Serial Wayang Kebatinan Islam #1: Spiritualitas dalam Dunia Pewayangan

 
Serial Wayang Kebatinan Islam #1: Spiritualitas dalam Dunia Pewayangan

Spiritualitas dalam Dunia Pewayangan

Spiritualitas adalah kata kunci bagi setiap insan beriman dalam mengarungi pencapaian lelakunya atau pengalaman relijiusnya. Kendati demikian, memaknainya acapkali mengundang wacana yang beragam, bahkan tidak menutup kemungkinan membuka pintu yang multi tafsir.

Mengapa demikian? Karena dalam pemaknaan spiritualitas terkandung makna entitas nilai yang menyangkut subjktivitas masing-masing pelakunya. Subjektivitas ini amat sangat dipengaruhi atmosfer sosio kultural yang melingkupinya.

Kendati demikian, maqam spiritualitas yang dicapai oleh individu, bukan tidak mungkin untuk digeneralisasi, atau bahkan dicari titik temunya untuk kemudian dihubungkan dengan pengalaman relijius individu yang lain. Karena bagaimanapun spiritualitas hanya dapat dicapai apabila seseorang ‘mencatat’ pengalaman beragama untuk kemudia dijadikan semacam cermin bagi kehidupan selanjutnya, menuju pada kondisi rohani yang lebih tinggi.

Bagi seorang muslim tujuan dari pengalaman batin tersebut adalah tujuan hidup itu sendiri. Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah kepada-Ku”

(QS. Adz-Dzaariyaat [51]: 56)

Ayat ini dapat dipahami bahwa tujuan manusia dalam mengarungi samudera kehidupan adalah menjadi hamba Allah dengan segala aspek rohani dan jasmani, untuk mencapai kemenangan diri dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu kemenangan dunia akhirat.

Pada tingkat pengejawantahannya tujuan di atas dapat dijabarkan kepada tiga aspek:

  1. Menyempurnakan hubungan manusia dengan khalik-Nya
  2. Menyempurnakan hubungan manusia dengan sema manusia
  3. Mewujudkan keseimbangan, keselarasan, dan keserasian antara hubungan itu dan mengaktifkan kedua-duanya sejalan dan berjalind alam diri pribadi.

Terkecuali ibadah mahdloh (ibadah yang telah ditentukan secara jelas dan paten tata caranya), bentuk ekspresi keberagaman sangat tipis sekali untuk dibedakan dengan kebudayaannya. Bahkan dalam kaidah hukum Islam pun dikenal apa yang disebut al-urf (adat), sebagai salah satu sendi sumber hukum Islam.

Artinya Islam sebagai agama langit yang telah membawa aturan normatif yang sangat jelas, tetapi di sisi lain ia juga sangat terbuka. Keterbukaan tersebut ditujukan kepada hasil dari rasa, cipta, dan karsa setiap insan beriman, asalkan dengan catatan tidak keluar dari koridor awal tentang tujuan diciptakannya manusia tersebut.

Dengan demikian, apa yang selam aini dimaksud dengan kebudayaan Islam, senantiasa akan berhadapan dengan kerangka pokok ajaran agama Islam, penciptaan tradisi, dan gagasan-gagasan di dalamnya. Wacana kebudayaan kaum muslimin dalam kerangka pokok ajaran Islam, menunjukkan adanya nilai-nilai keutamaan yang diambil dari wahyu al-Qur’an, sunnah, serta penafsiran-penafsiran dari keduanya. Yang secara global dapat dikelompokkan sebagai aqidah (dimensi ontologis), syariah (dimensi epistemologi), dan akhlak (dimensi aksiologis).

Dalam konteks penciptaan tradisi, wacana kebudayaan Islam dapat dilihat melalui praktik-praktik budaya dan kesenian dalam komunitasnya yang menekankan kode-kode keutamaannya pada aspek ibadah (transendensi), dakwah (imanennsi) dan thariqah (spiritualitas). Sedangkan gagasan-gagasan budaya yang berkembang dari keduanya dapat ditengarai melalui karakter-karakter khas yang bersifat sosiologis dengan unsur-unsur perjuangan yang menekankan pada aspek tasamuh (toleransi), musawah (egaliter), dan hikmah (kesalehan individu dan sosial).

Spiritual, Spritualisasi, dan Spiritualisme

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata spiritual, spiritualisasi, spiritualisme dimaknai dengan arti yang berbeda-beda, akan tetapi masih menunjukkan kesatuan pengertian. Spiritual dapat diartikan sebagai kata benda yang berarti kejiwaan, rohani, batin, mental, moral. Sementara spiritualisasi diartikan pembentukan jiwa, kejiwaan, sedangkan spiritualisme adalah aliran filsafat yang mengutamakan kerohanian.

Dalam batasan di atas dapat diambil benang merah pengertian bahwa spiritualitas adalah proses pengolahan batin menuju pembentukan jiwa sempurna yang berimplikasi pada kejiwaan, rohani, batin, mental maupun moral. Spiritualitas ini digunakan sebagai semacam ‘alat’ untuk menangkap makna-makna dan nilai-nilai simbolis yang hadir di kehidupan.

Dalam konteks ini, spiritualitas juga dapat digunakan untuk menangkap nilai-nilai ataupun simbol-simbol yang digunakan dalam dunia seni pewayangan. Sebetulnya tidak hanya untuk menangkap akan tetapi lebih tepatnya memberi atau menerima dalam pengembangan wacana pewayangan yang diperoleh dari laku batin/ tirakat/ spiritualisasi.

