Pergantian Tahun Waktu Yang Tepat Untuk Memperbaiki Diri

 
Pergantian Tahun Waktu Yang Tepat Untuk Memperbaiki Diri
Sumber Gambar: laduni.id

LADUNI.ID, Jakarta - Sudah genap satu tahun kita lewati terhitung dari awal Januari tahun lalu hingga Januari tahun baru ini. Selama kurun waktu tersebut tentu telah banyak yang kita lakukan dan kita alami dengan berbagai situasinya. Saatnya kini kita merenungkan dan kemudian mengevaluasi segala karya kita sebagai bahan untuk memulai aktifitas di tahun baru ini.

Setiap bertemu dengan tahun baru, orang-orang pada umumnya bergembira ria dan bersuka cita. Berbagai acara diselenggarakan sedemikian rupa demi menyambut momen tahunan tersebut, yang notabene tidak lebih dari sekadar perayaan yang penuh dengan hura-hura: hiburan musik, tarian, tiupan trompet, dan sejenisnya. Kecenderungan seperti ini berlangsung tentu bukan hanya di Indonesia, melainkan juga di seluruh dunia.

Memang sah-sah saja orang menyambut tahun baru dengan cara tersebut. Namun, sesungguhnya ada yang lebih penting atau subtansial dari sekadar perayaan seremonial seperti itu, yakni bagaimana menjadikan tahun yang baru lewat itu sebagai momentum untuk melakukan introspeksi diri (muhasabatun nafsi) untuk selanjutnya melakukan perbaikan diri (ishlahun nafsi) di tahun baru.

Di satu sisi, dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan. Baik dalam ranah sosial, budaya, ekonomi, politik, dan keamanan. Terkait yang terakhir, acaman penyebaran doktrinasi intoleran, radikalisme, dan ekstrimisme nampak semakin vulgar di ruang publik dan di media sosial.

Contoh kongkritnya adalah maraknya penyebaran berita bohong (hoax) dan ujaran kebencian (hate speech). Imbasnya adalah mudahnya masyarakat saling buruk sangka dan kurang dewasa dalam menghadapi perbedaan. Jika hal ini tidak disadari bersama, sudah barang tentu, keragaman Indonesia akan mudah dibenturkan.

Dari titik inilah, penting kiranya kita sebagai warga negara untuk introspeksi diri. Apakah sikap dan karya hidup kita selama ini sudah selaras untuk kemajuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), atau sebaliknya, berpotensi merusaknya.

Momentum akhir tahun benar-benar membuat kita sibuk. Belakangan ini kita disibukkan dengan pro dan kontra ucapan selamat Natal berikut hukum menjaga dan menghadiri perayaan di gereja. Sementara debat kusir belum berakhir, kali ini kita kembali dibuat sibuk dengan kontroversi perayaan malam Tahun Baru Masehi. Dalam berbagai pesan berantai di jejaring sosial, beredar informasi bahwa tahun baru masehi merupakan tahun baru orang-orang kafir yang merepresentasikan budaya Barat. Oleh karenanya, perlu kita telusuri sejenak apakah tahun masehi memang identik dengan tahun kafir?

Allah Subhanahu Wa Ta’ala  berfirman:

هُوَ الَّذِيْ جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُوْرًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوْا عَدَدَ السِّنِيْنَ والْحِسَابِ مَا خَلَقَ اللهُ ذَلِكَ إِلَّا بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُوْنَ.

Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun, dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan demikian itu melainkan dengan benar. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. (QS: Yunus 10: 5)

Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa ketentuan Allah Subhanahu Wa Ta’ala  tentang garis edar yang teratur dari bulan dan matahari dimaksudkan agar manusia mengetahui perhitungan tahun. Diantara hikmah peredaran bulan dan matahari yang teratur adalah dapat mengetahui waktu menunaikan shalat, puasa, haji, bekerja, maupun beristirahat. Berbagai kegiatan yang kita lakukan tentunya membutuhkan panduan waktu yang jika ditelusuri bermuara pada konsep peredaran bulan dan matahari.

Peredaran bulan merupakan pedoman pokok dalam penentuan tahun hijriyyah. Dalam disiplin ilmu falak (astronomi) disebut juga tahun qamariyyah (tahun bulan). Penanggalan hijriyyah memiliki tahun kabisat (355 hari) dan tahun basithah (354 hari). Berdasarkan siklus peredaran bulan, setiap 30 tahun terdapat 11 tahun kabisat dan 19 tahun basithah. Secara umum, pergantian hari dalam kalender hijriyyah dimulai dari saat tenggelamnya matahari waktu setempat, dan pergantian bulan dapat diketahui berdasarkan revolusi bulan terhadap bumi yang dibuktikan dengan proses munculnya bulan sabit setelah menghilang. Penanggalan ini bisa dikatakan lebih akurat dalam penentuan waktu ibadah umat Islam, terutama dalam pelaksanaan ibadah puasa dan haji.

Sedangkan peredaran matahari menjadi pedoman pokok dalam penentuan tahun masehi, yang juga memiliki istilah lain yakni tahun miladiyyah yang semakna dengan masehi dan tahun syamsiyah (tahun matahari). Penanggalan masehi juga memiliki tahun kabisat (366 hari) dan tahun basithah (365 hari). Berdasarkan siklus revolusi bumi terhadap matahari, tahun kabisat terjadi setiap empat tahun sekali. Pergantian hari dalam penanggalan syamsiyah dimulai pada pukul 00.00 waktu setempat. Peredaran matahari juga berpengaruh terhadap perubahan musim di berbagai negara, sehingga dalam musim tertentu dapat terjadi perubahan waktu aktifitas harian masyarakat setempat, begitu juga dalam durasi ibadah puasa serta pelaksanaan shalat dzuhur dan ashar maupun ibadah shalat sunnah lain yang dilaksanakan pada waktu siang hari.

