Mengenal Lebih Dekat Sosok KH Miftachul Akhyar, Rais Aam PBNU

 
Mengenal Lebih Dekat Sosok KH Miftachul Akhyar, Rais Aam PBNU

LADUNI.ID, Jakarta - Di kalangan NU, KH Miftachul Akhyar tentu saja bukan nama baru. Kalangan Nahdliyin dan kalangan pesantren Jawa Timur terutama. Ia lahir dan besar dari tradisi dan melakukan pengabdian di NU sejak usia muda. Tak salah jika kemudian KH Miftachul Akhyar saat ini telah mengemban puncak kepemimpinan NU, sebagai Pejabat Rais Aam.  

Kiai Miftah, begitu sapaannya, adalah Pengasuh Pondok Pesantren Miftachus Sunnah Surabaya. Ia adalah putra Pengasuh Pondok Pesantren Tahsinul Akhlaq Rangkah KH Abdul Ghoni. Ia lahir tahun 1953, anak kesembilan dari 13 bersaudara. 

Dalam perjalanannya, Kiai Miftah pernah menjabat sebagai Rais Syuriyah PCNU Surabaya 2000-2005, Rais Syuriyah PWNU Jawa Timur 2007-2013, 2013-2018 dan Wakil Rais Aam PBNU 2015-2020 yang selanjutnya didaulat sebagai Pj. Rais Aam PBNU 2018-2020, di Gedung PBNU, Sabtu (22/9).

Dalam catatan PW LTNNU Jatim Ahmad Karomi, genealogi keilmuan KH Miftachul Akhyar tidak diragukan lagi. Ia tercatat pernah nyantri di Pondok Pesantren Tambak Beras, Pondok Pesantren Sidogiri (Jawa Timur), Pondok Pesantren Lasem Jawa Tengah, dan mengikuti Majelis Ta'lim Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Makki Al- Maliki di Malang, tepatnya ketika Sayyid Muhammad masih mengajar di Indonesia.

Ahmad Karomi juga mencatat, penguasaan ilmu agama KH Miftachul Akhyar ini membuat kagum Syekh Masduki Lasem sehingga ia diambil menantu oleh oleh kiai yang terhitung sebagai mutakharrijin (alumnus) istimewa di Pondok Pesantren Tremas.

Lebih dari pada itu, KH Miftachul Akhyar mendirikan  Pondok Miftachus Sunnah di Kedung Tarukan mulai dari nol. Awalnya ia hanya berniat mendiami rumah sang kakek, tetapi setelah melihat fenomena pentingnya "nilai religius" di tengah masyarakat setempat, maka mulailah beliau membuka pengajian. Karena apa?

“Konon, kampung Kedung Tarukan terkenal sejak lama menjadi daerah yang tidak ramah pada dakwah para ulama. Namun berkat akhlak dan ketinggian ilmu yang dimiliki KH Miftachul Akhyar, beliau berhasil mengubah kesan negatif itu sehingga kampung yang "gelap" menjadi "terang dan sejuk" seperti saat ini dalam waktu yang relatif singkat,” kata Karomi dalam catatannya. 

KH. Miftachul Akhyar adalah sosok sederhana. Menurut Karomi, kesederhanaan itu terekam dengan jelas adalah bentuk penghormatan terhadap tamu. Kiai Miftah tidak segan-segan menuangkan wedang dan menyajikan cemilan kepada tamunya.  “Akhlak ini beliau dapat dari ayahandanya, KH Abdul Ghoni,” lanjut Karomi. 

Oleh karena itu, Karomi kemudian mengutip penuturan Gus Tajul Mafakhir, bahwa ayah KH Miftachul Akhyar  merupakan karib KH M. Usman al-Ishaqi Sawahpulo saat sama-sama nyantri kepada Kiai Romli di Rejoso, Jombang. Terlebih lagi saat sang ayah nyantri kepada Kiai Dahlan Ahyad Kebondalem sang pendiri MIAI dan Taswirul Afkar.

“Tepatlah kiranya pepatah mengatakan: "buah jatuh tidak jauh dari pohonnya". KH Abd Ghoni dalam pandangan Abah Thoyib Krian merupakan salah satu kiai ampuh yang ditutupi oleh keindahan akhlak. Acapkali KH Abd Ghoni mengadukkan wedang, menyuguhkan dan mempersilahkan kepada tamunya. Nah, "lelaku sae" inilah yang oleh KH Miftachul Akhyar tetap dilestarikan,” jelas Karomi dalam tulisannya. (Sumber: NU Online)