Perempuan di Masa Iddah Naik Haji

 
Perempuan di Masa Iddah Naik Haji

Perempuan Di Masa Iddah Naik Haji

A. Diskripsi Masalah

Seorang perempuan sedang menjalani ‘iddah karena ditinggal mati suaminya. Sementara itu secara ekonomis mampu melaksanakan ibadah haji dan secara akomodatif sudah mendaftarkan diri naik haji.

B. Pertanyaan

Apakah wanita dalam ‘iddah boleh menunaikan ibadah haji?

C. Jawaban

Wanita dalam masa ‘iddah pada dasarnya tidak boleh menunaikan ibadah haji, kecuali sebab udzur syar’i seperti:

a. Kekhawatiran yang mengancam diri atau hartanya.

b. Ada petunjuk dokter yang adil bahwa penundaan ibadah haji ke tahun depan tidak menguntungkan.

c. Haji tahun tersebut di-nadzar-kan. Selain itu didapat qaul yang membolehkan tanpa syarat.  

Dasar Pengambilan Hukum

1. Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib [1]

نَعَمْ لَهَا الْخُرُوْجُ لِحَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ إِنْ كَانَتْ أَحْرَمَتْ بِذَلِكَ قَبْلَ الْمَوْتِ أَوِ الْفِرَاقِ وَلَوْ بِغَيْرِ إِذْنِهِ وَإِنْ لَمْ تَخَفْ الْفَوَاتَ فَإِنْ كَانَتْ أَحْرَمَتْ بَعْدَ الْمَوْتِ أَوِ الْفِرَاقِ فَلَيْسَ لَهَا الْخُرُوْجُ فِيْ الْعِدَّةِ وَإِنْ تَحَقَّقَتْ الْفَوَاتُ فَإِذَا انْقَضَتْ عِدَّتُهَا أَتَمَّتْ عُمْرَتَهَا أَوْ حِجَتَّهَا إِنْ بَقِيَ وَقْتُ الْحَجِّ وَإِلاَّ تَحَلَّلَتْ بِعَمَلِ عُمْرَةٍ وَعَلَيْهَا الْقَضَاءُ وَدَمُّ الْفَوَاتِ

Ya memang begitu, namun seorang wanita boleh keluar rumah untuk menunaikan haji atau umrah jika memang sudah berihram sebelum kematian suami atau terjadinya perceraian, meski tanpa seizinnya dan tidak khawatir ketinggalan. Sedangkan jika ia berihram setelah kematian suami atau setelah bercerai, maka ia tidak boleh keluar selama masa ‘iddah meski nyata-nyata ketinggalan (haji atau umrah). Jika ia sudah melewati masa ‘iddah, maka ia harus menyempurnakan kembali hajinya atau umrahnya jika memang masih ada waktu. Dan jika waktunya sudah habis, maka ia bertahallul dengan melaksanakan umrah dan wajib mengqadha dan membayar dam atas ketertinggalannya.  

2. Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifah Alfazh al-Minhaj [2]

(أَوْ)

أَذِنَ لَهَا (فِي سَفَرِ حَجٍّ أَوْ) عُمْرَةٍ وَ (تِجَارَةٍ) أَوْ اسْتِحْلَالِ مَظْلَمَةٍ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ كَرَدِّ آبِقٍ وَالسَّفَرِ لِحَاجَتِهَا (ثُمَّ وَجَبَتْ) عَلَيْهَا الْعِدَّةُ (فِي) أَثْنَاءِ (الطَّرِيقِ فَلَهَا الرُّجُوعُ) إلَى الْأَوَّلِ (وَالْمُضِيُّ) فِي السَّفَرِ لِأَنَّ فِي قَطْعِهَا عَنْ السَّفَرِ مَشَقَّةً لَا سِيَّمَا إذَا بَعُدَتْ عَنِ الْبَلَدِ وَخَافَتِ الانْقِطَاعَ عَنْ الرُّفْقَةِ وَلَكِنَّ الْأَفْضَلَ الرُّجُوعُ وَالْعَوْدُ إلَى الْمَنْزِلِ كَمَا نَقَلَاهُ عَنْ الشَّيْخِ أَبِي حَامِدٍ وَأَقَرَّاهُ وَهِيَ فِي سَيْرِهَا مُعْتَدَّةٌ وَخَرَجَ بِالطَّرِيقِ مَا لَوْ وَجَبَتْ قَبْلَ الْخُرُوجِ مِنْ الْمَنْزِلِ فَلَا تَخْرُجُ قَطْعًا

