Serial Wayang Kebatinan Islam #5: Perkembangan Wayang Kulit pada Masa Mataram

 
Serial Wayang Kebatinan Islam #5: Perkembangan Wayang Kulit pada Masa Mataram

Paska melewati masa-masa prasejarah, Hindhu-Budha, dan Demak serta Pajang, maka perkembangan wayang tumbuh seiring dengan peralihan kekuasaan pada saat itu. Setelah Dengan kekalahan di pihak Pajang menyebabkan pusat kerajaan pindah ke Mataram. Ketika itu Adiwijoyo wafat di tengah-tengah menghadapi Sutowijoyo, putra Ki Gede Pemanahan pada tahun 1582 M. Sebagai rajanya adalah Sutowijoyo dengan gelar Senopati Ing Alogo Sayidin Panotogomo (1586-1601 M).

Seperti peristiwa peralihan kekuasaan lainnya, maka alat-alat upacara kerajaan Demak termasuk wayang kulit juga diboyong ke Mataram.

Sewaktu berkuasa, panembahan Senopati tidak banyak melakukan penambahan sesuatu yang baru dalam wayang kulit, tetapi hanya menambah binatang-binatang hutan, tatahan wayang disempurnakan, lalu rambut ditatah sempurna.

Baru setelah kekuasaan dipegang oleh Mas Jolang (Pangeran Seda Krapyak) sekitar tahun 1526-1538 Saka atau 1601-1613 Masehi perkembangan wayang kulit di Mataram mulai mengalami kemajuan. Beliau memperbaharui wayang kulit Kidang Kencana karya kerajaan Pajang dan membuat wanda. Bentuk wayang purwa yang bersumber pada wayang Kidang Kencana dipertinggi dan tangan-tangan wayang dipisah dari badannya serta diberi tangkai. Adapun wanda yang dibuat yaitu:

  • Arjuna wanda jimat (jimat= azimat, kesucian)
  • Bima wanda mimis (mimis= peluru= tampan= cekatan)
  • Suyudana wanda jangkung (jangkung= melindungi)
  • Raksasa Raton wanda barong (barong= singa berambut panjang).

Juga dibuat dagelan, gapit dan beraneka bentuk senjata seperti panah, keris, cakra, dan lainnya.

Di samping itu diciptakan pula wayang baru berbentuk raksasa dengan kedua tangannya terpisah dari badan serta diberi nama raksasa Penyerang. Dalam pedalangan wayang tersebut dikenal dengan nama Buta Cakil, bermata satu, memakai keris dengan gigi taring mencuat ke atas melampaui bibir, wayang tersebut bersengkala Nembah Gaman Buta Tanggal (1552 Saka).

Pengganti Mas Jolang setelah turun tahta adalah Sri Sultan Agung Anyokro Kusuma (1613-1645 M atau 1538-1570 Saka). Oleh Sultan Agung wayang kulit betul-betul diperhatikan. Wayang kulit masa beliau disempurnakan dengan membuat wayang dengan mata liyepan, dondongan, thelengan, dan sebagainya. Dan karya filsafat yang terkenal yaitu ‘sastra ganding’. Sedangkan wayang kulit hasil penyempurnaan selama beliau memerintah Mataram ialah:

  1. Baladewa wanda gegr (geger= huru- hara)
  2. Kresna wanda gendreh (gendreh= mulai ulahnya)
  3. Arjuna wanda mangu (mangu= ragu-ragu)
  4. Sembadra wanda rangking (rangking= langsing/ badan singset atau erat)
  5. Banowati wanda golek (golek= boneka)
  6. Semar wanda brebes (brebes= air mata keluar/ akan menangis)
  7. Bagong wanda gilut (gilut= menekuni sesuatu atau tak bergigi= tak berkuasa)
  8. Semar wanda dhukun (dhukun= tabib)
  9. Petruk wanda jlegog (jlegog= dada sempit, perut besar)

Di samping itu dibuatlah suatu tanda peringatan sengkala memet berupa raksasa berambut merah, yaitu raksasa rambut api. Sengkala memet tersebut berbunyi Jala Buta Tinata Ratu. Sengkala itu bermakna tahun 1552 Saka atau 1631 M.

