Timor Leste Diambang Kehancuran

 
Timor Leste Diambang Kehancuran

LADUNI.ID, Timor-Leste secara resmi mendeklarasikan kemerdekaannya pada tahun 2002 setelah 24 tahun berada di bawah kekuasaan Indonesia. Namun lima belas tahun setelah kemerdekaan, ia terus berjuang untuk mengatasi kemiskinan, kurangnya pendidikan dan layanan kesehatan.

Timor-Leste telah mengalami krisis konstitusional setelah pemerintah minoritas Perdana Menteri Mari Alkatiri gagal mengeluarkan kebijakan-kebijakan kunci, termasuk anggaran baru, pada minggu sebelum Natal.

Negara Asia yang memiliki penduduk mayoritas Katolik itu berpotensi memiliki pemerintahan baru, atau pemilihan kedua dalam sembilan bulan, karena parlemen negara tersebut mengalami kebuntuan setelah pemilu pada 22 Juli gagal mendapatkan suara moyoritas di parlemen.

Partai Fretlin yang menaungi Alkatiri, yang memenangkan kursi terbanyak dalam pemilihan, dan mitra koalisinya, Partai Demokrat, memegang 30 kursi di parlemen yang berkapasitas 65 kursi dan harus bergantung pada dukungan anggota parlemen oposisi agar undang-undang disahkan.

Alkatiri yang menggantikan rekan separtai Rui Maria de Araujo sebagai Perdana Menteri mengikuti pemilihan 22 Juli, semula sudah membagun koalisi mayoritas. Tapi hanya beberapa hari sebelum dilantik, mitra ketiga koalisi tersebut, Kmanek Haburas Unidade Nasional Timor Oan (Khunto) yang memiliki lima kursi, meninggalkan koalisi Alkatiri.

Alkatiri, seorang Muslim di sebuah negara yang berpenduduk lebih dari 90 persen Katolik, terpaksa mengundurkan diri di tahun 2006 sebelum masa jabatannya sebagai perdana menteri pertama di negara itu selesai.

Dalam sebuah konferensi pers yang disiarkan televisi dari Singapura pada 19 November, para pemimpin oposisi Timor-Leste meyakinkan publik bahwa mereka siap untuk mengambil alih kepemimpinan.

Siaran menampilkan negarawan senior dan mantan presiden dan perdana menteri Xanana Gusmao yang didampingi oleh Taur Matan Ruak, presiden Partai Pembebasan Populer (PLP) dan Jose do Santos Naimori dari Partai Khunto.

“Jika presiden memberi kami tanggung jawab untuk memimpin negara keluar dari krisis saat ini, kami akan menerimanya,” kata Gusmao.

Alkatiri menolak untuk mengadakan sidang parlemen dan mengklaim bahwa pihak oposisi berusaha untuk melakukan kudeta, terlepas dari kenyataan bahwa presidenlah yang bersumpah di parlemen.

Akademisi Australia Damien Kingsbury telah menggambarkannya sebagai “perpecahan pemerintah nasional” dan Alkatiri memiliki “gaya politik yang dapat mengendalikannya”.

Gusmao telah menegosiasikan sebuah perjanjian baru dengan Australia mengenai cadangan minyak dan gas senilai A$ 50 miliar ($U 39 miliar) di apa yang disebut deposit Greater Sunrise di perairan antara kedua negara.

Dia belum berada di negara ini dan secara umum dianggap bahwa kehadirannya dibutuhkan untuk kebuntuan politik agar bisa diselesaikan atau pemerintah dibubarkan.

Apa yang terjadi selanjutnya sangat banyak berhubungan dengan Presiden Francisco Guterres, seorang rekan Fretilin Alkatiri.

Manuel Tilman, seorang pengacara Timor-Leste, setuju bahwa krisis politik akan terjadi jika program pemerintah ditolak oleh parlemen lagi.

“Ini sesuai dengan Pasal 112 undang-undang dasar. Jika program pemerintah ditolak untuk kedua kalinya berturut-turut, pemerintah akan jatuh,” kata Tilman kepada ucanews.com.

Menurut Pasal 112, menurut Tilman, Presiden Guterres harus mempertimbangkan bagaimana membentuk pemerintahan baru jika yang sekarang dibubarkan.

Pilihannya termasuk menawarkannya kepada partai Xanana Gusmao, partai Kongres Nasional untuk Rekonstruksi Timor Leste (CNRT) yang memperoleh suara terbanyak kedua dalam pemilu 22 Juli, atau membentuk pemerintahan “persatuan nasional”.

Jika dialog antara elit politik gagal, presiden dapat membubarkan parlemen nasional pada awal 22 Januari, kata Tilman.

“Pemilu bisa terjadi pada bulan April 2018, namun pada tanggal tersebut bertepatan dengan Masa Prapaskah dan Paskah di negara yang mayoritas Katolik tersebut, kemungkinan besar akan terjadi pada bulan Mei 2018,” tambahnya.

Dalam hal pemilihan diawal Mei, Timor-Leste bisa mengalami krisis keuangan karena anggaran negara belum disetujui.

“Saya akan membuat keputusan sesuai dengan konstitusi agar tidak membebani rakyat dan tidak akan ada darah atau luka, apalagi kematian,” kata Presiden Guterres pada 4 Desember.

Hal-hal yang lebih penting selanjutnya akan diumumkan pada tanggal 26 Desember.  Australia dan Timor Lorosa’e akan menandatangani sebuah perjanjian baru tahun ini yang menetapkan batas-batas maritim dalam upaya menyelesaikan perselisihan yang masih berlangsung mengenai ladang minyak dan gas yang menguntungkan di Laut Timor Timur.

Perjanjian baru akan ditandatangani pada bulan Maret sesuai dengan arahan dari Pengadilan Tetap Arbitrase di Den Haag. Tapi ini perlu ratifikasi dari parlemen yang, pada saat ini, mungkin akan dibubarkan. Parlemen Timor-Leste akan bertemu kembali pada 8 Januari.