Serial Wayang Kebatinan Islam #6: Perkembangan Wayang Kulit setelah Kemerdekaan

 
Serial Wayang Kebatinan Islam #6: Perkembangan Wayang Kulit setelah Kemerdekaan

Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia menyatakan kemerdekannya, sehingga tujuan perkembangan seni budaya pun mengikuti kemajuan masa kemerdekaan Indonesia. Begitu juga halnya dengan wayang kulit, pada mas aini wayang kulit mengalami perubahan kedudukan dari wujud kesenian daerah klasik tradisional (adiluhung) menjadi kebudayaan yang berskala nasional, yaitu milik bangsa Indonesia, sebagai hasil pengembangan masyarakat itu sendiri dengan bantuan pemerintah Indonesia.

Perkembangan wayang kulit terjadi begitu pesat setelah bangsa Indonesia merdeka. Sehingga sekitar tahun 1952 pertunjukan wayang kulit menjadi dua macam bentuk pagelaran, yaitu bentuk tradisi (9 jam) dan bentuk baru (4-5 jam) dari mulai jam 0.00 – 01.00. Untuk pertunjukan yang tradisional semula ditiadakan di peringgitan rumah, dalam perkembangannya bisa dimainkan di sembarang tempat, asal memungkinkan untuk menyelenggarakan pertujukan wayang kulit. Sedangkan untuk pertunjukan tidak semalam suntuh, karena waktu dipersingkat (4-5 jam) membawa konsekuensi pertunjukan wayang kulit hanya menonjolkan olah seni dengan pengurangan beberapa adegan yang tidak memberi bobot dan arti.

Peran kalangan akademis dan ilmuwan juga tidak bisa dilepaskan dalam menunjang perkembangan wayang kulit. Mereka menjadikan wayang kulit sebagai objek penelitian. Pertunjukan wayang kulit mulai digarap oleh para mahasiswa dari universitas-universitas, artinya banyak sekolah pedalangan yang mempunyai siswa dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Sehingga hal ini dapat dikatakan wayang kulit sudah mencapai taraf akademis.

Seperti yang disebutkan Sri Mulyono, yaitu:

            Pada tahun 1953 dibuka suatu kursus pedalangan “Himpunan Siswa Budaya” di jalan Kemuning 19 Yogyakarta dengan guru Bapak R.M. Sri Handaya Kusuma, bapak Susila Atmaja, Bapak Pringga Sutata, dengan siswa kurang lebih 14 orang mahasiswa terdiri dari: 3 orang mahasiswa fakultas kedokteran, 3 orang mahasiswa fakultas sosial politik, 2 orang mahasiswa fakultas sastra dan budaya dan 3 orang mahasiswa fakultas teknik. Para mahasiswa UGM ini akhirnya pada perayaan Dies Natalis Universitas tanggal 19 Desember 1954 berhasil mementaskan pagelaran wayang kulit, yang lamanya kurang lebih 4 jam bertempat di asrama mahasiswa Dharma Putera dengan cerita Makutha Rama.

Usaha pementasan wayang kulit di Universitas Gajah Mada tersebut berlanjut sampai sekarang, sebagai acara penutup Dies Natalis lembaga tersebut.

Begitu juga halnya di IAIN Sunan Kalijaga pernah dipentaskan wayang kulit dengan mengambil cerita “Wedharing Wahyu Makutha Rama”, pada tanggal 14 Juli 1962, berlangsung semalam suntuk. Dalam sambutannya Prof. Adnan menyatakan:

            Masyarakat kita bangsa Indonesia (Jawa) masih gemar sekali hal wayang itu, mulai zaman dulu hingga sekarang, baik di desa maupun di kota. Oleh karena itu, Wali Sanga memperhatikan hal tersebut untuk keperluan memasukkan dakwah Islamiyah.

Dari pementasan tersebut menunjukkan bahwa wayang kulit memang betul-betul diakui oleh lembaga tersebut sebagai produk umat Islam, juga sebagai bukti bisa diterima oleh kalangan akademis.

