Habib Hasyim, Tokoh di Balik Lahirnya Nahdlatul Ulama

 
Habib Hasyim, Tokoh di Balik Lahirnya Nahdlatul Ulama

LADUNI.ID, Aswaja --  Manaqib Habib Hasyim Kakek Habib Luthfi Bin Yahya, Tokoh di Balik Lahirnya Nahdlatul Ulama 

Habib Hasyim bin Umar Bin Yahya merupakan kakek dari Habib Luthfi Bin Yahya Pekalongan, yakni Habib Luthfi bin Ali bin Hasyim Bin Yahya. Habib Hasyim adalah perintis dakwah serta pendiri pesantren dan madrasah diniyah pertama di Kota Pekalongan. Pondok pesantren tersebut didirikan untuk masyarakat umum yang santrinya tidak hanya dari kalangan habaib.

Habib Hasyim dan para ulama merintis dakwah melalui acara Maulid Nabi Saw. Maulid Nabi melahirkan para pencinta (muhibbin), cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Seseorang yang tumbuh kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya, maka akan cinta kepada al-Qur'an dan akan lebih berpegang teguh kepada Kitabullah dan sunnah Rasulullah.

Maulid Nabi yang diselenggarakan oleh Habib Hasyim bertempat di Masjid an-Nur Kota Pekalongan. Habib Hasyim dalam mengadakan Maulid Nabi tidak pernah memungut bantuan dari manapun. Karena kekayaan Habib Hasyim cukup dicurahkan untuk dunia pendidikan dan dakwahnya. Penghasilan Habib Hasyim berupa pertanian yang cukup luas di Indramayu, tempat kelahirannya, disamping bisnis lainnya.

Perkembangan Maulid Nabi dari tahun itulah mulai ramai di Kota Pekalongan dan semakin pesat sehingga tidak terlepas dari kecurigaan penjajah. Para penjajah memandang maulid tersebut tidak bertendensi politik. Pengaruh Habib Hasyim waktu itu sangat besar. Banyak ulama yang menjadikan beliau sebagai rujukan, diantaranya Hadhratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari, Kiai Amir Simbangkulon dan tokoh-tokoh lainnya yang terkenal sangat mendalam ilmu agamanya. Bahkan Kiai Amir mengatakan, “Habib Hasyim itu ‘allamatuddunya fi zamanih (sealim-alimnya orang di dunia pada zamannya).” Sehingga pihak penjajah pun sangat berhati-hati dalam menghadapi dan menakuti Habib Hasyim.

Metode Habib Hasyim dalam mendidik para putra-putri dan juga santrinya dengan tidak memberi umpan atau ikan. Tetapi dengan selalu memberi kailnya sehingga para murid dan putra-putrinya menjadi orang yang militan. Habib Hasyim sebelum membangun pesantren tidak pernah berhenti berdakwah masuk dari satu desa ke desa lainnya. Beberapa surau dibangun oleh Habib Hasyim di Pekalongan. Semenjak mudanya harta, benda dan tenaga Habib Hasyim dicurahkan untuk kepentingan agama.

Kekompakan Habib Hasyim bin Yahya dengan Habib Ahmad Alattas Pekalongan

Dua ulama ‘arif billah ini hidup satu masa dan bertempat di lokasi yang tidak berjauhan; sama-sama tinggal di Pekalongan. Dikisahkan saking kompaknya, ketika Habib Hasyim hendak melakukan satu kegiatan atau satu rencana Habib Hasyim selalu meminta ijin dan saran dari Habib Ahmad bin Thalib Alattas. Pun demikian sebaliknya jika belum meminta restu dari Habib Hasyim, Habib Ahmad Alattas tidak akan berani melangkah.

Kalau Habib Hasyim sudah datang ke tempat Maulid Nabi, sementara Habib Ahmad bin Thalib belum datang maka Habib Hasyim menangguhkan acara sampai datangnya Habib Ahmad. Begitu juga dengan Habib Ahmad, jika beliau datang pertama sementara Habib Hasyim belum datang, beliau urung untuk memulai.

