Tarekat Naqsyabandiah #13: Ini Syarat Mursyid Menurut Kitab Tanwirul Qulub

 
Tarekat Naqsyabandiah #13: Ini Syarat Mursyid Menurut Kitab Tanwirul Qulub

LADUNI.ID, TASAWUF- Pembahasan sebelumnya telah diuraikan syarat mursyid dalam kitab Tanwirul Qulub, Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi, ada 24 syarat, sekarang kita sambung pembahasannya yang selanjutnya (syarat ke-13 hingga seterusnya):

 

  1. Jika salah seorang muridnya ada yang bermimpi sesuatu, atau mengalami mukâsyafah atau musyâhadah, maka hendaknya sang mursyid tidak membicarakannya dengan murid tersebut, namun memberinya amalan yang bisa melindungi dirinya dari keburukan mimpi tersebut, dan bisa mengangkat derajatnya menjadi lebih luhur dan mulia. Karena jika mursyid membicarakan dan menjelaskan hal tersebut kepada muridnya, maka sang mursyid telah melanggar hak murid, sehingga menjadikan murid melihat dirinya memiliki derajat yang luhur, dan bisa menjatuhkan derajat diri murid sendiri.
  2. Melarang muridnya untuk tidak berbicara dengan orang yang tidak termasuk kawan suluknya, kecuali sangat penting. Juga melarang muridnya untuk tidak membicarakan dengan sesama kawan suluknya tentang kemuliaan-kemuliaan yang mereka peroleh. Karena jika mursyid membiarkan hal tersebut, maka sang mursyid telah melanggar hak murid sehingga menjadikan mereka takabbur.
  3. Membuat tempat khalwat untuk digunakan sâlik menyendiri di dalamnya, yang sekiranya tidak ada yang bisa masuk ke dalamnya kecuali orang-orang tertentu. Dan tempat khalwat lain untuk dijadikan tempat berkumpulnya murid dengan para murid suluk lainnya.
  4. Tidak memperlihatkan aktifitas-aktifitas dan rahasia-rahasia sang mursyid kepada muridnya, tidak pula tidur, makan, dan minum di depan muridnya. Karena dengan hal itu, bisa jadi kemuliaan sang mursyid menjadi berkurang di mata murid yang masih lemah dalam memahami orang-orang yang telah mencapai kesempurnaan. Dan hendaknya, mursyid menahan muridnya yang bertindak memata-matai, dengan tujuan agar murid memperoleh kebaikan.
  5. Tidak memperkenankan murid untuk banyak makan sehingga meng-hancurkan segala sesuatu yang telah dilakukan oleh sang mursyid bagi muridnya, karena kebanyakan manusia menuruti keinginan perutnya.
  6. Melarang teman-teman mursyid untuk duduk bersama dengan mursyid yang lain, karena hal ini sangat membahayakan bagi murid. Namun, jika mursyid berkeyakinan bahwa muridnya memiliki keteguhan cinta kepada dirinya dan tidak khawatir hati muridnya goncang, maka hal ini tidak apa-apa.
  7. Menjaga diri untuk tidak mondar-mandir mendatangi para pemimpin dan pejabat, agar para muridnya tidak menirunya, sehingga sang mursyid menanggung dosa dirinya dan dosa murid-muridnya, karena ini termasuk dalam Hadis: مَنْ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا . رواه مسلم والترمذي “Barangsiapa melakukan tradisi yang buruk, maka dia menanggung dosanya dan dosa orang-orang yang melakukannya”.

Pada umumnya, orang yang dekat dengan para pemimpin dan pejabat, sulit baginya untuk mengingkari perbuatan munkar yang dilakukan oleh para pemimpin dan pejabat yang dilihatnya. Jika sudah demikian, dengan sering berkecimpungnya mursyid dengan mereka, seakan-akan dia menyetujui terhadap kemunkaran (yang mereka lakukan).

  1. Ucapannya kepada murid-muridnya harus lemah lembut, menjaga diri dari perkataan kotor dan perkataan yang mencela mereka, agar hati mereka tidak lari darinya.
  2. Ketika salah seorang murid memanggilnya, lalu sang mursyid menjawabnya, maka sebaiknya jawaban sang mursyid itu tetap menjaga kehormatan dan kewibawaannya.
  3. Jika sang mursyid duduk di antara murid-muridnya, maka hendaknya dia duduk dengan tenang penuh wibawa, tidak banyak menoleh pada mereka, tidak tidur di depan mereka, tidak menjulurkan kaki, menundukkan pandangan, melirihkan suara, dan tidak merendahkan etikanya pada mereka. Pada hakikatnya para murid itu meyakini terhadap semua sifat yang terpuji, dan mengambilnya (sebagai contoh).
  4. Jika seorang murid mendatanginya, maka mursyid tidak berwajah muram. Dan ketika hendak mengakhiri (perbincangannya dengan murid), hendaknya sang mursyid mendoakannya tanpa permintaan dari murid. Dan ketika mursyid mendatangi salah seorang muridnya, maka mursyid harus dalam keadaan dan kondisi yang paling sempurna.
  5. Ketika salah seorang muridnya tidak ada, maka mursyid mencarinya dan mencari tahu apa penyebabnya. Jika murid itu sakit, mursyid menjenguknya. Jika murid itu sedang membutuhkan bantuan, maka sang mursyid menolongnya. Jika murid itu memiliki masalah, maka mursyid mendo’akannya.

Secara global, satu kalimat yang menyimpulkan seluruh etika mursyid di atas adalah mursyid harus mengikuti prilaku Rasulullah SAW yang ada pada diri sahabat-sahabat beliau SAW dengan sekuat tenaga, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 525).

 

***Helmi Abu Bakar El-Langkawi, Penggiat Liaterasi dan Pecinta Tasawuf Asal Dayah MUDI Masjid Raya Samalanga, Aceh.  Sumber: alif.id