Rajab adalah salah satu bulan haram (mulia) dalam Islam. Karena Rajab termasuk bulan mulia, maka tak heran bila banyak umat Islam menyambut bulan ini dengan penuh semangat, hormat dan antusias untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah sunnah mereka.
Manusia itu makhluk hidup. Ia bergerak, walaupun terkadang maju dan mundur. Memiliki sifat dinamis, kreatif bahkan inovatif. Pergerakan hidup akan membuat tubuh manusia menjadi sehat, aktif bermasyarakat membuat manusia bermanfaat, dan aktif beribadah pun akan melejitkan spiritualitas diri.
Iradah dan Ridho Allah adalah dua hal yang sering dicampur aduk oleh nafsu seseorang, sehingga akalnya pun ikut bingung. Para ulama telah memberi garis pemisah yang jelas antara keduanya, tapi nafsu terus mengajak agar keduanya dicampur aduk. Dan akhirnya kebingungan sendiri dalam menentukan sikap.
Budaya Jawa dikenal kaya akan tradisi yang sarat makna filosofis dan spiritual. Salah satu tradisi yang masih dilestarikan hingga kini adalah “neloni,” “ngapati,” dan “mitoni”.
Jika perempuan itu mitra para lelaki, maka kedua jenis manusia ini harus seiring selangkah, saling memahami. Sikap superior dan inferior sewajarnya ditiadakan.
Jika bulan Rajab adalah bulan mulia, yang di dalamnya terdapat keistimewaan digandakan 70 kali pahalannya bagi siapa yang beramal baik, demikian pula berlaku bagi yang berbuat keburukan.
Bulan Rajab adalah bulan mulia yang dinanti oleh banyak orang Islam. Hal ini dikarenakan bulan ini menandai semakin mendekatkan hadirnya bulan Ramadhan yang sangat agung dan mulia.
Bulan Rajab ini memang sangat istimewa. Salah satu keistimewaan tersebut terletak pada peristiwa luar biasa yang disebut dengan Isra’ dan Mi’raj Rasulullah SAW. Peristiwa ini terjadi pada bulan Rajab tahun ke-10 kenabian (620 M).
Melakukan hubungan seksual tanpa ada ikatan pernikahan di dalam Islam disebut dengan perbuatan zina. Perbuatan ini termasuk dalam kategori dosa besar setelah syirik, sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Furqan ayat 68-70.
Dalam bukunya, Al-Insaniyah Qabla At-Tadayyun, Habib Ali menjelaskan bahwa hukum mengucapkan selamat Natal merupakan persoalan khilafiyah (perbedaan pendapat) yang mana terletak pada keyakinan.