Fiqh Kurban #5: Berkurban untuk Orang Lain, Bolehkah?

 
Fiqh Kurban #5: Berkurban untuk Orang Lain, Bolehkah?

LADUNI.ID I QURBAN- Kita saat ini tanpa terasa telah berada di bulan Zulhijjah. Tentu saja bulan ini hendaknya kita isi dengan berbagai kegiatan yang bernilai ibadah. Seperti diketahui bersama bahwa dalam setahun itu ada tiga sepuluh hari yang mulia dan mengandung kelebihan dibandingkan dengan hari yang lain yakni sepuluh akhir ramadhan, sepuluh awal Zulhijjah dan sepuluh awal bulan Muharram.  Disamping itu dalam bulan Zulhijjah merupakan bulan dimana umat islam disyariatkan untuk mengerjakan ibadah yang tidak ada di bulan lain yakni berkurban. Diantara Firman Allah yang menjelaskan tentang kelebihan Zulhijjah terutama awal sepuluh yang pertama terdapat dalam surah Al-Fajar, ayat 1-3: “Demi fajar, dan malam yang sepuluh, dan yang genap dan yang ganjil” .

Dalam interpretasi ayat ini Syekh Ibnu kasir berpendapat bahwa malam yang sepuluh itu ialah sepuluh malam pertama di bulan zulhijjah, beliau mengambil pegangan dari Ibn Abbas, Ibnu Zubair, Mujahid dan selainnya. Manakala yang ganjil itu ialah hari arafah. Sementara itu Imam al Bukhari meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas r.a bahawa Nabi s.a.w bersabda: “Tiada suatu hari pun, amalan kebaikan padanya mempunyai kelebihan melainkan pada hari-hari ini – iaitu 10 hari Zulhijjah. Para sahabat baginda bertanya, ‘Tidak juga Jihad pada jalan Allah (mengatasi kelebihan Hari-hari tersebut)? Ujar Baginda, Tidak juga Jihad di jalan Allah kecuali seorang yang keluar dengan jiwa raga dan hartanya dan tidak membawa pulang apa-apa pun (kerana habis disumbangkan untuk memenangkan agama Allah).” 

 

Berkurban Untuk Orang Lain

Ibadah kurban yang pelaksanaannya di bulan Zulhijjah atau tepatnya mulai 10 Zulhijah hingga akhir hari tasyrik tentunya sebuah ibadah yang mempunyai kelebihan tersendiri di bandingkan dengan ibadah lainnya. namun terkadang ibadah tanpadi iringi dengan ilmu dan pengetahuan yang cukup akan berekses hilangnya esensi ibadah itu sendiri termasuk ibadah kurban. Masyarakat yang ingin melakukan kurban juga panitianya harus mempunyai ilmu sehingga dalam realisasinya nanti tidak mengurangi dan hilangnya pahala kurban. Dewasa ini sangat banyak fenomena dan problema dalam masyarakat yang terkait dengan kurban. Namun alangkah indah dan bersahajanya fenomena dan problema itu ditanggapi dengan ilmu dan arif bijaksana, sehingga tidak menimbulkan efek dan gesekan sosial dalam bertaqarrub kepada Allah SWT.

Diantara kejadian Sering terjadi dimana seorang yang berkurban atas nama orang lain, bahkan keluarga sendiri, hal ini secara jelas syara’ tidak memperkenankan tanpa seizinya seperti yang disebutkan oleh Imam Nawawi dalam karyanya “Minhaj At-Thalibin” : “Tidak sah berkurban untuk orang lain (yang masih hidup) dengan tanpa seijinnya”. (Imam Nawawi, Minhaj At-Thalibin, hal. 321). Imam Nawawi juga berpendapat yang sama dalam kitab “Majmu’ Syarah Muhazzab: “Seandainya seseorang berkurban untuk orang lain tanpa seizinnya maka tidak bisa”. (Imam Nawawi, Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Bairut-Dar al-Fikr:VIII: 406). Pernyataaan yang sama juga disebutkan dalam kitab Minhajul Qawim: “Tidak diperkenankan seseorang berkorban atas nama orang hidup tanpa seizinnya dan juga atas nama mayit yang tidak mewasiatkannya”. (Minhajul Qawim:1:630). Syekh Ibnu Hajar juga menyebutkan boleh berkorban terhadap orang yang masih hidup tanpa izinnya. (Syekh Ibnu Hajar, Tuhfah Al-Muhtaj :9:426)