَيْعُ الدَّيْنِ بِالدَّيْنِ هَذَا مَا وَجَدْتُهُ مِنْ مَسَائِلِ اْلاِتِّفَاقِ

Dan begitu pula para ulama sepakat atas keharaman najsy (menawar dengan bertujuan agar orang lain menawarnya dengan harga yang lebih dari semestinya) dan atas bai’ al-kali’ bi al-kali’, yaitu keharaman menjual hutang dibeli dengan hutang. Inilah sebagian kasus yang disepakati ulama yang aku temukan.  

Referensi Lain :

  • Sullam al-Taufiq, h. 53.

[1] Muhammad Khatib al-Syirbini, al-Iqna’ fi Hill Alfazh Abi Syuja’, (Beirut: Dar al-Fikr, 1415 H),  Juz I, h. 280.

[2] Abdurrahman bin Muhammad Ba’lawi, Bughyah al-Musytarsyidin, (Mesir: Musthafa al-Halabi, 1952), h. 131.

[3] Abdul Wahhab al-Sya’rani, al-Mizan al-Kubra, (Mesir: Musthafa al-Halabi, t. th.), Juz II, h. 72.

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 411 HASIL KEPUTUSAN MUSYAWARAH NASIONAL ALIM ULAMA NAHDLATUL ULAMA TENTANG MASAIL DINIYAH WAQI’IYYAH 16-20 Rajab 1418 H/17-20 Nopember 1997 M Di Ponpes QOMARUL HUDA Bagu, Pringgarata Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat