Saudi-Israel Ternyata Bersekutu, Palestina Harus Menghadapinya

 
Saudi-Israel Ternyata Bersekutu, Palestina Harus Menghadapinya

LADUNI.ID, Jakarta - Di permukaan, Arab Saudi dan Israel tak punya hubungan diplomatik. Tapi, semua juga tahu bahwa kedua negara sama-sama sekutu strategis dan berteman sangat dekat dengan Amerika. Di sini, berlaku prinsip “teman dari teman adalah teman”.

Dari sisi logika interaksi internasional, Arab Saudi dan Israel sebenarnya adalah sekutu dan kawan dekat. Paling tidak, tak mungkin kedua negara ini bermusuhan. Tak mungkin Arab Saudi berteman sangat dekat dengan Amerika, dan sampai sekarang pertemanan itu terjaga dengan mesra, kalau Arab Saudi memusuhi sekutu strategis Negeri Paman Sam itu. Jika Arab Saudi memusuhi Israel, pastilah sudah lama muncul friksi-friksi kecil antara Riyadh dan Washington. Bukankah selama ini Amerika sangat sensitif terhadap segala macam gelagat konfrontasi dari negara manapun terhadap Israel?

Akhir-akhir ini, Arab Saudi dan Israel semakin terbuka menunjukkan kerjasama mereka. Dalam krisis Suriah, invasi ke Yaman, bahkan penyelenggaraan ibadah haji, kedua negara diikat oleh apa yang merekas sebut sebagai “kepentingan bersama”. Beberapa hari yang lalu, berbagai media dunia secara serempak memberitakan adanya kesepakatan kedua negara terkait dengan larangan ibadah haji bagi kaum Muslimin Palestina.

Larangan ini awalnya merupakan kepentingan Israel. Ada lebih dari lima juta warga Palestina yang menjadi pengungsi di beberapa negara sekitar, seperti Jordania, Lebanon, Suriah, Mesir, dan lain-lain. Mereka terusir dari negeri mereka semenjak puluhan tahun yang lalu. Lalu, mereka beranak pinak, melahirkan generasi-generasi pengungsi di tempat pengungsian.

Yang paling mengganggu Israel, jutaan warga Palestina di pengungsian itu masih menyimpan impian untuk pulang kembali ke negeri mereka. Mereka punya klaim untuk kembali pulang ke Palestina, dan masalah kepulangan para pengungsi ini selalu saja disertakan dalam berbagai negosiasi antar kedua belah pihak. Berbagai dialog dan perundingan yang terkait dengan konflik Zionis-Palestina selalu saja memberikan porsi yang cukup besar terhadap masalah nasib para pengungsi Palestina.

Dengan alasan adanya harapan kembali itulah para pengungsi Palestina itu menjaga status kepengungsian mereka, dengan cara tetap memiliki kewarganegaraan Palestina, sekaligus menolak naturalisasi menjadi warga di tempat pengungsian, meskipun mereka sudah tinggal puluhan tahun di sana. Negara tempat pengungsian juga memberlakukan aturan untuk menolak memberikan kewarganegaraan/naturalisasi kepada para pengungsi Palestina, dengan alasan-alasan yang sangat jelas dan rasional.  Menaturalisasi warga Palestina jelas akan memberikan beban ekonomi yang sangat besar, selain akan menciptakan friksi politik dan budaya di dalam negeri.

Bagi Israel, opsi kepulangan para pengungsi Palestina adalah mimpi buruk yang menakutkan. Keberadaan para pengungsi dengan jumlah mencapai jutaan orang adalah saksi bisu tak terbantahkan terkait adanya pengusiran dan kekejaman yang dilakukan rezim Zionis itu. Juga, seandainya mereka betul-betul bisa pulang, hal itu akan menjadi masalah sangat besar bagi Tel Aviv. Menghadapi orang-orang Palestina yang tinggal di kawasan pendudukan, Jalur Gaza, dan Tepi Barat saja Israel sangat kewalahan. Apalagi jika harus juga menghadapi jutaan warga Palestina yang pulang dari pengungsian.

Israel sangat berkepentingan dengan naturalisasi para pengungsi Palestina itu. Berkali-kali Tel Aviv mendesak negara-negara tujuan pengungsian agar memberikan kewarganegaraan kepada para pengungsi; yang tentu saja ditolak oleh negara-negara itu.

Kini, Israel menggunakan senjata lain, yaitu lewat Arab Saudi. Caranya, Arab Saudi mengeluarkan keputusan untuk tidak memberikan visa kepada warga Palestina. Para pengungsi Palestina hanya akan mendapatkan izin untuk berkunjung ke Baitullah jika sudah mendapatkan kewarganegaraan di tempat pengungsian, dan artinya, mereka melepaskan ke-Palestina-an mereka; dan ini juga bermakna, mereka harus mengubur mimpi untuk kembali ke tanah air mereka sendiri.

Sungguh keji persekutuan ini. (Sumber: liputanislam.com/editorial)