Dinamika Masyarakat Islam di Aceh Setelah Kedatangan Snouck Hurgronje

 
Dinamika Masyarakat Islam di Aceh Setelah Kedatangan Snouck Hurgronje
Sumber Gambar: GoodNews, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni. ID, Jakarta – Bagi masyarakat Aceh, mengenang perang selama beberapa puluh tahun dengan Belanda, selalu diiringi dengan kisah “Snouck”. Demikian orang Aceh memanggil, penasehat politik Hindia Belanda tersebut. Bahkan karena begitu membenci Snouck, orang tua sering menasihati anak-anak mereka, supaya tidak seperti si Snouck. Rasa perlawanan orang Aceh terhadap Belanda memang bukan hanya karena persoalan membenci penjajah, tetapi juga orang Belanda dianggap sebagai kafir, yang darahnya dihalalkan.

Menurut Azumardi Azra dalam bukunya, Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara pada 1871 perjanjian Belanda dan Inggris direvisi. Hasilnya tersebut membebaskan Belanda dari janji mereka untuk tidak memperluas kekuasaan terhadap Aceh. Namun pada saat itu Aceh sedang dipimpin oleh Tuanku Ibrahim (1838-1870) yang bergelar Sultan ‘Ali’ Ala Al-Din Manshur Syah. Di tangan Sultan Ibrahim, Kesultanan Aceh kembali menjadi kekuatan nyata yang berupaya menegakan otoritasnnya atas seluruh kawasan utara Sumatra. Perang Aceh merupakan perang Kolonial yang paling lama yaitu berlangsung dari tahun 1873-1917. Semangat juang dan kegagah keberanian rakyat Aceh yang demikian hebat merupakan tantangan berat bagi Belanda. Sehingga mereka mengutus Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje untuk meneliti rakyat Aceh.

Setelah kedatangannya di Aceh, Snouck Hurgronje mulai meneliti dan memahami Aceh. Di dalam bukunya De Atcjehers, dia mengupas secara komprehensif “connection between different social institution in real life” sebagai sebuah upaya untuk memahami gagasan dan nilai-nilai yang terkandung di dalam kehidupan rakyat Aceh. Dengan demikian, salah satu dampak dari penelitian Snouck adalah untuk menegaskan kajian Orientalis sebagai pihak kolonialis yang ingin melanjutkan teori-teori yang ada di Eropa.

Maka, mulai tahun 1891 sampai 1906 Snouck dipilih sebagai penasihat utama pemerintah Kolonial dalam masalah Islam dan masalah-masalah penduduk asli Indonesia. Berkat jasanya tersebut politik pemerintah Hindia Belanda lebih didasarkan atas fakta-fakta daripada sikap apriori dan rasa takut atau curiga saja. Atas nasihatnya politik pemerintah Hindia Belanda membedakan Islam menjadi dua. Pertama, Islam sebagai ajaran agama yaitu, selama umat Islam menganutnya sebagai agama, mereka harus diberi kebebasan. Sedangkan yang kedua, Islam sebagai ajaran politik yaitu menurut Snouck pemerintah Belanda tidak boleh tanggung-tanggung dalam memberantasnya, politik ini didasarkan atas dasar prinsip netralitas agama yang berakar pada liberalisme dan humanitarisme. Oleh karena itu, Snouck menganggap Islam hanya dapat menerima kekuasaan asing secara terpaksa.

Selain itu Snouck turut menekankan bahwasanya rakyat Aceh juga merupakan manusia sama seperti manusia pada umumnya yang tidak hanya setia kepada agama semata, melainkan tradisi, adat atau hukum adat juga turut memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan orang Aceh, lebih lanjut ia mengatakan bahwa Islam di Aceh dan Nusantara berbeda dengan yang ada di Timur Tengah, di mana Islam untuk masuk ke wilayah ini akan mengalami penyesuaian agar mampu beradaptasi dengan baik dalam lingkungan sosial, kebiasaan dan adat istiadat. Sehingga hukum Islam yang ketat menjadi sedikit longgar karena masuknya hukum adat.

Dengan demikian sebesar apapun kekuasaan yang dimiliki dan dijalankan oleh hakim-hakim dan guru-guru agama yang independen, maka dalam urusan duniawi termasuk politik seluruh rakyat Nusantara termasuk Aceh akan tunduk pada otoritas politik tradisonal, terkait dengan hal itu maka Snouck menyarankan agar Pemerintah Kolonial memberikan pendidikan yang layak kepada masyarakat di Nusantara agar lambat laun para warga pribumi tersebut menyesuaikan diri dengan budaya barat dan meninggalkan budaya Islam. Kebijakan ini umum dikenal dengan nama “Politik Asosiasi”. Hal ini berhasil diterapkan di Jawa, namun di Aceh masih mengalami ketegangan karena rakyat Aceh menganggap ajaran yang diterpakan merupakan ajaran kafir dan tidak boleh diikuti karena menggunakan pengantar bahasa Belanda, hal ini kemudian memicu kembali konflik bersenjata antara rakyat Aceh dan Pemerintah Kolonial.

Pada akhirnya Snouck menekankan bahwa tidak ada satupun yang dapat meredakan perlawanan yang fanatik dari kaum ulama. Jadi mereka harus ditumpas habis dan pemerintah Belanda harus mengandalkan dan bekerjasama dengan Uleebalang (yang dilihat sebagai pimpinan adat sekuler) agar mampu meruntuhkan dan menguasai Aceh. Sekitar tahun 1903 dibentuklah suatu pemerintahan yang benar-benar stabil, yang didasarkan pada persekutuan antara para Uleebalang yang bersedia bekerja sama dengan pihak Kolonial Belanda. Pada tahun 1903 Tuanku Daud Syah menyerah, namun tetap menjalin hubungan dengan gerilyawan. Kemudian pada 3 Januari 1904, tepatnya setelah 31 tahun perang Aceh melawan Belanda dengan ditakhlukannya Aceh menurut pihak Belanda membuat nasihat yang diberikan oleh Snouck jauh lebih bersifat halus dan manusiawi dengan tujuan mengambih hati rakyat Aceh. Walapun begitu tetap saja masih terdapat segelintir rakyat Aceh yang gigih melakukan perlawanan.

Pada tahun 1905 Tuanku Daud Syah mencoba kembali untuk melakukan perlawanan dengan cara menghubungi dan meminta bantuan kepada konsul Jepang di Singapura, kemudian pada 1907 melakukan serangan namun gagal, dan pada akhirnya diasingkan. Pemimpin militer terakhir Panglima Polem Muhammad Daud (1879-1940) juga menyerah pada 1903 dan menjadi pejabat penting di bawah pemerintah Belanda. Kapan perang Aceh usai memang merupakan masalah pendapat. Namun beberapa orang Aceh berpendapat bahwa perang tersebut tidak pernah berakhir hingga rakyat Aceh berhasil meraih kembali kebebasan dan kekuasaan yang dimilikinya. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 14 September 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.
__________________
Editor: Kholaf Al Muntadar