Pesantren Ekologi #1: Sebuah Solusi Kemandirian?

 
Pesantren Ekologi #1: Sebuah Solusi Kemandirian?

LADUNI I KOLOM- Kita mengetahui bahwa tinta sejarah bangsa ini telah mencatat peranan dan keberadaan Dayah (Pesantren) serta hubungannya dengan penyebaran Islam di nusantara tidak lepas dari peran Pesantren. Sedangkan lembaga pendidikan khas Aceh disebut dengan dayah  (pesantren). Pesantren merupakan sebuah lembaga yang pada awalnya memposisikan dirinya sebagai pusat pendidikan pengkaderan ulama. Kehadirannya sebagai sebuah institusi pendidikan Islam di Aceh bisa diperkirakan hampir bersamaan tuanya dengan Islam di Nusantara. Kata Dayah berasal dari bahasa Arab, yakni zawiyah, yang berarti pojok.  (Muntasir, Pesantren Dan Ulama Dalam Masyarakat Aceh, h. 43). Istilah zawiyah, yang secara literal bermakna sudut, diyakini oleh masyarakat Aceh pertama kali digunakan sudut mesjid Madinah ketika Nabi Muhammad Saw berdakwah pada masa awal Islam. Pada abad pertengahan, kata zawiyah difahami sebagai pusat agama dan kehidupan mistik dari penganut tasawuf, karena itu, didominasi hanya oleh ulama perantau, yang telah dibawa ke tangah-tengah masyarakat. Kadang-kadang lembaga ini dibangun menjadi sekolah agama dan pada saat tertentu juga zawiyah dijadikan sebagai pondok bagi pencari kehidupan spiritual. Sangat mungkin bahwa disebarkan ajaran Islam di Aceh oleh para pendakwah tradisional Arab dan sufi. Ini mengidentifikasikan bagaimana zawiyah diperkenalkan di Aceh. Di samping itu, nama lain dari Pesantren  adalah rangkang. Perbedaannya, eksistensi dan peran rangkang dalam kancah pembelajaran lebih kecil dibandingkan dengan Pesantren. (Hasbi Amiruddin, Ulama Dayah, Pengawal Agama Masyarakat Aceh, hal. 33)

Saat ini menjamur dan begitu banyaknya Pesantren(Dayah),  secara kasat mata tentu saja akan  timbul adanya permasalahan pendanaan yang harus disediakan baik oleh pemerintah maupun orangtua santri. Tetapi, keadaan yang sebenarnya terjadi bukanlah demikian beratnya. Banyak dari Pesantren di tanah air yang tidak memungut biaya dari para santrinya, dengan dasar sedekah dan tabungan akhirat. Lebih luar biasa lagi, lembaga Pesantren menjadi sebuah lembaga kewirausahaan dalam mendukung segala bentuk kegiatan di Pesantren. Di samping itu masih ada dengan kuota tidak sedikit Pesantren yang mengharapkan bantuan bahkan iris hati kita mendengarnya masih ada oknum yang  menjadikan Pesantren sebagai “perusahaan” atau “ajang bisnis”, nauzubillah!!!

Melihat perkembangan dewasa ini, Pesantren itu harus mandiri tidak perlu bergantung  diri kepada pemerintah, di satu sisi kita melihat dengan berdiri badan Pesantren dan kini telah berubah menjadi Dinas Pendidikan Dayah Aceh secara tidak langsung dari satu sisi telah “merusak” dan “mencederai” marwah dan eksestensi kemuliaan Pesantren itu sendiri. Nilai luhur "dengan khasnya mandiri dan tidak bergantung sepenuhnya kepada pemerintah, tentu saja dapat menjaga jarak dengan pemerintah dan mampu berfungsi sebagai pengontrol dan pengkritik kebijakan pemerintah, namun di saat “bergantung” dengan pemerintah, perlahan “al-hadaya aslu mahabbah(hadiah itu asal kecintaan) akan “membuahkan” hasil, hadiah yang di maksudkan disini pemberiaan pemerintah kepada Pesantren, walhasil fungsi pengontrol kebijakan dan pengkritik pemerintah akan melemah “pohon cinta” semakin berakar dan tumbuh. Poin penting yang hendak di sampaikan disini lembaga Pesantren belum mampu mandiri. Lantas bagaimana solusinya?

***Helmi Abu Bakar El-Langkawi, Dayah MUDI Masjid Raya Samalanga, Bireun, Aceh