Kata nilai dalam pengertian wacana di atas adalah sifat-sifat atau hal-hal yang penting dan berguna. Louis Kattsoff mengartikan nilai: antara lain mengandung nilai (artinya berguna). Sedangkan simbolisme dalam pengertiannya adalah perihal pemakaian simbol atau lambang untuk mengekspresikan ide semisal sastra maupun seni lainnya termasuk seni pewayangan.

Simbolisme bagi orang Jawa dianggap sebagai suatu yang penting, agar dapat memahami berbagai hal yang penuh bahasa isyarat. Bahasa Jawa yang penuh dengan kembang, lambang, dan samunaming samudana atau tersembunyi dalam kiasan harus dibahas dan dikupas dengan perasaan yang mendalam, serta tanggaping sasmita atau dapat menangkap maksud sesungguhnya yang tersembunyi. Pepatah mengatakan wong Jawa nggone rasa, padha gulangen in kalbu, ing sasmita amrih lanti, kumawa nahan hawa, dan kinemat momoting driya. Mengandung pengertian bahwa orang Jawa pada dasarnya pada mengolah rasa, kalbu, dan menahan hawa nafsu dan menjadikan sesuatu kekuatan jiwa yang paling berharga.

Manusia Jawa dan Wayang

Bagi manusia Jawa yang dikenal gemar dengan lelaku batinnya, memang secara riil telah membuktikan bahwa dalam aktivitas keseharian tidak bisa melepaskan diri dari spirit simbol tersebut.  Dan buah dari proses-proses ini sangat beragam, dari ritual keseharian, budaya bercocok tanam, tata pemerintahan sampai karya seni yang bersifat hiburan dan lain sebagainya.

Dengan pengetahuan imaginatif-proyektif-nya orang Jawa sangat suka mengungkapkan arti sebuah perlambang. Bagi orang Jawa tidak ada yang tidak mempunya arti, dan karna itu ia ingin mencari arti dalam tindakan, kata atau keadaan, sekalipun secara rasional nampaknya tidak dapat dimengerti atau tidak penting. Barang-barang yang dapat dilihat dianggap sebagai proyeksi yang mungkin dari yang lebih abstrak ataupun tersembunyi, yang dinyatakan dalam kata surasa (arti, tujuan dalam).

Adalah wayang yang disinyalir telah lahir di tanah Jawa sejak 2000-1500 tahun SM, merupakan salah satu hasil kristalisasi dari pencaharian spiritual orang Jawa tersebut, yang penuh dengan makna perlambang dalam simbolitasnya. Simbol yang mewakili lelaku (atau benih hidup) dalam dunia pewayangan adalah makara yang terdapat pada pohon kalpataru berupa kayon atau gunungan yang dapat juga digambarkan sebagai Brahma Mula (benih hidup dari Brahma).

Seni wayang kulit didefinisikan sebagai gambaran atau tiruan orang dan sebagainya, yang dibuat dari kulit untuk mempertunjukkan suatu lakon. Pertunjukan itu dihantarkan dengan teratur oleh instrumen gamelan terutama slendro.

Wayang sebagai media ekspresi kebudayaan seperti halnya watak orang Jawa terbukti amat permisif dengan nilai-nilai ‘yang datang dan pergi’ untuk kemudian berkolaborasi menjadi sebuah seni pertunjukan yang tidak saja sebagai tontonan tetapi juga tuntunan. Hal ini nampak lebih jelas apabila ditelusuri dari detail-detail sejarahnya.

Meski wayang telah melalui berbagai perubahan corak, warna, maupun gaya yang beragam sesungguhnya dari sudut pandang spiritualitas tetaplah sama, yaitu sebagai wahana dalam mengolah jiwa, batin, mental maupun moral, dalam mengarungi samudra kehidupan.

Kehidupan secara simbolis oelh ki dalang dalam pagelaran wayang digambarkan menjadi tiga babak yaitu pathet nem, pathet songo, dan pathet manyura. Katiganya merupakan kesatupaduan antara rasa-cipta-karsa, iman-ilmu-amal, dan purwa-madya-wasana. Babaring lakon atau purna ceritanya cenderung berujung kebahagiaan yang seolah-olah memberi inspirasi untuk selalu optimis bagi pemirsanya dalam menghadapi cobaan hidup. Ungkapan becik ketitik ala ketara yang merupakan salah satu sinopsi etik pagelaran akan menyadarkan penontonnya bahwa perbuatan kebajikan pasti membuahkan keunggulan.

Dalam proses pergumulan budaya pewayangan ini, paling tidak terdapat tiga kelompok yang berperan dalam proes transformasi nilai-nilai spiritualitasnya, yaitu kelompok pencipta, kelompok praktisi, dan kelompok pemirsa. Kelompok pencipta adalah para kreator agung yang telah berhasil mendefinisikan pencapaian olah batinnya dalam wujud ajaran-ajaran ataupun wewarah falsafah dalam cerita pewayangan tersebut, seperti pujangga, raja, dan wali. Kelompok praktisi merupakan pihak yang menjembatani sosialisasi karya para kreator kepada publik, seperti dalang, niyaga, dan pesinden. Sementara kelompok pemirsa adalah penonton yang menjadi penerima dari ajaran-ajaran para kreator dari kelompok praktisi.

Penulis: Dharmawan Budi Suseno