Kekompakan keduanya terlihat ketika seorang habib asal Hadhramaut hendak pamitan pada keduanya. Dikisahkan, pada permulaan abad 20-an Habib Muhammad Ali Muhsin datang dari Hadhramaut ke Indonesia, tepatnya Kota Pekalongan. Setelah tinggal di Indonesia sang habib merasa tidak kerasan. Ketika hendak pamitan, beliau merasa kebingungan mana yang pertama didatangi, Habib Ahmad bin Thalib Alattas ataukah Habib Hasyim bin Umar Bin Yahya. “Habib Ahmad atau Habib Hasyim,” terus saja sambil jalan berfikir demikian.

Ketika beliau datang ke rumah Habib Ahmad, Habib Muhsin belum sempat bicara Habib Ahmad sudah berseloroh, “Ya Muhsin ila Habib Hasyim bin Umar awwalan” (Hai Muhsin pamitan ke Habib Hasyim dulu).

Langsung saja beliau datang ke Habib Hasyim. Ketika berpamitan ke Habib Hasyim, Habib Hasyim mengatakan, “Kuburanmu di sini, dan di sini kotamu. Nanti kamu yang menggantikan kami semua.”

Habib Muhsin datang ke Habib Ahmad, Habib Ahmad berkata, “Apa yang dikatakan Habib Hasyim adalah perkataanku.”

Kemudian hari terbukti, ketika Habib Ahmad wafat Habib Muhsin yang menggantikan Habib Ahmad mengajar di Salafiyah bersama Habib Muhammad Abdurrahman. Ketika Habib Hasyim wafat yang menggantikan menjadi imam Masjid An-Nur adalah Habib Muhsin.

Maka dari itu Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Alattas dengan Habib Hasyim bin Yahya tidak bisa terpisahkan. Kalau ada tamu ke Habib Hasyim, pasti disuruh sowan (menghadap) dulu kepada yang lebih sepuh yakni Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Alattas. Dan jika tamu tersebut sampai ke Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib maka akan ditanya, “Kamu suka atau tidak kepada adikku Habib Hasyim bin Umar?” dengan maksud agar sowannya ke Habib Hasyim saja. Itulah ulama memberikan contoh kepada kita tidak perlunya saling berebut dan sikut, tapi selalu kompak dan rukun.

Habib Hasyim bin Yahya Tokoh di Balik Berdirinya NU

Riwayat berikut diceritakan langsung dari Habib Luthfi bin Yahya, dulu saya sering duduk di rumahnya Kiai Abdul Fattah, untuk mengaji. Di situ ada seorang wali, namanya Kiai Irfan Kertijayan. Kiai Irfan adalah sosok yang hafal keseluruhan kitab Ihya Ulumuddin, karena kecintaannya yang mendalam pada kitab tersebut. Setiap kali ketemu saya beliau pasti memandangiku lalu menangis. Di situ ada Kiai Abdul Fattah dan Kiai Abdul Adzim.

Lama-kelamaan akhirnya beliau bertanya, “Bib, saya mau bertanya. Cara dan gaya berpakaian Anda kok sukanya sarung putih, baju dan kopyah putih, persis guru saya.”

“Siapa Kiai?” jawabku.

“Habib Hasyim bin Umar,” jawab Kiai Irfan.

Saya mau mengaku cucunya tapi kok masih seperti ini, belum menjadi orang yang baik, batinku dalam hati. Mau mengingkari/berbohong tapi kenyataannya memang benar saya adalah cucunya Habib Hasyim. Akhirnya Kiai Abdul Adzim dan Kiai Abdul Fattah yang menjawab, “Lha beliau itu cucunya.”

Lalu Kiai Irfan merangkul dan menciumiku sembari menangis hebat saking gembiranya. Kemudian beliau berkata, “Mumpung saya masih hidup, saya mau cerita, Bib. Tolong ditulis.”

“Cerita apa Kiai?” jawabku.

“Begini,” kata Kiai Irfan mengawali ceritanya.

Mbah Kiai Hasyim Asy’ari setelah beristikharah, bertanya kepada Kiai Kholil Bangkalan. Bermula dengan mendirikan Nahdlatut Tujjar dan Nahdlah-nahdlah yang lainnya, beliau merasa kebingungan. Hingga akhirnya beliau ke Mekkah untuk beristikharah kembali di Masjidil Haram. Di sana kemudian beliau mendapat penjelasan dari Kiai Mahfudz at-Turmusi dan Syekh Ahmad Nahrawi, ulama Jawa yang sangat alim. Kitab-kitab di Mekkah kalau belum ditahqiq atau ditandatangani oleh Kiai Ahmad Nahrawi maka kitab tersebut tidak akan berani dicetak. Itu pada masa Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, mufti Mekkah pada waktu itu.