Atau bila suami mengizinkan istrinya pergi haji, umrah, berdagang, mencari halal suatu kezaliman dan semisalnya mengembalikan budak yang minggat dan perjalanan untuk memenuhi kebutuhannya, lalu ia wajib ‘iddah di tengah perjalanannya, maka ia boleh kembali ke tempat semula dan melanjutkan perjalanan. Sebab dalam mengurungkan perginya itu terdapat masyaqah (beban), terutama bila sudah jauh dari daerahnya dan khawatir terputus dari rombongannya. Akan tetapi, yang lebih afdhal adalah pulang dan kembali ke rumah semula, serta menjalani ‘iddahnya, seperti kutipan al-Nawawi dan al-Rafi’i dari Syaikh Abu Hamid. Dan dalam perjalanannya ia menjalani sudah menjalani ‘iddah. Dengan kata طَّرِيقِ, mengecualikan kasus bila ‘iddah wajib dijalankan sebelum keluar dari rumah, maka ia tidak boleh keluar rumah tanpa  khilafiyah ulama.  

3. Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifah Alfazh al-Minhaj [3]

(فَرْعٌ)

 لَوْ أَحْرَمَتْ بِحَجٍّ أَوْ قِرَانٍ بِإِذْنِ زَوْجِهَا أَوْ بِغَيْرِ إِذْنِهِ ثُمَّ طَلَّقَهَا أَوْ مَاتَ فَإِنْ خَافَتْ الْفَوَاتَ كَضَيْقِ الْوَقْتِ وَجَبَ عَلَيْهَا الْخُرُوْجُ مُعْتَدَّةً لِتَقَدُّمِ اْلإِحْرَامِ وَإِنْ لَمْ تَخَفْ الْفَوَاتَ لِسَعَةِ الْوَقْتِ جَازَ لَهَا الْخُرُوْجُ إِلَى ذَلِكَ وَإِنْ أَحْرَمَتْ بَعْدَ أَنْ طَلَّقَهَا هُوَ مَاتَ بِإِذْنٍ مِنْهُ قَبْلَ ذَلِكَ أَوْ بِغَيْرِ إِذْنِ بِحَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ أَوْ بِهِمَا اِمْتَنَعَ عَلَيْهَا الْخُرُوْجُ سَوَاءٌ أَخَافَتْ الْفَوَاتَ أَوْ لاَ لِبُطْلاَنِ اْلإِذْنِ قَبْلَ اْلإِحْرَامِ بِالطَّلاَقِ أَوِ الْمَوْتِ فِيْ اْلأَوَّلِ وَلِعَدَمِهِ فِيْ الثَّانِيَةِ فَإِذَا انْقَضَتْ الْعِدَّةُ أَتَمَّتْ عُمْرَتَهَا أَوْ حَجَّهَا إِنْ بَقِيَ وَقْتُهُ وَإِلاَّ تَحَلَّلَتْ بِأَفْعَالِ عُمْرَةٍ وَلَزِمَهَا الْقَضَاءُ وَدَمُ الْفَوَاتِ

