Sebagian ulama berpendapat, bahwa seseorang yang melaksanakan shalat tetapi tidak khusyuk, maka shalatnya tetap bisa dianggap sah tapi tidak berpahala. Sebagian ulama lainnya menjelaskan, bahwa khusyuk adalah termasuk syarat sahnya shalat, maka tidak sah shalatnya seseorang yang tidak khusyuk.
“Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Sungguh, mengingat Allah (salat) itu lebih besar (keutamaannya daripada ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-‘Ankabut: 45)
“Perintahkanlah keluargamu melaksanakan shalat dan bersabarlah dengan sungguh-sungguh dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu. Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Kesudahan (yang baik di dunia dan akhirat) adalah bagi orang yang bertakwa.” (QS. Thaha: 132)
Jika kita belajar dari sejarah, maka akan didapati bahwa para ulama dan sarjana terdahulu melalui semua proses pendidikan yang disebut tarbiyah, ta'lim, ta'dib dan tazkiyah.
“Sungguh, benar-benar telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, dan (bersikap) penyantun dan penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At-Taubah: 128)
Istri dan suami adalah dua insan yang saling mengikatkan diri melalui perkawinan. Terdapat hak dan kewajiban bagi masing-masing termasuk yang berkaitan dengan adab.
Sudah tepat jika anak-anak bandel itu harus mendapatkan teguran atas kesalahan yang telah mereka lakukan. Namun kita tidak bisa sembarangan dalam menegur atau menghukum mereka. Seyogyanya kita harus menegur sesuai dengan tuntunan agama.
Menjadi orang pelit itu pasti tercela, baik di mata sesama manusia maupun di sisi Allah SWT. Tapi, begitu juga akan menyesal kalau semua hartanya diberikan kepada orang lain.
Di antara tanda ketakwaan adalah dengan menunaikan amanah. Dan di antara hal itu terdapat amanah yang berhubungan dengan hak-hak Allah SWT dan amanah yang berhubungan dengan hak-hak hamba-Nya.
Jika dikaji lebih mendalam soal ini, maka akan ditemukan penjelasan bahwa di dalam tradisi masyarakat Arab Jahiliyah, bulan Syawal itu dahulu dianggap sebagai bulan yang sial, termasuk untuk melangsungkan pernikahan.