Pro dan Kontra Teknologi Reproduksi Buatan dari Sperma Orang yang Sudah Meninggal

 
Pro dan Kontra Teknologi Reproduksi Buatan dari Sperma Orang yang Sudah Meninggal

LADUNI.ID, Queensland - Saat ini di Australia ada sejumlah kasus hukum terkait masalah mengekstraksi sperma dari pria yang sudah meninggal. Perdebatannya, apakah sah secara hukum mengambil sperma untuk diberikan kepada pasangan almarhum sehingga suatu saat kelak bisa melakukan program bayi tabung. Meskipun kasusnya berbeda-beda, semuanya menampilkan pertimbangan hukum dan etika yang tak sederhana.

Di era teknologi reproduksi buatan, mengekstraksi sperma dari pria yang sudah meninggal bukan lagi hal mustahil. Bahkan sudah seringkali dilakukan, dua tahun terakhir seorang pengacara di Toowoomba, Australia, David Riwoe, mendampingi dua klien yang ingin mengekstrak sperma pasangan mereka yang sudah meninggal dunia.

"Luar biasa juga kalau dipikir Toowoomba, kota kecil di Queensland, memiliki dua kasus seperti ini," kata Riwoe kepada Program Radio Nasional ABC.

Kasus pertama pada April 2016, Riwoe mendampingi Leith Patteson, yang pasangannya Tony Deane meninggal bunuh diri.

Leith berhasil mendapatkan penetapan pengadilan untuk mengekstraksi sperma Tony dua jam setelah pasangannya ini meninggal.

Kasus kedua pada Agustus 2016, Riwoe dihubungi klien bernama Ayla Cresswell, yang pasangannya Joshua Davies juga meninggal karena bunuh diri.

Menurut Riwoe, Ayla ingin mengajukan penetapan pengadilan agar bisa mengekstraksi sperma Joshua untuk tujuan bayi tabung di masa depan.

Salah satu syarat mendapatkan penetapan pengadilan semacam ini di Australia yaitu harus ada bukti almarhum memang ingin memiliki anak.

Sebagai pengacara Riwoe pun mengumpulkan berbagai dokumen yang diperlukan.

"Mereka menjalani hubungan dan pasti membicarakan keinginan memiliki anak. Mereka sudah merencanakannya," kata Riwoe.

Masalahnya, proses ekstraksi sperma dari mayat itu harus dilakukan tak lama setelah meninggal dunia. Sehingga, pengadilan pun harus bersidang pukul 4:30 pagi.

"Idealnya operasi dilakukan 24 jam setelah kematian," ujar Riwoe.

Ayla akhirnya mendapatkan penetapan pengadilan untuk mengekstrak dan menyimpan sperma Joshua.

Prosedur

Howard Smith, direktur medis pada Westmead Fertility Centre di Sydney, mengatakan dia telah melakukan prosedur ekstraksi sperma dari orang mati sekitar 10 kali.

Prosesnya menggunakan jarum untuk mengisap sperma dari epididimis yaitu tabung kecil di luar testis, atau langsung dari testis.

"Sebaiknya sperma diambil sesegera mungkin, meskipun disebutkan bahwa sperma dapat bertahan hidup selama 36 jam," jelas Dr Smith.

Langkah selanjutnya adalah mendapatkan izin mentransfer sperma yang disimpan itu dan menggunakannya untuk tujuan bayi tabung.

Dalam kasus Ayla Cresswel, dia juga sudah mendapatkan keputusan untuk bisa melakukan itu.

Namun bagi sebagian anggota keluarga, mengekstraksi sperma dari mayat tidak selalu mendapat dukungan.

Meski Leith Patteson mendapat izin pengadilan misalnya, namun orangtua pasangannya Tony Deane sangat menentang tindak itu.

"Saya percaya Tony tak menginginkan anak yang dilahirkan ke dunia jika dia tak berada di sana untuk membesarkannya," kata ibu Tony, Gaye Deane.

Persoalan hak-hak anak (yang belum lahir) itu juga memicu masalah etika.

Menurut Prof Cameron Stewart, ahli hukum medis di University of Sydney, hukum terkait pengambilan sperma orang meninggal berbeda di seluruh Australia.

Berbeda dengan Queensland, negara bagian New South Wales (NSW) memiliki UU yang mengatur teknologi reproduksi buatan. Di situ diatur perlunya persetujuan tertulis dari donor sperma.

Prof Stewart mengatakan sebuah kasus hukum pasangan muda Joel dan Yoshiko Chapman menjadi contoh rumitnya situasi hukum di NSW.

"Mereka telah menikah beberapa tahun, dan mempertimbangkan membangun keluarga," kata Prof Stewart.

Tapi pada bulan Maret tahun ini, Joel menjalani operasi darurat karena masalah kesehatan otaknya.

"Sayangnya saat operasi itu dia menderita stroke dan menghancurkan kapasitas otaknya. Dia pun dinyatakan mati otak," katanya.

Hari itu juga Yoshiko membuat permintaan untuk mengekstrak sperma dari tubuh suaminya.

Permintaan itu disetujui. Belakangan ketika dia mencoba mendapatkan sperma yang disimpan itu, kasusnya jadi lebih rumit.

Menurut hakim yang mengadili kasus ini, tidak ada persetujuan tertulis dari Joel sehingga tak ada dasar hukum yang kuat untuk itu.

Akibatnya, Yoshiko tidak bisa menggunakan sperma almarhum suaminya itu untuk menjalani program bayi tabung.

Kini Yoshiko harus mentransfer sperma Joel itu ke klinik kesuburan di negara bagian lainnya yang tidak mensyaratkan persetujuan tertulis dari donor sperma.

 

Sumber: https://www.abc.net.