(Sub Masalah) Bila seorang wanita berihram haji atau qiran (haji dan umrah secara serentak) izin suami, atau tanpa izin, lalu suami mencerainya atau meninggal dunia, maka jika wanita itu khawatir ketinggalan haji seperti sempitnya waktu, maka ia harus keluar berhaji dengan sambil menjalani ‘iddah, karena lebih dahulu ihramnya. Jika tidak khawatir ketinggalan haji mengingat waktunya masih luas, maka ia boleh keluar untuk berhaji. Dan jika wanita itu berihram setelah suami mencerainya atau ia mati dengan mengizinkan istrinya berihram sebelum mencerainya, atau ia ihram haji, umrah atau keduanya tanpa seizin suami, maka wanita itu tidak boleh keluar, baik khawatir ketinggalan waktu berhaji atau tidak, karena batalnya izin suami sebelum ihram dengan adanya perceraian atau kematian pada kasus pertama, dan tidak adanya izin suami pada kasus kedua. Jika ‘iddah selesai, maka ia boleh menyempurnakan haji atau umrah jika waktunya masih. Jika tidak, maka ia bertahallul dengan ritual umrah, harus mengqadha dan membayar dam ketertinggalan hajinya.  

4. Hawasyi al-‘Abbadi [4]

(قَوْلُهُ وَتَعْجِيلِ حِجَّةِ الْإِسْلَامِ)

خَرَجَ بِهِ مَا لَوْ نَذَرَتْهُ فِيْ وَقْتٍ مُعَيَّنٍ أَوْ أَخْبَرَهَا طَبِيْبٌ عَدْلٌ بِأَنَّهَا إِنْ أَخَّرَتْ عُضِبَتْ فَتَخَرَّجَ لِذَلِكَ حِيْنَئِذٍ بَلْ هُوَ أَوْلَى مِنْ خُرُوْجِهَا لِلْحَاجَةِ الْمَارَّةِ

(Ungkapan Ibn Hajar al-Haitami: “Dan segera menunaikan haji Islam”), dengan ungkapan itu mengecualikan kasus bila wanita yang sedang ‘iddah itu telah menadzarinya dalam waktu tertentu, atau seorang dokter adil memberitahu padanya, bahwa bila ia menunda hajinya maka ia akan menderita lumpuh, maka ia harus menunaikan haji islam -wajib- itu dalam kondisi seperti ini. Bahkan pergi hajinya itu lebih penting dari pada keluarnya untuk memenuhi hajat yang penjelasannya telah lewat.  

5. Takmilah al-Majmu’ [5]

وَإِنْ خَرَجَتْ فَمَاتَ زَوْجُهَا فِيْ الطَّرِيْقِ رَجَعَتْ إِنْ كَانَتْ لَمْ تُفَارِقِ الْبُنْيَانَ، فَإِنْ فَارَقَتِ الْبُنْيَانَ فَلَهَا الْخِيَارُ بَيْنَ الرُّجُوْعِ وَالتَّمَامُ لأَنَّهَا صَارَتْ فِيْ مَوْضِعٍ أُذِنَ لَهَا فِيْهِ وَهُوَ السَّفَرُ، فَأَشْبَهَ مَا لَوْ كَانَتْ قَدْ بَعُدَتْ ... وَإِنْ أَحْرَمَتْ بِالْحَجِّ بَعْدَ مَوْتِ زَوْجِهَا وَخَشِيَتْ فَوَاتَهُ يَجُوْزُ لَهَا أَنْ تَمْضِيَ إِلَيْهِ لِمَا فِيْ بَقَائِهَا فِيْ اْلإِحْرَامِ مِنَ الْمَشَقَّةِ

Jika wanita bepergian dan suaminya meninggal dunia ketika si istri masih dalam perjalanan, maka ia harus kembali ke rumah jika belum meninggalkan bangunan (batas daerah). Jika ia sudah meninggalkan bangunan tersebut, maka ia boleh memilih antara kembali lagi ke rumah atau melanjutkan perjalanan, karena ia telah berada di suatu posisi yang telah diizinkan, yaitu perjalanan tersebut.  Maka kasus itu serupa dengan seandainya ia telah berada di tempat yang jauh ... seandainya ia telah ihram haji setelah kematian suaminya, dan khawatir ketinggalan haji, maka ia boleh melanjutkannya karena masyaqah dalam ihramnya.  

