Mencetak dan Menerbitkan Karya Tulis Orang Lain

 
Mencetak dan Menerbitkan Karya Tulis Orang Lain

Mencetak dan Menerbitkan Karya Tulis Orang Lain

Belakangan ini banyak karya ilmiah ulama masa lalu diterbitkan kembali baik dalam bahasa aslinya maupun terjemahan.

Pertanyaan :

  1. Bagaimana pandangan Islam tentang hak cipta atas karya ilmiah yang dihasilkan seseorang?.
  2. Bolehkah karya ulama masa lalu diterbitkan tanpa sepengetahuan ahli waris mu’allif/mushanifnya atas dasar al-wijadah atau dengan dalih agar lebih bermanfaat?.

Jawab :

  1. Hak cipta dilindungi oleh hukum Islam sebagai hak milik dan dapat menjadi tirkah bagi ahli warisnya, sebagaimana keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama ke 28 di Krapyak Yogyakarta tahun 1989, maslah nomor 389.
  2. Mencetak dan menerbitkan karya tulis pihak lain hukumnya haram, kecuali ada izin dari pemilik hak/pengarang/penulis atau ahli waris atau pemegang kuasa atas hak cipta tersebut.
  3. Apabila pemilik hak/pengarang/penulis atau ahli waris atau pemegang kuasa atas hak cipta sudah tidak ada, maka hak cipta karya tulis tersebut menjadi hak kaum muslimin untuk kemaslahatan mereka secara umum.

  Keterangan, dari kitab:

1. Al-Fatawa al-Haditsiyah [1]

وَيَنْبَغِيْ أَنْ يَعْتَنِيَ بِتَحْصِيْلِ الْكُتُبِ الْمُحْتَاجِ إِلَيْهَا مَا أَمْكَنَهُ بِشِرَاءٍ وَإِلاَّ فَبِأُجْرَةٍ أَوْ عَارِيَةٍ وَلاَ يَشْتَغِلُ بِنَسْخِ شَيْءٍ مِنْهَا إِلاَّ مَا يَتَعَذَّرُ تَحْصِيْلُهُ بِغَيْرِ النَّسْخِ

وَلاَ يَنْسَخُ مِنْهُ بِغَيْرِ إِذْنِ صَاحِبِهِ إِذْ مُطْلَقُ الاسْتِعَارَةِ لاَ تَتَنَاوَلُ النَّسْخَ إِلاَّ إِذَا قَالَ لَهُ الْمَالِكُ لِتَنْتَفِعْ بِهِ كَيْفَ شِئْتَ وَلاَ بَأْسَ بِالنَّسْخِ مِنْ مَوْقُوْفٍ عَلَى مَنْ يَنْتَفِعُ كِتَابَهُ

Dan harus diusahakan memperoleh kitab-kitab yang dibutuhkan, sebisa mungkin dengan membeli, atau jika tidak mungkin maka dengan menyewa atau meminjam. Dan hendaknya tidak melakukan penyalinan kecuali jika memang tidak mungkin bisa dihasilkan tanpa menyalinnya kembali. Dan tidak boleh menyalin kecuali dengan izin pemiliknya, karena peminjaman secara mutlak tidak mencakup (izin) penyalinan, kecuali si pemilik berkata: “Silakan manfaatkan buku itu sebagaimana yang Anda inginkan.” Dan boleh menyalin kitab yang diwakafkan bagi orang yang bisa memanfaatkannya.  

2. Bughyah al-Mustarsyidin [2]

(مَسْأَلَةُ ج)

اِسْتَرَدَّ مَالاً مِنْ غَاصِبٍ وَأَيِسَ مِنْ مَعْرِفَةِ مَالِكِهِ كَانَ لِبَيْتِ الْمَالِ ثُمَّ لِمَصَالِحِ الْمُسْلِمِيْنَ الْعَامَّةِ وَأَمَانِ الطُّرُقِ وَنَحْوِهَا

(Kasus dari ‘Alawi bin Saqqaf bin Muhammad al-Ja’fari al-‘Alawiyun al-Hadhramiyun) Jika seseorang mengambil harta dari seseorang yang menguasainya tanpa izin, dan ia putus asa untuk mengetahui pemiliknya, maka harta itu diberikan ke bait al-mal, lalu untuk kepentingan umum umat Islam, keamanan jalan dan semisalnya.  

