Kedekatan dan keistimewaan Gus Dur di mata para habaib tidak bisa diragukan. Gus Dur adalah sosok yang sangat dekat dan akrab dengan para habaib, khususnya dengan keluarga Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi, Kwitang.
Shalawat Burdah secara luar biasa mampu menjadi penghubung tanpa batas antara seorang hamba dengan Tuhannya. Dan kisah yang dialami oleh Pangeran Diponegoro bersama pasukannya di atas adalah salah satu buktinya.
Jika direnungkan kembali, dalam kehidupan modern ini, Syi’ir Tanpo Waton menawarkan panduan praktis untuk menjalani kehidupan yang seimbang antara duniawi dan ukhrawi.
Setahun kemudian tepatnya pada tahun 1984 di Muktamar ke-27 di Situbondo, Gus Dur terpilih kembali menjadi Ketua Umum PBNU dengan khitthoh NU-nya. Gus Dur di minta Mbah Lim memimpin NU hingga 3 periode untuk mengawal Khittah NU agar semakin jelas.
Koneksi antara Bung Karno dan Kyai Achmad Basyari melalui Wiranatakusumah V memperlihatkan bagaimana peran strategis sosok "menak-santri" ini dalam menjalin relasi antara pemimpin nasionalis dengan ulama.
Pesan substansial yang saya tangkap, bahwa betapa Habib Ja'far Al-Kaff dan Gus Dur sangat mencintai bangsa dan negara ini. Sehingga tak pernah berhenti memikirkan dan mendoakan untuk kebaikan dan kemaslahatan bangsa ini.
Sebagaimana Gus Dur, komitmen NU dalam menghormati para dzurriyyah Rasulullah SAW sampai saat ini tak bisa digoyahkan. Secara konsisten warga Nahdliyyin dalam meneladani para sesepuh NU yang sangat menghormati para habaib.
Walisongo adalah nama yang sudah sangat akrab dan menyatu dengan Islam di tanah Jawa. Sosok dan warisannya sangat dihormati kalangan Islam Tradisi. Bagi Islam Tradisi, Walisongo bukanlah legenda, tapi kenyataan.
Salah satu benda bersejarah yang tersimpan di pesantren ini adalah Bendera Merah Putih berukuran besar, terbuat dari kain serat nanas yang dijahit. Sebelum menjahit bendera pusaka yang kita kenal, Ibu Fatmawati pernah meminjam bendera ini selama sebulan sebagai referensi.
Karya para ulama ahli tafsir sejak masa sahabat hingga saat ini berhasil dihimpun oleh ulama muda dan ulama masa depan yang dimiliki NU, Dr. KH. M. Afifudin Dimyathi (Katib Syuriah PBNU) atau yang akrab disapa Gus Awis, cucu Kyai Romly Tamim, Peterongan, Jombang.