Ombak, Relativitas Kebenaran, dn Taklid Buta

 
Ombak, Relativitas Kebenaran, dn Taklid Buta

Oleh:Muhammad Holil

Pengajar Ma'had Aly Situbondo

 

Pada Tanggal 4 Juli 2018 saya melakukan perjalanan ke Pulau Sapudi dalam rangka menghadiri acara walimatun Nikah salah seorang alumni Ma'hadul Qur'an (MQ) Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo. Perjalanan ini memakan waktu sekitar 4 Jam dengan menggunakan Perahu dari pelabuhan Kalbut Situbondo menuju Pelabuhan Sapudi, sebenarnya bisa juga menggunakan kapal Ferry tapi harinya tidak tepat, kapal hanya tersedia dua kali dalam satu Minggu. Pulau Sapudi masuk dalam kawasan kabupaten Sumenep dengan 18 Desa dan 2 Kecamatan.

 

Di atas perahu, saat saya mulai mual disebabkan perahu terombang-ambing karena besarnya ombak, saya memulai dialog dengan salah satu penumpang yang ternyata penduduk Sapudi. "Ombeknah ma' rajeh ghi"?  (Ombaknya kok besar ya?), penumpang itu menjawab, "geneka kenik ombeknah" (ini ombak kecil). Saya kemudian terdiam.

 

Besok harinya kamis 5 juli 2018, saya berencana pulang ke Situbondo dengan menggunakan Kapal, ceritanya saya trauma dengan ayunan perahu. Sayangnya, saya tidak bisa berangkat karena kapalnya tidak datang, informasi yang saya dapatkan cuaca sedang tidak bersahabat. Akhirnya, saya merubah haluan, saya pergi ke pelabuhan untuk mencari perahu yang akan berangkat ke Dungkek, Sumenep.

 

Sayang seribu sayang, rencana inipun gagal karena otoritas dari dinas perhubungan melarang semua perahu berlayar dengan alasan keselamatan. Namun demikian, ternyata ada saja masyarakat yang tetap ngotot berangkat dengan alasan anginnya belum seberapa.

 

Dalam dua kasus tadi saya jadi teringat dengan relativitas dan otoritas pengetahuan:

 

Kasus 1: Ombak. Ombak yang saya lihat, ayunan perahu yang saya rasakan adalah sama dengan ombak yang dilihat oleh penumpang tadi, begitu juga dengan ayunan yang dia rasakan. Satu fakta yang sama tetapi dipahami oleh dua orang yang berbeda maka hasilnya bisa berbeda.

 

Dalam ungkapan arab disebutkanلكل  راس راي  (masing-masing kepala punya pendapat). Ya, dari fakta yang sama menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Ombak yang dilihat adalah sama tetapi kesimpulan yang didapat berbeda. Begitu juga dengan ayunan kapal akibat terjangan ombak, ayunan yang sama dirasakan oleh orang yang berbeda hasilnya berbeda. Inilah yang disebut relativitas.

 

Perbedaan Pemahaman ini seringkali terjadi di sekitar kita. Saat anda menunggu seseorang selama 30 menit akan terasa lama sekali, tetapi bagi orang yang ditunggu 30 menit itu bisa terasa sebentar. Kinerja Jokowi yang sama bisa dikatakan baik menurut pendukungnya, tapi bisa juga jelek menurut penentangnya.

 

Kenapa ini terjadi? Salah satu jawabannya adalah perbedaan sudut pandang. Saya menganggap ombaknya besar karena saya tidak terbiasa dengan ombak, tetapi penumpang yang mengatakan ombaknya kecil karena dia terbiasa dengan ombak yang lebih besar, atau penumpang itu hanya ingin menghibur saya.

 

Kasus 2: Cuaca. Cuaca menjadi salah satu pertimbangan saya tidak jadi pulang. Tentunya keputusan ini saya ambil karena informasi diperoleh oleh pemilik otoritas (pemerintahan) di pelabuhan setempat. Kenapa ada penduduk yang berangkat? Karena dia punya pertimbangan lain atau otoritas lain yang dia jadikan rujukan.

 

Dalam keilmuan fiqh atau pemikiran Islam, bersandar pada otoritas itu namanya Taqlid (ikutan). Berijtihad sendiri labih baik, tapi kuasai dulu ilmunya. Kalau belum menguasai ilmunya, ya lebih baik bertaqlid. Jadi, taqlid tidak jelek bahkan lumrah, selama saya tidak tahu ilmu membaca cuaca maka saya harus bertaqlid kepada orang yang saya anggap paham tentang cuaca. Lho katanya Taqlid itu jelek? Taqlid yang tidak baik itu kalau semua tindakan yang kita lakukan mengikuti sepenuhnya pada orang lain, tetapi kita tidak bisa sepenuhnya keluar dari taqlid.

 

Coba kalau saya tidak boleh bertaklid, wahhh bisa-bisa saya tidak akan pulang, karena saya harus kuliah dulu atau paling tidak saya harus kursus dulu tentang ilmu membaca cuaca. Bisa berbulan-bulan saya tinggal di Pulau ini.

 

Dalam bergama juga sama, untuk bisa mengerjakan sholat saya harus bertaqlid dulu, belajar ke guru ngaji, berguru ke kiai, membaca kitab-kitabnya Imam Syafi'i, kalau kemampuan saya sudah mumpuni, saya baru bisa lepas dari taqlid. Kalau ada orang yang bilang, "kamu jangan bertaqlid dalam beragama!" jawab saja terus saya ikut siapa? Kalau dia bilang, "ikut saya!", Jawab saja, lho kalau ikut anda berarti saya masih bertaklid, saya bertaklid pada anda. Kalau dia masih ngeyel, belajar sendiri, baca kitab sendiri, cari di googe sendiri, "lho itukan juga taklid ke syekh Google". Kalau dia masih maksa "belajar saja dari sumbernya al-Qur'an dan Hadits", jawab saja" Al-Qur'an menggunakan bahasa arab, untuk memahaminya butuh ilmu tata bahasa, nahwu, sharf, balaghah, ulumul qur'an, ilmu tafsir dll.

 

Alhasil, agar tidak terjebak dalam taqlid buta harus pintar mencari guru, jeli membaca isi/materi dan sumber informasi, Ketahui pula relevansi keahlian/keilmuan dan latar belakang figur dengan informasi yang ingin diperoleh, kalau berita dari internet atau media sosial perhatikan situsnya atau pemilik akunnya. Jangan sampai mau tahu informasi cuaca tapi bertanya ke Dewi Persik, ingin tahu jumlah penduduk tapi bertanya ke Mama Dedeh, mencari jawaban persoalan agama tapi yang dikunjungi situs partai politik. Kalau anda salah dalam berguru kemudian anda suka meniru, berhati-hatilah khawatir anda jadi pembenci bahkan suka mencaci