Syaikh Mahfudz at-Turmusi dan Syekh Ahmad Nahrawi dawuh kepada Kiai Hasyim Asy’ari, “Kamu pulang saja. Ini alamat/pertanda NU bisa berdiri hanya dengan dua orang. Pertama Habib Hasyim bin Umar bin Yahya Pekalongan, dan kedua Kiai Ahmad Kholil Bangkalan (Madura).”

Maka Kiai Hasyim Asy’ari pun segera bergegas untuk pamit pulang kembali ke Indonesia. Beliau bersama Kiai Asnawi Kudus, Kiai Yasin dan para kiai lainnya langsung menuju ke Simbangkulon Pekalongan untuk bertemu Kiai Muhammad Amir dengan diantar oleh Kiai Irfan dan kemudian langsung diajak bersama menuju kediaman Habib Hasyim bin Umar.

Baru saja sampai di kediaman Habib Hasyim langsung berkata, “Saya ridha. Segeralah buatkan wadah Ahlussunnah wal Jamaah. Ya Kiai Hasyim, dirikan, namanya sesuai dengan apa yang diangan-angankan olehmu, Nahdlatul Ulama. Tapi tolong, namaku jangan ditulis.” Jawaban terakhir ini karena wujud ketawadukan Habib Hasyim.

Kemudian Kiai Hasyim Asy’ari meminta balagh (penyampaian ilmu) kepada Habib Hasyim, “Bib, saya ikut ngaji bab hadits di sini. Sebab Panjenengan punya sanad-sanad yang luar biasa.” Makanya Kiai Hasyim Asy’ari tiap Kamis Wage pasti di Pekalongan bersama Sultan Hamengkubuwono IX yang waktu itu bernama Darojatun, mengaji bersama. Jadi Sultan Hamengkubowono IX itu bukan orang bodoh, beliau orang yang alim dan ahli thariqah.

Setelah dari Pekalongan Kiai Hasyim Asy’ari menuju ke Bangkalan Madura untuk bertemu Kiai Ahmad Kholil Bangkalan. Namun baru saja Kiai Hasyim Asy’ari tiba di halaman depan rumah Kiai Kholil sudah mencegatnya seraya dawuh, “Keputusanku sama seperti Habib Hasyim!”

Lha, ini dua orang kok bisa kontak-kontakan, padahal Pekalongan-Madura dan waktu itu belum ada handphone. Inilah hebatnya. Akhirnya berdirilah Nahdlatul Ulama.

Dan Muktamar NU ke-5 ditempatkan di Pekalongan sebab hormat kepada Habib Hasyim bin Umar. Jadi jika dikatakan Habib Luthfi bin Yahya kenceng (fanatik) kepada NU, karena merasa punya tanggungjawab kepada Nahdlatul Ulama dan semua habaib. Dan ternyata cerita ini disaksikan bukan hanya oleh Kiai Irfan, tapi juga oleh Habib Abdullah Faqih Alattas, ulama yang sangat ahli ilmu fiqih.

Kewafatan Habib Hasyim bin Yahya

Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Alattas wafat tahun 1347 Hijriyah bulan Rajab tanggal 14, dan haulnya dilaksanakan tanggal 14 Sya’ban. Tiga tahun setelahnya, tahun 1350 Hijriyah, Habib Hasyim bin Umar Bin Yahya wafat. Setahun kemudian (1351 H) adalah wafatnya Habib Abdullah bin Muhsin Alattas Bogor. Waktu itu banyak para ulama besar seperti Mbah Kiai Adam Krapyak dan Kiai Ubaidah, merupakan para wali Allah dan samudera keilmuan.

Habib Hasyim wafat dengan meninggalkan masjid, pondok pesantren dan madrasah beserta kitab beberapa lemari dan dua jubahnya. Satu jubah untuk shalat bergantian dan satunya yang dipakai sewaktu meninggal. Pakaian Habib Hasyim yang baru banyak diberikan kepada masyarakat yang tidak mampu.

(Ditulis oleh: Syaroni As-Samfuriy)

Sumber: Ngaji NU & Sejarah Ulama

(srf)