Dari syair yang berisi nasihat tersebut, dapat diambil satu keterangan yang sangat menarik. Imam Syafi’I mengibaratkan perbuatan zina itu sebagai utang yang harus dibayar.
Adalah sebuah fakta, bahwa sebuah bangsa yang kuat dan sejahtera tidak terlepas dari peran penting rumah tangga yang dibangun dengan nilai-nilai agama dan keharmonisan.
Mari sejenak untuk kita menyimak keharmonisan rumah tangga dari Rasulullah SAW, kesucian cinta yang berhasil beliau pupuk bersama istri-istrinya. Maka layaklah untuk kita jadikan pelajaran serta teladan dalam menjalankan rumah tangga.
Dalam Islam, ikatan di antara orang-orang beriman (Mukmin) sangat kuat, bahkan lebih kuat daripada ikatan darah dalam banyak hal. Persaudaraan ini memiliki landasan yang kokoh dalam Al-Qur'an dan Hadis serta direfleksikan dalam kehidupan sosial dan kemasyarakatan.
Selain mengutip Hadis Rasul, Syaikh Ibrahim juga mengijazahkan sebuah amalan yang beliau dapat dari Syaikh Ad-Dairobiy yang didapatkan dari para masyayikh atau guru-guru beliau, yakni anjuran supaya anak yang baru lahir dibacakan Surat Al-Qadar (Inna Anzalnahu).
Islam sangat menjunjung tinggi kehormatan dan kehidupan setiap manusia, khususnya seorang Mukmin (Muslim). Allah dan Rasul-Nya menegaskan betapa berbahayanya dosa yang timbul dari menodai kehormatan sesama, serta peringatan keras terhadap membunuh seorang Mukmin tanpa hak.
Kezaliman (kesalahan) kitalah yang menjadi urusan kita dengan Allah sehingga itulah yang seharusnya menjadi materi taubat kita. Adapun kezaliman orang lain terhadap kita, itu adalah urusan yang bersangkutan dengan Allah. Jadi, taubat itu adalah tentang kesalahan diri sendiri kita, bukan orang lain.
Ada nasihat yang sangat filosofis yang sekiranya dapat menjadi inspirasi, yakni "Kendalikan hawa nafsumu sebelum ia menghancurkanmu!" Dan kita tentu sepakat untuk terus menjadi hamba Allah SWT yang baik, bukan menjadi hambanya hawa nafsu yang cenderung pada keburukan.
Ketika kita berbicara tentang hakikat cinta, maka harus dikembalikan bahwa tidak ada yang patut kita cintai kecuali Allah. Cinta yang benar adalah cinta kepada Allah. Kalau kita mencintai yang lain selain Allah, maka cinta itu hanyalah refleksi dari cinta kita kepada Allah.
Seseorang tidak dapat dikatakan sebagai penasihat untuk hamba Allah, rasul-Nya, kitab-Nya, pemimpin-pemimpin Islam dan orang-orang Islam pada umumnya, jika ia tidak memulai sedini mungkin untuk menasihati dirinya sendiri dengan memperbaiki amal perbuatan dan tingkah lakunya.