Dialektika Politik Kardus #2

 
Dialektika Politik Kardus #2

LADUNI. ID I KOLOM-  Kardus itu melekat juga pada sosok yang bernama manusia sehingga kerap kita dengar "manusia kardus". Lantas apa itu "manusia kardus" alias Mardus.  Seperti dikutip dari sebuah tulisan Syae_Purnama di kompasiana pada April 2014 yang dilansir oleh media merdeka.com menyebutkan bahwa  manusia kardus adalah manusia minus integritas. Kemanapun angin bertiup, ia akan ikut. Mudah sekali untuk berpaling dari niatan awal. 

Sosok Mardus itu akan berjalan kemana angin bertiup dan kemana ombak menabrak, karena memang niatannya adalah harga yang murah. Manusia Kardus bisa datang dari profesi apapun dan kelas sosial apapun!

Diantara ciri Mardus (manusia kardus) pertama, ucapanya manis namun membuat anda terpedaya membuat kantong anda menipis seperti ; meminjam uang dengan alasan bla bla dan janji hutang akan dibayar pada waktu yang tepat. Kedua, mengadakan pertemuan atau janji lainya namun selalu dibatalkan tanpa ada alasan apapun atau ucapan kosong atau juga janji palsu. Ketiga, tidak sesuai janji awal atau juga mengingkari janji. Keempat, melakukan pengkhianatan terhadap teman maupun saudara atau disebut juga berkhianat. (merdeka.com, 2018)

Kardus Dalam Dunia Politik

Kardus yang sedang viralnya lahir dengan bermacam bentuknya. Salah satunya " Jederal Kardus".  Ungkapan ini telah menjadi "santapan" media kita . Ini juga dilansir oleh media cetak Republika yang menyebutkan bahwa Kemesraan Partai Gerindra dan Partai Demokrat yang sempat terbangun dalam beberapa pekan terakhir langsung hangus terbakar tudingan Wakil Sekjen Partai Demokrat Andi Arief kepada Ketua Umum Gerindra, Prabowo Subianto. (Republika, 9 Agustus 2018).

Dalam cicitannya, Andi menyebut Prabowo sebagai 'Jenderal Kardus' karena disebut memilih Sandiaga Uno sebagai cawapresnya. Tudingan Andi makin liar ketika menyebut PAN dan PKS disogok Rp 500 miliar untuk mendapatkan restu menjadi cawapres Prabowo. (Republika,  9 Agustus 2018).

Terlepas dari itu, urgensi dan Indiktator pentingnya independensi organisasi bagi ormas-ormas keagamaan yang besar seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan lain-lain. Kita akan terus merasa damai, bahagia menghadapi dan saat Pileg, Pilpres selama TNI, POLRI netral dan ormas-ormas keagamaan mampu menjaga independensi organisasinya.

Tegasnya organisasi keagamaan cukup bicara kriteria, dan sebaiknya tidak perlu merekomendasikan nama-nama Capres atau Cawapres pilihan mereka karena akan berpotensi membuat umatnya di dunia nyata dan dunia digital terpecah sehingga merugikan organisasi keagamaan itu sendiri.

Lahirnya semacam "jenderal kardus" dan fenomena politik lainnya juga bagian dari dialektika politik. Tentunya dalam hal ini merupakan sebuah kesempatan untuk mempertajam gagasan-gagasan politik supaya sampai kepada kebenaran. Fenomena riil selalu menghadapkan kita pada pelbagai kasus dalam berpolitik. Bangsa kita justru terjerat dalam kasus-kasus politik termasuk pemilihan pemimpin . Tidak ada cara berpolitik yang berlaku absolut. Selalu ada antitesis yang menjadikan politik itu menarik untuk dikaji. (Dian Jemali, 2017)

Selanjutnya, dalam tulisannya Dian Jemali menambahkan, setiap hari kita dihadapkan dengan konsep dan trik politik yang tentunya berbasis pada kepentingan-kepentingan tertentu. Akan sangat berbahaya kalau sintesis politik justru membuat komunitas publik semakin setia dengan konflik, perpecahan, pertikaian, dan kekerasan. Tetapi akan sangat optimistik kalau sintesis yang dibangun mampu menghidupkan nilai-nilai luhur kebaikan dan kesejahteraan bersama. Para politisi perlu menyadari bahwa politik tidak hanya berhubungan dengan kepentingan individu atau kelompok.

Beranjak dari itu Apapun istilah yang lahir termasuk "jenderal kardus" dan lainnya,  hendaknya kita sebagai warga negara yang baik berusaha menciptakan asumsi yang berpotensi lahirnya ketidakharonisan dan kekisruhan menjadi aura positif dan jangan menambah serta memperkeruh suasana. Kalau memang tidak mampu menjadi kontributor kebaikan tetapi janganlah menjadi menambah nilai negatif lainya dalam melahirkan disintegrasi masyarakat kita.

Dunia politik itu sejatinya merupakan sebuah nilai untuk kebaikan semua orang dan lapisan masyarakat. Makanya, Aristoteles mengidentifikasi manusia dengan terminologi zoon politiicon (makhluk yang berpolitik), makhluk yang setia berkomunikasi atau berinteraksi dengan orang lain sebagai sebuah pertemuan yang memperkaya satu sama lain (polis). Mari kita jemput perbaikan dalam kebaikan menuju mardhatillah disegala aspek kehidupan.

*** Helmi Abu Bakar El-Langkawi, Dewan Guru Ponpes MUDI Masjid Raya Samalanga, Aceh