3. Madkhal al-Fiqh al-‘Amm [3]

وَهذَا التَّقْسِيْمُ لاَ يَتَنَاسَبُ مَعَ مَفْهُوْمِ الْمَالِ بِالنَّظْرِ الشَّرْعِيِّ الْمَبْنِيِّ عَلَيْهِ بَحْثُنَا فَقَدْ فَرَّقَ فِقْهُنَا بَيْنَ الْمَالِ وَالْمِلْكِ فَاعْتُبِرَ الْحُقُوْقُ وَالْمَنَافِعُ مِلْكًا يُسْتَمْتَعُ بِهِ لاَ مَا لاَ تَرِدُ عَلَيْهِ الْعُقُوْدُ إِلاَّ اسْتِثْنَاءً كَمَا تَقَدَّمَ

Dan pembagian ini tidak sesuai dengan pengertian harta menurut pandangan syara’ yang menjadi landasan pembahasan kita. Fiqh yang kita anut telah membedakan antara harta dan hak milik. Maka hak dan manfaat-manfaat dianggap sebagai hak milik yang bisa dinikmati. Bukan sebagai harta yang bisa dijadikan obyek berbagai akad, kecuali yang dikecualikan sebagaimana uraian sebelumnya.  

4. Hasyiyah Qulyubi [4]

قَوْلُهُ تَرَكَهُ هِيَ مَا تَخَلَّفَ عَنِ الْمَيِّتِ وَلَوْ بِسَبَبٍ أَوْ غَيْرِ مَالٍ كَاخْتِصَاصٍ وَلَوْ خَمْرًا تَخَلَّلَتْ بَعْدَ مَوْتِهِ وَحَدِّ قَذَفٍ وَمَا وَقَعَ مِنْ صَيْدٍ بَعْدَ مَوْتِهِ فِيْ شَبَكَةٍ نَصَبَهَا قَبْلَهُ

(Harta pusaka) adalah yang ditinggalkan oleh mayit, meski dengan sesuatu sebab atau bukan berupa harta seperti ikhtishash (barang yang tidak bisa dimiliki namun boleh digunakan seperti pupuk kandang dan semisalnya), atau meski dalam bentuk khamr yang kemudian berubah menjadi cuka setelah kematiannya, atau had menuduh zina, atau buruan yang masuk dalam jaring yang telah dipasang sebelum kematiannya.  

5. I’anah al-Thalibin [5]

التِّرْكَةُ مَا خَلَفَهُ الْمَيِّتُ مِنْ مَالٍ أَوْ حَقٍّ

Harta pusaka adalah peninggalan mayit berupa harta atau hak.  

[1]  Ibn Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Haditsiyah, (Beirut: Dar al-Fikr, t. th.), h. 163.

[2] Abdurrahman bin Muhammad Ba’lawi, Bughyah al-Musytarsyidin, (Mesir: Musthafa al-Halabi, 1952), h. 159.

[3] Musthafa Ahmad al-Zarqa, Madkhal al-Fiqh al-‘Amm, (Damaskus: Dar al-Fikr, t. th.), h. 232.

[4] Syihabuddin Al-Qulyubi, Hasyiyah Qulyubi pada Hasyiyata Qulyubi wa ‘Umairah, (Mesir: Musthafa al-Halabi, 1956), Juz  III, h. 135.

[5] Muhammad Syaththa al-Dimyathi, I’anah al-Thalibin, (Mesir: al-Tijariyah al-Kubra,  t.th.),  Jilid III, h. 223.

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 414 HASIL KEPUTUSAN MUSYAWARAH NASIONAL ALIM ULAMA NAHDLATUL ULAMA TENTANG MASAIL DINIYAH WAQI’IYYAH 16-20 Rajab 1418 H/17-20 Nopember 1997 M Di Ponpes QOMARUL HUDA Bagu, Pringgarata Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat