Pengakuan Ekonom Penghancur #6: Manipulasi Pertumbuhan Ekonomi, awal Korporatokrasi

 
Pengakuan Ekonom Penghancur #6: Manipulasi Pertumbuhan Ekonomi, awal Korporatokrasi

Tim kami yang terdiri dari 11 orang menghabiskan enam hari di Jakarta untuk mendaftarkan diri di kedutaan Amerika Serikat, menemui berbagai pejabat, mengatur diri kami sendiri, dan bersantai di sekeliling kolam renang. Jumlah orang Amerika yang tinggal di Hotel InterContinental membuat aku kagum. Aku senang sekali menyaksikan perempuan muda yang cantik-cantik- istri para eksekutif perusahaan minyak dan konstruksi -yang melewatkan hari-harinya di kolam renang dan di setengah lusin restoran yang mewah di dalam dan di sekitar hotel.

Kemudian Charlie memindahkan tim kami ke kota pegunungan Bandung. Iklimnya lebih sejuk, kemiskinan tidak terlalu mencolok, dan gangguan lebih sedikit. Kami diberikan sebuah wisma tamu pemerintah yang kami sebut Wisma, lengkap dengan seorang manajer, seorang juru masak, seorang tukang kebun, dan sekumpulan pelayan. Dibangun selama periode kolonial Belanda, Wisma adalah sebuah tempat singgah. Berandanya yang luas menghadap ke perkebunan teh yang menghampar melintasi bukit yang mengombak-ombak dan naik ke lereng gunung-gunung berapi Jawa.

Selain perumahan, kami disediakan sebelas kendaraan Toyota off-road masing-masing dengan supir dan penerjemah. Akhirnya, kami dihadiahi keanggotaan Bandung Golf and Racket Club yang eksklusif, dan kami ditempatkan di sederetan kantor di markas besar Perusahaan Listrik Negara (PLN), yang adalah perusahaan utilitas listrik yang dimiliki oleh pemerintah.

Bagiku, beberapa hari pertama di Bandung melibatkan serangkaian pertemuan dengan Charlie dan Howard Parker. Howard berusia 70-an tahun dan adalah pensiunan kepala pembuat prediksi New England Electric Sistem. Sekarang ia bertanggung jawab untuk memprediksikan jumlah energi dan kapasitas yang akan diperlukan Pulau Jawa 25 tahun ke depan, dan juga memecahnya menjadi prediksi per kota dan per wilayah. Karena kebutuhan listrik berhubungan sangat erat dengan pertumbuhan ekonomi, prediksinya tergantung dari proyeksi ekonomiku.

Sisa tim kami akan mengembangkan rencana induk berdasarkan prediksi ini, menempatkan dan mendesain pembangkit tenaga listrik, jalur transmisi dan distribusi, dan sistem transportasi bahan bakar dengan cara yang akan memenuhi proyeksi kami seefisien mungkin.

Selama rapat-rapat kami, Charlie terus-menerus menekankan kepentingan pekerjaanku, dan ia mendesak aku tentang perlunya bersikap sangat optimistis di dalam prediksiku. Claudine benar; aku adalah kunci untuk keseluruhan rencana induk.

"Beberapa minggu pertama di sini," Charlie menerangkan, "adalah untuk pengumpulan data."

Ia, Howard, dan aku telah duduk di kursi rotan yang besar di kantor pribadi Charlie yang mewah. Dindingnya dihiasi dengan permadani hiasan dinding batik yang melukiskan cerita kepahlawanan dari teks Hindu kuno tentang Ramayana. Charlie mengisap cerutu gemuk.

"Para insinyur akan menyusun suatu gambaran yang terperinci tentang sistem listrik yang sekarang, kapasitas pelabuhan, jalan, jalan kereta api, semua hal semacam itu." Ia menunjuk dengan cerutunya ke arahku. "Anda harus bertindak cepat. Pada akhir bulan pertama, Howard perlu mendapatkan gambaran yang sangat baik tentang skala penuh keajaiban ekonomi yang akan terjadi ketika kita mengoperasikan jaringan yang baru. Pada akhir bulan yang kedua, ia akan memerlukan lebih banyak rincian- dipecah dalam wilayah-wilayah. Bulan terakhir adalah untuk melengkapi semuanya. Itu akan menjadi kritis. Kita semua akan merundingkannya bersama kemudian. Maka, sebelum kita pergi kita harus sangat yakin kita mempunyai semua informasi yang kita perlukan. Kita pulang untuk merayakan Hari Pernyataan Terima Kasih*, itulah semboyanku. Tidak perlu balik lagi."