Telah disebutkan bahwa perkembangan wayang kulit pada masa kemerdekaan ini juga atas dukungan pemerintah Republik Indonesia terhadap kesenian ini. Pemerintah Indonesia mengetahui potensi wayang kulit untuk menyukseskan pembangunan, sehingga berusaha mengptimalkanpotensi tersebut bagi kesuksesan pembangunan, dengan menjadikannya sebagai media pembangunan. Untuk itu diusahakan agar semua yang terkait dalam wayang kulit terhimpun dalam satu wadah. Sebagai tindak lanjut dari pogram ini adalah diadakan berbagai sarasehan pedalangan ringgit purwa atau wayang kulit. Di antaranya adalah yang diselenggarakan oleh Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Indonesia. Acara itu berlangsung dari tanggal 23 sampai 28 Januari 1968. Dari sarasehan itu lahirlah yayasan pedalangan wayang purwa.

Selain adanya perhatian yang berskala nasional kepada wayang kulit, ternayta wayang kulit pada masa Indonesia merdeka ini juga mendapat perhatian dari dunia internasional. Hal ini ditunjukkan ketika pemerintah mengirimkan duta seni dan budayanya dalam konferensi wayang internasional di Kuala Lumpur pada tanggal 27 – 31 Agustus 29168 yang dihadiri para dalang, ahli kerawitan, dan para cerdik cendikiawan dari berbagai negara. Konferensi ini selain mempertunjukkan kesenian wayang kulit yang diiringi pageralan konser kerawitan/ gamelan dari masing-masing peserta juga diadakan diskusi mengenai wayang kulit. Sebagai utusan dalam konferensi itu, Indonesia menunjuk Ir. Sri Mulyono. Dalam diskusi tersebut Sri Mulyono mengajukan makalah yang berjudul Performance of Wayang Purwa Kulit (Shadow Play) as a Traditional Classical Drama Art.

Selanjutnya dalam penggarapan dan pengembangan cerita-cerita wayang kulit setelah Indonesia merdeka ini, tercipta cerita-cerita baru yang berbeda dengan masa sebelumnya. Penggarapan cerita itu antara lain dengan pertimbangan bahwa wayang kulit sudah menjadi milik nasional, tetap dengan pengkhususan kebanyakan penggemar wayang kulit itu adalah masyarakat Jawa yang beragama Islam. Beberapa lakon tersebut antara lain:

  1. Tri Agama (Tiga Agama), cerita ini dikarang oleh Ki Dalang Riyanto dari Kaliwungu. Di dalamnya menceritakan pertentangan tiga agama, yaitu: Kristen, Hindhu-Budha, dan Islam . Pada awalnya Islam mengalami kekalahan, tetapi akhirnya Islam mengalami kemenangan.
  2. Wedharing Sifat Rong Puluh. Ini menceritakan tentang sifat-sifat Tuhan yang jumlahnya dua puluha yaitu Wujud, Qidam, Baqo’, dan seterusnya. Dalam cerita Artjuna-lah yang mendapat pengetahuan tentang sifat-sifat Tuhan itu.

Wayang kulit mengalami perkembangan yang begitu pesat dengan banyaknya terobosan yang dilakukan oleh pihak yang berkait dengan wayang kulit. Banyak inovasi yang dilakukan pada wayang kulit dengan nuansa yang lebih baru dan berbeda dengan masa sebelumnya. Inovasi ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa di tengah-tengah arus globalisasi dan modernisasi wayang kulit harus mampu menjawab dan memenuhi kebutuhan masyarakat modern, agar tidak ditinggalkan penggemarnya. Maka harus ada usaha untuk menjawab kebutuhan masyarakat yang semakin berkembang, yaitu dengan inovasi dan penafsiran baru dalam penyajian pentas wayang kulit sesuai tuntutan dan tantangan zaman.

Terobosan-terobosan baru dalam pementasan wayang kulit tersebut, penulis dapat sebutkan antara lain pagelaran wayang kulit dengan dua-kelir. Hal ini tentu saja sesuatu yang baru dalam wayang kulit, karena biasanya dalam