Membangun literasi Menakar Hoaks

 
Membangun literasi Menakar Hoaks

LADUNI. ID, KOLOM- Setelah hebohnya berbagai kasus penghakiman massa, barulah pemerintah India menekan WhatsApp untuk melakukan pertanggungjawaban. 

Pemerintah India bahkan mendesak WhatsApp untuk membuka akses pemerintah untuk memantau isi perbincangan masyarakat untuk melacak alur persebaran berita palsu.

Solusi tersebut tentu sangat bermasalah. WhatsApp menolak tuntutan pemerintah tersebut, dan menyatakan bahwa mereka berniat untuk berfokus pada pendidikan literasi pengguna.  

Mereka iklan satu halaman penuh di Koran-koran India, yang berisi panduan mengidentifikasi hoaks dan berita palsu, serta membuka hibah penelitianbagi akademisi yang ingin mempelajari isu misinformasi.

Selain itu, WhatsApp juga menyadari permasahan distingsi antara “penyebar berita” dan “sumber berita”. Salah satu upaya mereka adalah dengan melabeli pesan yang di-forward. 

Mungkin fitur ini tampak sederhana, namun ia adalah sebuah ikhtiar untuk membantu pengguna memilah antara pesan personal dan pesan viral.

Mungkin upaya WhatsApp ini telah berada di arah yang benar, namun hasil konkrit belum tampak. Hal ini barangkali berhubungan erat dengan kondisi adopsi media digital dalam masyarakat Indonesia.

Dengan perkembangan teknologi digital, peredaran informasi tak lagi dimonopoli media; semua orang yang memiliki akses pada internet pun bisa menjadi produsen informasi. 

Namun dengan kekuatan yang besar, datang tanggung jawab besar pula. Hari ini, media massa konvensional tak lagi berperan sebagai satu-satunya gatekeeper yang mencari, memilah, dan melakukan verifikasi informasi untuk publik. 

Dalam ekosistem informasi yang makin terbuka dan “demokratis” ini, kita dituntut untuk memiliki kemampuan yang sama.

Sayangnya, tanggung jawab ini seringkali tidak disadari oleh warga karena lemahnya literasi media di Indonesia.

Hal ini menjadi dilema bagi WhatsApp. Pengguna internet di negara berkembang tentu merupakan pasar menggiurkan untuk mereka garap. 

Namun kasus-kasus di India, Indonesia, dan Brazil menunjukkan bahwa adopsi teknologi digital dalam masyarakat dengan tingkat literasi rendah juga rawan bencana informasi.

Sebagai perusahaan bernilai 19 juta Dollar, WhatsApp tentu memiliki banyak sumber daya yang mampu membantu pendidikan literasi. 

Mungkin sudah waktunya bagi kita untuk lebih mendorong mereka bertanggung jawab terhadap situasi yang—meskipun tanpa sengaja—mereka ciptakan dalam mencari untung. Atau kita perlu menunggu ada orang yang dibunuh gara-gara hoaks? 

Sumber: Firman Imaduddin, Kenapa Whatsapp Menjadi Lahan Subur Bagi Hoaks. www.remotivi.or.id