Howard tampak seperti seorang kakek yang ramah-tamah, tetapi ia sesungguhnya seorang laki-laki tua penuh dendam yang merasa ditipu oleh kehidupan. Ia tidak pernah mencapai puncak di New England Electric System dan ia sangat marah karenanya. "Sudah berlalu," katanya kepadaku berulang kali, "sebab aku menolak menyetujui kebijakan perusahaan." Ia telah dipaksa pensiun dan kemudian, tidak mampu bertahan tinggal di rumah dengan lalu menerima pekerjaan konsultasi dengan MAIN. Ini adalah penugasannya yang kedua. Dan aku telah diperingatkan oleh Einar dan Charlie untuk mengawasi dirinya. Mereka menggambarkan ia dengan kata-kata seperti keras kepala, licik, dan penuh hasrat untuk membalas dendam.

Ternyata, Howard adalah salah satu guruku yang paling bijak, meskipun bukan seorang yang aku siap menerimanya pada waktu itu. Ia belum pernah mendapatkan jenis pelatihan yang diberikan Claudine kepadaku. Kukira mereka menganggapnya terlalu tua atau terlalu keras kepala. Atau barangkali mereka memperkirakan ia hanya bekerja untuk jangka pendek, sampai mereka dapat memikat seorang pekerja penuh yang lebih luwes seperti aku. Bagaimanapun juga, dari sudut pandang mereka, ia ternyata merupakan masalah. Howard melihat situasinya dengan jelas dan peran yang mereka ingin dimainkannya, dan ia bertekad tidak ingin menjadi sebuah bidak. Semua kata sifat yang telah dipakai Einar dan Charlie untuk menggambarkannya cukup pantas, tetapi setidaknya sebagian dari sikap keras kepalanya tumbuh dari komitmen pribadinya untuk tidak menjadi pelayan mereka. Aku meragukan apakah ia pernah mendengar istilah economic hit man, tetapi ia tabu mereka bermaksud menggunakan ia untuk mengutamakan suatu bentuk imperialisme yang tidak dapat ia terima.

Ia mengajak aku ke samping setelah salah satu rapat-rapat kami dengan Charlie. Ia mengenakan alat bantu dengar dan mengutak-atik kotak kecil di bawah kemejanya untuk mengontrol volumenya.

"Ini di antara kau dan aku saja," Howard berkata dengan suara yang penuh rahasia. Kami berdiri di jendela di dalam kantor kami berdua, memandangi sungai macet yang berkelok melintasi bangunan PLN. Seorang perempuan muda sedang mandi di dalam air sungai yang kotor, berupaya untuk mempertahankan sedikit kesopanan dengan mengenakan sarung dengan longgar di sekeliling tubuhnya yang telanjang. "Mereka akan mencoba meyakinkanmu bahwa ekonomi ini akan meroket," katanya. "Charlie kejam. Jangan biarkan ia menguasaimu.”

Kata-katanya memberi aku suatu perasaan tenggelam, tetapi juga keinginan untuk meyakinkannya bahwa Charlie benar; bagaimanapun juga, karierku tergantung dari memuaskan bosku di MAIN.

"Pasti ekonomi ini akan merebak," aku berkata, mataku tertarik kepada perempuan di sungai. "Lihatlah saja apa yang sedang terjadi."

"Jadi itulah kamu," ia berkomat-kamit, kelihatannya tidak acuh pada di depan kami. "Kau telah setuju dengan jalan pikiran mereka, kan?"


Suatu gerakan di atas sungai menarik perhatianku. Seorang laki-laki tua menuruni tepinya, menurunkan celananya, dan berjongkok di sisi air untuk buang air besar. Perempuan muda itu melihatnya, tetapi tidak merasa terganggu; dia melanjutkan mandinya. Aku membalik dari jendela dan melihat langsung kepada Howard.

