“Sungguh, benar-benar telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, dan (bersikap) penyantun dan penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At-Taubah: 128)
Cinta dunia tidak terkait langsung dengan mencari, memiliki, dan menggunakannya, tapi terkait dengan cara menyimpannya. Mencari, memiliki, dan menggunakan dunia tidak dilarang, bahkan dianjurkan. Asalkan dunia yang dicari dan dimiliki tidak dipakai untuk merusak, tapi memperbaiki yakni untuk kemaslahatan.
Dalam hiruk-pikuk hubungan sosial seperti sekarang ini, trust (kepercayaan) itu seperti berlian. Ia sungguh sulit untuk ditemui dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Islam mengajarkan agar manusia, secara sendiri-sendiri atau bersama-sama memberikan perhatian dan pertolongan kepada mereka yang ditimpa kesusahan, penderitaan dan kelaparan.
Mendidik anak menjadi generasi yang cerdas, sholeh, dan berakhlak mulia adalah impian setiap orang tua. Namun, usaha untuk membentuk generasi yang berkualitas tidak dimulai saat anak lahir atau ketika mereka mulai bersekolah, melainkan sejak seseorang menentukan pasangan hidup.
Sudah tepat jika anak-anak bandel itu harus mendapatkan teguran atas kesalahan yang telah mereka lakukan. Namun kita tidak bisa sembarangan dalam menegur atau menghukum mereka. Seyogyanya kita harus menegur sesuai dengan tuntunan agama.
Sesungguhnya besarnya balasan tergantung dari besarnya ujian, dan apabila Allah cinta kepada suatu kaum Dia akan menguji mereka, barang siapa yang ridho maka baginya keridhoan Allah, namun barang siapa yang murka maka baginya kemurkaan Allah.” (HR. At-Tirmidzi)
“Jika seseorang yang kalian nilai baik agama dan budi pekertinya datang melamar salah seorang anggota keluarga kalian (anak atau kerabat kalian), maka nikahkanlah dia (terimalah lamarannya). Jika hal itu tidak kalian lakukan, maka akan terjadi fitnah dan kehancuran yang banyak.” (HR. Tirmidzi)
Seiring berjalannya waktu, sebagian kaum Yahudi di Madinah mulai merasa iri dan risih oleh berkembangnya Islam dan meningkatnya pengaruh kaum Muslim. Rasa iri dan permusuhan muncul di antara sebagian mereka, terutama pada suku Yahudi Bani Nadhir.
Rasulullah SAW menjadi uswatun hasanah, sebab akhlaknya dalam konsep perilaku. Selaras antara perkataan dan perbuatan. Beliau melakukan apa yang beliau sampaikan, bahkan sering kali melakukan terlebih dahulu sebelum menyampaikannya.