Pada tahun 1645-1677 M berkuasa Amangkurat I (Pangeran Tegal Arum). Beliau berusaha mengembangkan wayang kulit dengan membuat wayang kulit satu kotak. Tokoh wayang kulit yang dibuatnya antara lain Arjuna wanda kanyut. Kemudia menetapkan Kyai Anjang Mas menjadi pimpinan dan sesepuh dalang, karena ia satu-satunya dalang Pangruwat. Peristiwa itu diperingati dengan sengkala memet bergambar Bathara Guru naik lembu Andini. Sengkala memet tersebut berbunyi Esthining Pandita Marganing Dewa, dengan maksud menunjukkan tahun 1578 Saka.

Ketika Amangkurat II berkuasa pada tahun 1686 M, atas bantuan Belanda, ibu kota kerajaan dipindahkan dari Pleret ke Kartasura, termasuk perlengkapan dan semua alat upacara. Perkembangan wayang kulit masa ini adalah dipakainya tokoh Bagong dalam punakawan kemudian diciptakan cara pementasan Kanoman yang memakai Bagong dalam Punakawan dan lakon Kasepuhan yang tidak memakai Bagong. Disempurnakan juga bentuk wayang kulit yang ada, antara lain dewa-dewa memakai baju, selendang, dan sepatu, pendeta memakai baju dan sepatu. Kemudian dibuat Terong dengan Sengkala memet Marga Sirna Wayanging Jalma (1682 M).

Pada tahun 1703-1704 M, berkuasa Amangkurat III kemudian diganti oleh Pangeran Puger dengan gelar Paku Buwana yang berkuasa di Kartasura pada tahun 1704-1719 M. Ia mengembangkan wayang kulit antara lain berupa:

  • Membuat wayang sabrangan, liyepan dan wayang thelengan dengan memakai baju dan keris
  • Membuat wayang perempuan buta dengan nama Kenya Wandu
  • Membuat kitab Manikmaya, yang memuat cerita mengenai Sang Hyang Tunggal

Jadi pada masa ini cerita wayang kulit juga diarahkan kepada kewajiban menyembang Tuhan Yang Maha Esa. Ini adalah usaha memasukkan nilai-nilai Islam pada masyarakat Jawa pada waktu itu.

Perkembangan wayang kulit kemudian berlanjut pada masa Paku Buwana II, yaitu tahun 1727-1729 M, dengan dibuatnya wayang-wayang baru dan disimpan sebagai pusaka keraton. Sebagai babon wayang adalah Kyai Pramukanya dan Kyai Banjed. Beliau juga membuat Kitab Kanda (berisi keturunan bathara Brahma), cerita lokapala dan cerita Rama. Untuk Kitab Kanda digunakan sebagai kitab pakem lakon Yogyakarta.

Ketika berkuasa, Paku Buwana III juga mengembangkan wayang kulit bersama putranya Adipati Anom. Wayang kulit yang dibuat adalah:

  1. Permadi wanda kinanti
  2. Permadi wanda kadung
  3. Abimanyu wanda bontit
  4. Bima wana gurnat
  5. Kakrasana wanda kaget (terkejut)
  6. Petruk wanda mesem (tertawa kecil)
  7. Bagong wanda ngekat atai rati (tak mau mengalah meskipun kalah)

Juga diciptakan denawa dan wanara sebuah saja, membuat wayang denawa memakai baju, putra Ngalengka tanpa bokongan, juga membuat kayon tanpa bebujangan (hewan). Semua itu tanpa warna pada pelemahannya, karena dilarang kecuali milik Sunan.

Setelah Adipati Anom berkuasa menggantikan ayahnya dengan gelar Paku Buwana IV, dikembangkanlah wayang kulit yang diambil dari induk Kyai Mangu ciptaannya sendiri, yaitu:

            Semua wayang katongan (para ratu) dibentuk memakai mahkota. Semua wayang, misalnya patih dan bala sabrangan bila perlu dipakai wayang ricikan kecuali kayon atau senjata tidak dalam satu kotak, tetapi dalam bentuk lain. Binatang buas, binatang air, binatang yang terbang (burung), binatang-binatang kecil sekotak dengan senjata. Denawa dagelan atau dagelan setanan, juga wayang ricikan misalnya gapura prampongan jaran kreta (rata) dan gajah. Wayang untuk pertunjukan dan peralatan wayang menjadi satu kotak dinamai kotak dagelan.

Sebagai penatah wayang adalah Cerma Pranggawait dan Kyai Gondo. Jadi pada masa ini untuk keperluan adegan berburu atau binatang hutan lebih lengkap.