"Aku telah pergi ke mana-mana," aku berkata. "Aku mungkin masih muda, tetapi aku baru saja kembali dari tiga tahun di Amerika Selatan. Aku telah melihat apa yang dapat terjadi ketika minyak ditemukan. Keadaan berubah dengan cepat."

"Oh, aku juga sudah pergi ke mana-mana," katanya mengejek. "Selama bertahun-tahun. Akan kukatakan sesuatu kepadamu, anak muda. Aku sama sekali tidak peduli kepada penemuan minyakmu dan segalanya itu. Aku memprediksikan beban listrik sepanjang hidupku - selama era depresi, Perang Dunia II, zaman kejatuhan dan pertumbuhan. Aku telah melihat apa yang telah dilakukan untuk Boston oleh apa yang disebut Keajaiban Nassachusetts Rute 128. Dan aku dapat mengatakan dengan pasti bahwa tidak pernah ada beban listrik tumbuh lebih dari 7 sampai 9 persen setahun untuk periode yang berkelanjutan. Dan itu pun pada saat-saat yang terbaik. Enam persen lebih layak."

Aku terbelalak melihatnya. Sebagian dari diriku curiga ia benar, tetapi aku membela diri. Aku tahu aku harus meyakinkan ia, karena suara hatiku sendiri berteriak mencari pembenaran.

"Howard, ini bukan Boston. Ini adalah sebuah negara, di mana hingga tekarang tidak ada seorangpun mendapatkan listrik. Keadaannya berbeda di sini."

Ia berbalik dan melambaikan tangannya seolah-olah ingin mengusir aku.

"Teruskanlah," ia menjawab dengan geram. "Pengkhianatan. Aku sama sekali tidak peduli dengan apa yang akan kau ajukan." Ia menghentakkan kursinya dari belakang mejanya dan menjatuhkan dirinya. "Aku akan membuat prediksi listrikku berdasarkan pada apa yang kuyakini, bukan pada kajian ekonomi angin surga." Ia mengambil pensilnya dan mulai mencorat- coret di atas bloknot.

Itu adalah tantangan yang tidak dapat kuabaikan. Aku melangkah dan berdiri di depan mejanya.

"Kau akan tampak goblok sekali jika aku mengajukan apa yang diharapkan oleh setiap orang - suatu lonjakan ekonomi yang menyaingi demam emas California - dan kau memprediksikan pertumbuhan listrik dengan tingkat yang setara dengan Boston pada tahun 1960."

Ia membanting pensilnya dan membelalak kepadaku. "Tidak tahu malu! Itulah dia. Kau- semua dari kalian -" ia melambaikan lengannya ke arah kantor-kantor di balik dinding kami, "kau telah menjual jiwamu kepada setan; Kau berada di dalamnya untuk uang. Sekarang," ia tersenyum dibuat-buat dan menggapai ke bawah kemejanya, "aku akan mematikan alat bantu dengarku dan kembali bekerja."

Peristiwa itu sangat mengguncang aku. Aku mengentakkan kaki keluar ruangan dan berjalan menuju kantor Charlie. Separuh jalan ke sana, aku berhenti, tidak pasti tentang apa yang ingin kucapai. Sebagai gantinya, aku berbalik dan menuruni tangga, ke luar pintu, ke bawah sinar matahari sore. Perempuan itu sedang naik ke tepi sungai, sarungnya menyelubungi tubuhnya dengan ketat. Laki-laki tua itu telah menghilang. Beberapa anak laki-laki bermain di sungai, saling memercikkan air dan berteriak. Seorang perempuan tua sedang berdiri di kedalaman air setinggi lutut, menyikat giginya; yang lain sedang mencuci pakaiannya.

Sebuah bongkahan besar seakan menyumbat kerongkonganku. Aku duduk di atas lempengan beton yang rusak, mencoba tidak mengindahkan bau yang menyengat dari sungai itu. Aku berjuang keras untuk menahan air mataku; aku perlu menemukan mengapa aku merasa demikian sedih.

Kau berada di dalamnya karena uang. Kata-kata Howard terngiang-ngiang di telingaku, berulang-ulang.