Sebagai muslim, tentu kita cukup banyak bergantung pada penanggalan masehi dalam menjalankan aktifitas harian. Berbagai macam peringatan momentum bersejarah seperti Proklamasi Kemerdekaan RI, Sumpah Pemuda, Hari Pahlawan, Hari Santri Nasional, dan lain sebagainya sangat bergantung pada kalender masehi. Bahkan sistem penanggalan masehi yang berdasarkan revolusi bumi terhadap matahari juga dikaji di berbagai pesantren dan madrasah sebagai bagian dari khazanah keilmuan disiplin ilmu falak (astronomi). Oleh karena itu, sepertinya kurang tepat jika tahun masehi diklaim sebagai tahun kafir.

Memang tak ada salahnya jika kita menolak perayaan tahun baru masehi. Alih-alih menganggap sebagai tahun baru kafir, alangkah baiknya jika perspektif yang digunakan adalah penolakan berdasarkan unsur euforia berlebihan yang notabene menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Mengingat biaya perayaan sebesar itu akan lebih bermanfaat jika dialihfungsikan menjadi sedekah, amal jariyah, menyantuni anak yatim, serta membantu saudara-saudara kita yang memang jauh lebih membutuhkan. Selain itu, momentum pergantian tahun akan lebih khidmah jika diisi dengan kegiatan positif seperti dzikir atau do’a bersama agar bangsa Indonesia dijauhkan dari marabahaya serta menjadi bangsa yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.

Momen pergantian tahun sesungguhnya melatih kita untuk selalu mengintropeksi diri, dan tak lupa untuk bersyukur. Bersyukur atas karunia yang telah dianugerahkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala  kepada hamba-Nya selama melewati tahun kemarin. Sebab, dengan bersyukur, maka akan ada balasan kebaikan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala .

Allah Subhanahu Wa Ta’ala  berfirman:

وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ

Dan (ingatlah), tatkala Tuhanmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni`mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (QS. Ibrahim 14: 7)

Oleh karena itu, seyogianya kita yang masih diberikan kesempatan hidup sampai saat ini oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala  hendaknya berusaha untuk selalu melakukan perbaikan diri. Dari waktu ke waktu kita harus terus berupaya untuk menjadi lebih baik. Memang mungkin kita tidak selalu mendapatkan hasil yang lebih baik, tetapi setidaknya kita telah berusaha dengan keras menuju ke sana.

Ingatlah bahwa setiap kita diminta untuk selalu mempersiapkan hari esok secara lebih baik.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala  berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Hasyr 59:18)

Kata “Hari esok” pada ayat  di atas umumnya ditafsirkan sebagai hari akhirat, tetapi bisa juga sebagai hari esok dalam pengertian hari setelah hari ini. Baik dalam konteks hari esok biasa maupun hari akhirat, kita sebagai hamba Allah dituntut untuk selalu mempersiapkan diri menyongsongnya. Dan itu dilakukan dengan cara selalu memperbaiki diri, dari waktu ke waktu, sampai hari akhir benar-benar tiba.

Sebagaimana telah kami singgung pada tulisan diatas, dalam beberapa tahun terakhir, tantangan masyarakat Indonesia berupa maraknya ujaran kebencian, berita bohong, ektrimisme, radikalisme, hingga terorisme, perpecahan, perang, bahkan perang antar saudara, harus dapat dijawab secara nyata oleh umat Islam. Dengan senantiasa berintropeksi diri dan memperbaiki diri, masyarakat Muslim Indonesia harus aktif mengambil peran dan inisiasi untuk mendakwahkan keluhuran ajaran Agama.

Keragaman Indonesia harus dijadikan sebagai titik pijak untuk berlomba-lomba mewujudkan keadaban dan peradaban. Oleh karena itu, masyarakat Muslim Indonesia yang setidaknya memiliki dua momen libur tahun baru, yakni tahun baru Masehi dan Hijriyah, sudah sepantasnya dapat merengkuh kedua momen tersebut sebagai media untuk selalu memperbaiki diri.

Dengan harapan, akan senantiasa memiliki arti hidup. Menjadi manusia yang beruntung, yakni individu yang senantiasa mengisi hari-harinya dengan sesuatu yang positif, serta menebar kebaikan untuk sesama.

Karena sampai saat ini juga, kita masih mampu untuk beraktivitas, bekerja dalam keadaan sehat. Oleh karena itu, atas nikmat yang telah kita dapatkan, harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Di tengah perbedaan warga negara, ialah untuk bersama membangun persaudaraan se bangsa dan se-tanah air.
Jadikan tahun baru kali ini untuk melakukan perbaikan-perbaikan, agar kedepannya bisa lebih baik lagi. Semoga langkah kita senantiasa dimudahkan oleh Allah subhanahu Wa Ta’ala. Aamiin..

 

______________________
Catatan : Tulisan ini terbit pertama kali pada  Sabtu, 20 Oktober 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan revisi di beberapa bagian.
Editor: Sandipo

Sumber : Dari Berbagai Sumber Islami