Bila musim Haul Gus Dur tiba, ingatanku tentang Gus Dur meninggalkan istana menyembul lagi bersama dengan sejuta kenangan yang lain.
Pandangan Gus Dur yang sangat luas mengenai Islam itu juga yang dapat dipastikan kemudian menginspirasinya untuk tidak mempertaruhkan jabatan dengan pertumparahan darah.
Perjumpaan keduanya terlihat dalam cara mereka menghadirkan Islam yang inklusif, Islam yang tidak menghakimi. Pengajaran Guru Sekumpul membawa kedamaian hati umat, sementara langkah-langkah Gus Dur membangun jembatan perdamaian antarumat beragama.
Banyak kyai kita di Indonesia yang sebagian tindakan dan perkataannya dianggap kontroversial. Bahkan karena dianggap telah berlebihan, sejumlah kyai kita yang punya "laku kontroversial" itu sering mendapat cercaan dan hinaan.
Pasca terpilih sebagai Ketua Umum PBNU hasil Muktamar Situbondo, Gus Dur diundang oleh Kerajaan Arab Saudi, bersama lima orang pengurus. Termasuk di antaranya adalah KH. M. A. Sahal Mahfudz dan KH. Abdullah Syarwani.
Kisah mengenai Presiden RI ke-4, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur selalu menarik untuk disimak. Kisah keteladanan dan berbagai hal tentangnya terasa tidak pernah habis ditelan zaman.
Gus Dur mencintai manusia dengan tulus. Melayani dan menggembirakan hati mereka yang luka. Itu rahasianya. Para wali yang diziarahi juga demikian. Gus Dur besar sendiri meski andai pun tak jadi presiden. Beliau lebih besar dari Presiden.
Fenomena "putra mahkota" mengingatkan pada sosok tokoh muda di masanya, KH. Wahid Hasyim. Ia adalah seorang pemikir, pejuang sekaligus seorang ulama yang memiliki kontribusi besar bagi kemerdekaan Republik Indonesia.
Dalam kitab Raudhatur Rayahin karya Syaikh Afifuddin Al-Yaafi, terdapat sebuah kisah penuh hikmah tentang Imam Junaid Al-Baghdadi, seorang ulama besar yang dikenal dengan kebijaksanaannya.
"Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian sampai ia menundukkan hawa nafsunya untuk mengikuti ajaran yang aku bawa." (HR. Imam Al-Baihaqi)