Ia telah menyengat saraf yang tepat.

Anak-anak kecil itu terus saling memercikkan air, suara mereka yang riang gembira memenuhi udara. Aku bertanya-tanya apa yang dapat kulakukan. Apa yang diperlukan untuk membuatku demikian tanpa beban seperti mereka? Pertanyaan itu menyiksaku ketika aku duduk di sana memandangi mereka melompat-lompat di dalam kepolosan mereka yang begitu berbahagia, tampaknya tidak menyadari risiko yang mereka hadapi dengan bermain di dalam air yang berbau busuk itu. Seorang laki-laki tua berbadan bungkuk dengan sebatang tongkat kasar berbonggol-bonggol berjalan terpincang-pincang di sepanjang tepi sungai itu. Ia berhenti dan memandangi anak-anak itu, dan wajahnya menyeringai ompong.

Barangkali aku dapat mempercayai Howard; mungkin bersama-sama kami dapat mencapai suatu penyelesaian. Aku langsung merasakan pembebasan. Aku mengambil sebuah batu kecil dan melemparkannya ke dalam sungai. Ketika riaknya memudar, bagaimanapun, begitu pula rasa pangku. Aku tabu aku tidak dapat melakukan hal seperti itu. Howard sudah tua dan penuh dendam. Ia telah melewatkan peluang untuk memajukan kariernya sendiri. Pastilah ia tidak akan mengalah sekarang. Aku masih muda, baru saja memulai tugas, dan pasti tidak ingin berakhir seperti ia.

Menatap ke dalam air sungai yang busuk itu, aku sekali lagi melihat gambaran sekolah lanjutan New Hampshire di atas bukit itu, tempat aku telah menghabiskan waktu liburanku sendiri saja, sementara anak-anak !laki-laki yang lain pergi ke pesta dansa mereka. Perlahan-lahan fakta yang mengendap. Sekali lagi, tidak ada seorang pun yang dapat aku ajak berbicara.


Malam itu aku berbaring di tempat tidur, lama memikirkan tentang orang-orang di dalam kehidupanku - Howard, Charlie, Claudine, Ann, Einar, Paman Frank- bertanya-tanya apa yang akan terjadi di dalam hidupku jika aku tidak pernah berjumpa dengan mereka. Di mana aku akan hidup? Bukan Indonesia, pastinya. Aku juga berpikir tentang masa depanku, ke mana aku menuju. Aku merenungkan keputusan yang kuhadapi. Charlie telah mengatakan dengan jelas bahwa ia mengharapkan Howard dan aku mengusulkan laju pertumbuhan sekurang-kurangnya 17 persen per tahun. Prediksi seperti apa yang akan kubuat?

Tiba-tiba datanglah suatu pemikiran yang menenangkan jiwaku. Mengapa hal itu tidak terjadi padaku sebelumnya? Keputusan itu bukanlah sama sekali. Howard telah mengatakan bahwa ia akan melakukan apa yang dianggapnya benar, terlepas dari kesimpulanku. Aku dapat menyenangkan bosku dengan suatu prediksi ekonomi yang tinggi dan ia akan membuat keputusannya sendiri; pekerjaanku tidak akan mempunyai pengaruh atas rencana induk. Orang-orang terus menekankan pentingnya peranku, tetapi mereka salah. Suatu beban besar telah lepas. Aku tertidur nyenyak.

Beberapa hari kemudian, Howard jatuh sakit karena infeksi amuba yang parah. Kami cepat-cepat membawanya ke sebuah rumah sakit misionaris Katolik. Dokter menuliskan resep dan sangat menganjurkan agar ia segera kembali ke Amerika Serikat. Howard meyakinkan kami bahwa ia telah mempunyai semua data yang ia perlukan dan dapat dengan mudah menyelesaikan prediksi beban listriknya dari Boston. Kata-kata perpisahannya kepadaku adalah pengulangan dari peringatannya sebelumnya.


"Tidak perlu memanipulasi angka," ia berkata. "Aku tidak ingin ambil bagian dalam penipuan itu, tidak peduli apa pun yang kau katakan tentang keajaiban pertumbuhan ekonomi itu!"

 

Sumber: Confessions of Economic Hitman, 2004