Sewaktu Paku Buwono V berkuasa di Surakarta pada tahun 1820-1823 M, wayang sudah menyebar ke seluruh Jawa. Wayang sudah menjadi milik masyarakat sampai ke pelosok. Beliau menciptakan wayang perampogan beraneka warna. Ada prampogan buta, kera, harimau, dan beberapa beburuan warna-warni. Ini untuk lakon grogol bila raja mengumpulkan buruan aneka warna di hutan. Jadi oleh Paku Buwana V, wayang kulit berupa binatang buruan itu untuk melengkapi wayang kulit peninggalan Paku Buwana IV.

Sementara itu ketika Paku Buwana VII berkuasa, kerajaan sulit menemukan penatah yang betul-betul mumpuni (menguasai bidangnya). Jika ada penatah belum tentu menguasai dan memahami pengetahuan wayang, cara menambah dan mengurangi panjang wayang, terutama berkaitan dengan wanda yang mempunyai kaitan dengan rasa, watak, dan jiwa wayang. Pada waktu itu keahlian tentang wayang hanya dimiliki oleh Paku Buwana IV saja. Maka pada masa Paku Buwana VII tidak banyak dihasilkan wayang kulit, sebagai pembaharuan masa sebelumnya. Masa ini hanya diciptakan wayang kulit dengan pola Kyai Pramukanya sepuh di Kartasura, ditarik satu palemahan, wanda hanya dua, tidak lengkap.

Di lain tempat, penguasa Mangkunegara (pecahan kerajaan Surakarta) yaitu Mangkunegara IV membuat wayang kulit, disebut Kyai Sabet. Mangkunegara IV juga membuat wayang dewa-dwa memakai mahkota dan topi, wujudnya baju dipendekkan, bagian bawah kain sambet tapehan, hanya Bathara Kamajaya tetap bergelung seperti Permadi, bathara Surya dengan patuk dan Tamboro tetap seperti dulu. Wayang-wayang masa itu dibuat dengan ukuran pedalangan, sabet, kidang kencana, tanggung di Kraton Menjangan Mas, ageng disebut jujuda, dan alit disebut kaper. Dengan jumlah seluruh wayang 414 buah, tanpa Semar, Bagong, serta berpalemahan warna merah, biru, dan putih. Juga dibuat Bratasena wanda gurnat dinamai Kyai Sidung. Untuk menandai dibuat sengkalan memet: Mantri Trusta Memuji Ing Gusti yang berarti tahun 1793 Saka.

Jadi di samping kerajaan Kasunan, di Mangkunegara juga dilakukan pengembangan dan penyempurnaan wayang kulit oleh Mangkunegara IV.

Setelah mengalami kemandekan sementara waktu, perkembangan wayang kulit mulai meningkat lagi pada masa Paku Buwana X. Pengembangannya hanya mengkhususkan wayang para, yaitu wayang untuk sehari-hari atau dipinjamkan kepada sanak saudara apabila membutuhkan wayang-wayang tersebut. Wayang-wayang tersebut meliputi:

            Wayang purwa di peristirahatan raja di Paras Boyolali, sekarang disimpan kembali di keraton. Wayang yang dibeli Keraton, wayang ciptaan Pangeran Harya Kusumadiningrat, wayang kulit purwa semua wayang katongan bersepatu. Wayang ciptaan tuan Jurnas, wayangnya wayang Jujudan (ditambah tinggi) lebih besar satu palemahan dari wayang pedalangan wayang buatan Prajatanen dan Bujatanen dibeli untuk Keraton. Wayang kulit purwa ciptaan Kusumadilagen dipakai juga di Keraton. Dahulu dipinjamkan kepada sekolah pedhalangan di museum Radya Pustaka Sriwedari, sekarang sudah kembali disimpan dalam Keraton. Wayang kulit Ngayogyakarta lengkap, dibawa kanjeng Ratu Mas. Masih disimpan di Keraton.

Berdasarkan keterangan tersebut di atas dapat dipahami bahwa wayang kulit pada masa kerajaan-kerajaan Islam ini, atau pada tahun 1521-1945 mengalami perkembangan yang pesat, baik dalam bentuk wayang, susunan lakon, perbendaharaan jenis wayang maupun nilai-nilainya. Namun demikian perkembangan tidak berhenti pada masa ini saja, tetapi pada masa selanjutnya kesenian ini makin dihayati, disenangi, dan dipelajari oleh peminat-peminatnya.

Bersambung.

 

Sumber Buku  Wayang Kebatinan Islam karya Dharmawan Budi Suseno.