6. Fath al-Wahhab dan Futuhat al-Wahhab [6]

(أَوْ سَافَرَتْ بِإِذْنٍ)

لِحَاجَتِهَا أَوْ لِحَاجَتِهِ كَحَجٍّ وَعُمْرَةٍ وَتِجَارَةٍ وَاسْتِحْلَالٍ مِنْ مَظْلِمَةٍ وَرَدِّ آبِقٍ أَوْ لَا لِحَاجَتِهِمَا كَنُزْهَةٍ وَزِيَارَةٍ (فَوَجَبَتْ فِي طَرِيقٍ ... (قَوْلُهُ فَوَجَبَتْ فِي طَرِيقِ  إلَخْ)

سَكَتَ عَمَّا إذَا وَجَبَتْ قَبْلَ الْخُرُوجِ وَفِي الرَّوْضِ لَمْ تُسَافِرْ قَالَ فِي شَرْحِهِ وَقِيلَ تَتَخَيَّرُ لِأَنَّ عَلَيْهَا ضَرَرًا فِي إبْطَالِ سَفَرِهَا بِخِلَافِ سَفَرِ النَّقْلَةِ فَإِنَّ مُؤْنَتَهُ عَلَى الزَّوْجِ قَالَ الرَّافِعِيُّ وَهُوَ ظَاهِرُ النَّصِّ وَقَالَ الْبُلْقِينِيُّ بَلْ صَرِيحُهُ اهـ

(Atau bepergian dengan izin suami) untuk keperluan dirinya atau keperluan suami, seperti haji, umrah, berdagang, mencari halal suatu kezaliman dan mengembalikan budak yang minggat, atau bukan untuk keperluan diri dan suaminya, seperti piknik dan ziarah, maka ‘iddahnya wajib di perjalanan …   (Ungkapan Syaikh Zakaria al-Anshari: “maka wajib ‘iddah di tengah perjalanan. …”) beliau diam dari kasus bila ‘iddahnya wajib sebelum bepergian. Dalam kitab Raudh al-Thalib terdapat redaksi: “Maka ia tidak boleh bepergian.” Dalam Syarhnya -Asna al-Mathalib-, Syaikh Zakaria bin Muhammad bin Zakaria al-Anshari berkata: “Menurut satu pendapat ia boleh memilih (melanjutkan atau kembali ke rumah).  Sebab, ia akan mengalami kerugian dalam pembatalan perjalanannya. Berbeda dengan perjalanan pindah rumah, sebab ongkosnya menjadi tanggungan suami. Al-Rafi’i berkata: “Itu merupakan makna lahiriah nash Imam Syafi’i.” Dan al-Bulqini berkata: “Bahkan nash sharih.”  

[1] Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib, (Singapura: Sulaiman Mar’i, t. th.), Jilid II, h. 177.

[2] Muhammad al-Khatib al-Syirbini, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifah Alfazh al-Minhaj, (Mesir: al-Tujjariyah al-Kubra, t. th.), Jilid III, h. 404-405.

[3] Muhammad al-Khatib al-Syirbini, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifah Alfazh al-Minhaj, (Mesir: al-Tujjariyah al-Kubra, t. th.), Jilid II, h. 405.

[4] Ibn Qasim al-‘Abbadi, Hawasyai al-‘Abbadi  pada Tuhfah al-Muhtaj, (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, t. th.), Juz VIII, h. 264.

[5] Bakhit al-Muthi’i, Takmilah al-Majmu’, (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), Jilid VII, h. 172-173.

[6] Zakaria al-Anshari dan Sulaiman bin Manshur al-Jamal, Fath al-Wahhab dan Futuhat al-Wahhab, (Mesir: al-Tujjariyah al-Kubra, t. th.), Jilid II, h. 464-465.

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 423 KEPUTUSAN BAHTSUL MASAIL AL-DINIYYAH AL-WAQI’IYYAH MUKTAMAR XXX NU DI Pon-Pes. LIRBOYO KEDIRI JAWA TIMUR TANGGAL 21 s/d 27 NOPEMBER 1999