Hansaksi Atas Dasar Saling Merelakan

  1. Hadis:

    إنَّما الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ

    Artinya:
    Sesungguhnya jual beli (al bai’u) itu berlangsung atas dasar saling merelakan.

    Asbabul Wurud:
    Ad Damiri mengatakan: ”Ibnu Syekh meriwayatkan Hadis, yang berbunyi: "Seorang Yahudi datang ke Medinah di kala Rasulullah SAW masih hidup. Kedatangannya diiringi oleh 30 orang yang mengiringi kuda yang membawa gandum dan korma. Maka ditetapkanlah harganya satu dirham untuk satu satu mud (satu genggam). Orang-orang pada waktu itu tidak mempunyai persiapan makanan, sehingga banyak di antara mereka yang kelaparan, karena tidak ada yang akan dimakan. Mereka mengadu kepada Rasulullah SAW. Beliau bersabda: ”Aku pasti akan menemui Allah (wafat) sebelum aku memberi seseorang (harta) Dari harta salah seorang kamu. (Karena itu), Janganlah kamu saling mencaci, saling bersaing (dengan cara curang dengan menaikkan atau menurunkan harga barang). Janganlah kamu meracun (makanan) saudaranya. Jangan pula mengambil sesuatu (keuntungan) dengan membeli barang perniagaan sebelum dibawa ke pasar. Janganlah yang hadir menjuAl-Barang dagangannya kepada orang kampung (dengan harga yang merugikannya), kecuali atas dasar saling merelakan. Hendaklah kalian wahai hamba Allah bersaudara.

    Periwayat:
    Ibnu Majah Dari Abu Said al-Khudhri.


    Dalam Asbabul wurud di atas terdapat kata ”walaa tanaajasyuu” yang sebenarnya berarti Janganlah saling menaikkan harga barang dagangan, jangan menjualnya dengan cara licik. Orang yang melakukan perbuatan itu disebut "najisyan” karena Dia mengharapkan suatu keuntungan yang besar dengan cara menaikkan harga barangnya. Ibnu Umar menceritakan bahwa kami (para sahabat) pernah berpapasan dengan penunggang kuda yang membawa barang dagangan. Maka kami membeli barang dagangannya itu berupanan. Tetapi Nabi melarangnya, kecuali barang itu sudah sampai di pasar.

    Tujuan larangan itu ialah, agar harga barang dagang itu diketahui umum terlebih dahulu, baru kemudian berhak dibeli oleh siapa saja, dan untuk mencegah terjadinya penaksiran harga (yang hanya dipaksakan oleh pembeli). Demikian pula Beliau melarang orang kota menjuAl-Barang dagangan kepada orang udik (tanpa ia ketahui berapa harganya yang pantas). Juga Nabi melarang praktek dagang perantara (makelar) kalau harga barang membumbung tinggi setelah terjadi penimbunan (ihJikar) di tangan penjual.

    Maka tidak sempurnalah (maksud berjual beli itu) kecuali atas dasar saling merelakan (taradhin) antara penjual dengan pembeli, dengan syarat tidak dengan cara penipuan, tidak tercampur ke dalam barang yang dibeli itu modal si penjual (istighlal), tidak dengan cara penimbunan (untuk kemudian menaikkan harganya), atau dengan praktek penipuan dengan segala bentuknya.