Konservatisme dan Intoleransi

 
Konservatisme dan Intoleransi


LADUNI,ID, KOLOM- Konservatisme sebenarnya tak perlu dikhawatirkan. Konservatisme adalah gejala biasa yang muncul ketika spiritualitas mulai mengering. Naik hajinya Soeharto adalah salah satu bentuk konservatisme yang terjadi pada orang yang berkuasa yang semakin menua dan mengalami kekeringan spiritualitas yang akut. Yang perlu dikhawatirkan adalah munculnya intoleransi agama, suku/ras dan ideologi kelompok.

Sidney Jones, dalam sebuah pidato kebudayaan disampaikan pada acara bergengsi Nurcholish Madjid Memorial Lecture (NMML) di Aula Nurcholish Madjid, Kampus Universitas Paramadina, Jakarta, 19 Desember 2013 berjudul “Sisi Gelap Reformasi di Indonesia: Munculnya Kelompok Masyarakat Madani Intoleran” ternyata jauh lebih mengerikan.

 Temuan Sidney Jones yang sangat mengejutkan itu berawal dari penelitiannya tentang terorisme, ketika ia mulai menemukan lebih banyak kasus para pemuda yang awalnya aktif terlibat dalam kampanye anti-maksiat kemudian beralih ke bentuk yang lebih ekstrem, yaitu aksi-aksi kekerasan dan persekusi sepihak.

Mereka memulainya dengan gerakan amar makruf nahi munkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran) atas nama menjaga moralitas umat serta menjaga Islam dari hal-hal yang diangap menyimpang, namun belakangan mereka beralih menggunakan bom.

Intoleransi kalangan Islam pasca-reformasi ini muncul di kalangan masyarakat madani yang geram melihat perkembangan dunia material yang semakin hedon, kriminal dan sekuler. Contohnya apa yang terjadi di Cirebon, di mana sebagian orang yang membantu merencanakan pemboman Masjid adz-Dzikir awalnya adalah anggota dari dua kelompok masyarakat madani garis-keras terkemuka: Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI) dan Gerakan Anti Pemurtadan & Aliran Sesat (GAPAS).

Keduanya dipimpin seorang ulama yang juga pengurus MUI (Majelis Ulama Indonesia) setempat dan mengajar di STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) Cirebon. Posisi MUI dan lembaga pendidikan negeri ini adalah posisi tradisional yang sudah lama diokupasi oleh —meminjam konsep Antonio Gramsci (1976)—‘intelektual organik’ kalangan Islam di Cirebon. Mereka adalah masyarakat madani yang quasi negara. Kedua kelompok ini bertanggungjawab atas serangkaian aksi kekerasan terhadap kelompok minoritas dan tempat-tempat maksiat.

***Al Chaidar Antropologi, Universitas Malikussaleh Lhokseumawe, Aceh