Konsep Islam Nusantara Mendunia

 
Konsep Islam Nusantara Mendunia

Jakarta : Konferensi kedua yang diselenggaran oleh Kemlu Jerman dan dibuka sendiri oleh Menlu Jerman Heiko Maas, Dalam sambutannya, Menlu Maas menegaskan: “Komunitas agama memiliki kekuatan untuk mendorong dan menghimbau masyarakat sipil dalam memelihara perdamaian“. Konferensi  sebelumnya juga diselenggarakan di Jerman pada bulan Mei 2017.

Di antara tokoh Indonesia yang hadir adalah Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, Imam Besar Mesjid Istiqlal, pendiri organisasi lintas agama untuk Masyarakat Dialog antar Umat Beragama,  Pdt. Jack Manuputty, Direktur pada Kantor Staf Kepresidenan RI Bidang Hubungan Antar-Agama dan Peradaban, Prof. Dr. Hj. Siti Musdah Mulia, MA; Ketua Lembaga Kajian Agama dan Jender (LKAJ)/Sekretaris Jendral ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace) dan Dr. Nina Mariani, Dosen pasca sarjana UIN Kalijaga di bidang studi lintas agama, kajian wanita, gender, minoritas, dan etika.

Tokoh Lintas Agama Indonesia yang turut hadir juga memapaparkan konsep Islam Nusantara pada acara Konferensi “Peran Agama untuk Memajukan Perdamaian “friedensverantwortung der Religionen“ / Responsibility of Religions for Peace“, yang digelar di Berlin, 18-20 Juni 2018.

Dalm papaarannya  Islam Nusantara memiliki kekhasan karena mensinregikan nilai-nilai ajaran Islam dengan falsafah Pancasila, yang menjadi Dasar Negara Indonesia. Sejak awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, semua agama dan kepercayaan bebas hidup di dalamnya. Keduanya saling mengokohkan satu sama lain. Agama memberikan penguatan terhadap negara dan negara memberikan penguatan terhadap agama.  Semua orang dan golongan bebas mengekspresikan ajaran agama dan kepercayaannya. Indonesia menjunjung tinggi nilai toleransi yang dipahami sebagai sikap menghargai pendapat, sikap, dan keberadaan orang atau kelompok lain, tanpa membedakan besar kecilnya kelompok itu. Tutur Prof Dr. KH Nasaruddin Umar

Islam Nusantara atau model Islam Indonesia adalah suatu wujud empiris Islam yang dikembangkan di Nusantara setidaknya sejak abad ke-16, sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi, interpretasi, dan vernakularisasi terhadap ajaran dan nilai-nilai Islam yang universal, yang sesuai dengan realitas Sosio Cultural Indonesia, Istilah ini secara perdana resmi diperkenalkan dan digalakkan oleh organisasi Islam  Nahdlatul Ulama pada 2015, sebagai bentuk penafsiran alternatif masyarakat Islam global yang selama ini selalu didominasi perspektif Arab dan Timur Tengah. Islam Nusantara didefinisikan sebagai penafsiran Islam yang mempertimbangkan budaya dan adat istiadat lokal di Indonesia dalam merumuskan fikihnya, Pada Juni 2015, Presiden Joko Widodo telah secara terbuka memberikan dukungan kepada Islam Nusantara, yang merupakan bentuk Islam yang moderat dan dianggap cocok dengan nilai budaya Indonesia.

Islam Nusantara merupakan konsep yang ditawarkan Indonesia pada Konferensi tahun ini, yang difokuskan pada tema peningkatan kerja sama dan tanggung jawab Komunias Agama di Wilayah Asia untuk mengatasi konflik yang dilatarbelakangi isu agama, seperti halnya konflik Rohingya di Myanmar

Perhatian besar Pemerintah Jerman terhadap kerja sama antar Komunitas Agama untuk memajukan perdamaian ini juga sejalan dengan salah satu program prioritas KBRI Berlin. Dubes RI untuk Jerman, Arif Havas Oegroseno, lebih lanjut menegaskan: “Indonesia perlu terus hadir secara konkrit dalam berbagai diskursus multikulturalisme dan pluralisme agama di dunia. Indonesia memiliki modal sosial yang kuat yaitu Pancasila yang melahirkan toleransi beragama yang kokoh dan terbukti menjadi alat pemersatu bangsa dalam berbagai kondisi sosial yang sulit  selama ini”.

Konferensi “Responsibility of Religions for Peace“ tahun ini dihadiri sekitar 70 peserta dari Indonesia, Malaysia, Filipina, Bangladesh, Pakistan, Myanmar, Korea Selatan, Jepang, dan China. Mereka mewakili agama Buddha, Hindu, Shinto, Taoisme, Konfusianisme, Zoroastrianisme, Islam, Kristen dan Yudaisme.

Dihimpun dari berbagai sumber