Ketentuan 20 Persen Presidensial Threshold Digugat ke MK

 
Ketentuan 20 Persen Presidensial Threshold Digugat ke MK

LADUNI.ID, Jakarta– Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang Perbaikan
Permohonan terhadap permohonan pengujian Undang-Undang No. 17 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum (UU Pemilu) pada Rabu (25/07) pukul 13.30. Permohonan dengan nomor
perkara 58/PUU-XVI/2018 ini diajukan oleh perseorangan bernama Muhammad Dandy.
Pemohon merupakan seorang mahasiswa. Norma yang diujikan  adalah Pasal 222 UU 17/2017 yang berbunyi

“Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang
memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit dua puluh persen dari jumlah kursi DPR
atau memperoleh dua puluh lima persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota
DPR sebelumnya.”

Pemohon menyebut dirinya sebagai pemilih pemula, yaitu pemlih yang baru memperoleh
hak pilihnya pada Pemilu 2019. Menurut Pemohon, partai politik pemenang Pemilu 2014
tidak pernah mendapatkan mandat dari Pemohon dan pemilih pemula lainnya. Sehingga,
partai politik tersebut seharusnya tidak memiliki hak untuk mengusungkan pasangan calon
presiden dan wakil presiden pada Pemilu berikutnya. Bersadarkan hal tersebut,
pemberlakuan pasal a quo (ketentuan presidential threshold) dinilai Pemohon telah
merugikan hak konstitusionalnya.

Selain itu, ketentuan presidential threshold dinilai Pemohon telah membedakan kedudukan
setiap warga negara dalam hukum. Pemohon menjelaskan bahwa warga atau partai politik
yang ‘tidak berasal’ dari partai politik pemenang Pemilu 2014 tidak memiliki kesempatan
untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2019.
Pemohon menyebut pemberlakuan ketentuan a quo telah menciptakan pemberlakuan
diskriminatif dan tidak sama di hadapan hukum bagi setiap partai politik peserta Pemilu
2019.

Pada sidang Pemeriksaan Pendahuluan Kamis (12/07) lalu, Hakim Konstitusi Aswanto
meminta Pemohon untuk membangun rasionalitas konstitusional agar MK tidak ragu untuk
bergeser dari putusan sebelumnya. Hal tersebut diungkapkan berkaitan dengan Putusan MK
Nomor 53 Tahun 2017 dimana MK menolak permohonan serupa. Secara khusus Hakim
Konstitusi I Dewa Gede Palguna meminta Pemohon membedakan kerugian hak
konstitusional Pemohon dengan uraian pertentangan UU Pemilu dengan UUD 1945. (Raisa)