Rasa bangga terhadap diri sendiri adalah salah satu penyakit hati yang sering menyertai manusia. Penyakit ini tidak mengenal status sosial, profesi, atau latar belakang seseorang.
Dalam diri setiap manusia terdapat empat hal yang tidak dapat dipisahkan dari satu sama lain, yaitu Harapan, Keinginan, Kegelisahan, dan Penderitaan. Siapapun mereka, sekaya apapun mereka, dan semiskin apapun mereka, empati hal tersebut pasti ada dalam diri manusia.
Kelemahan manusia tidak hanya terbatas pada fisiknya, tetapi juga pada aspek mentalnya. Manusia memiliki kecenderungan untuk terjerumus dalam perbuatan dosa dan noda karena kondisi labil yang dimilikinya.
Wejangan leluhur kita terdahulu “Noto Ati atau Menata Hati” adalah kemampuan seseorang untuk menjaga kestabilan emosi, berlapang dada dan menerima orang lain dengan segala kelebihan dan kekurangannya, merupakan konsep yang sangat penting dalam kehidupan ini.
Seburuk-buruk tipe manusia adalah orang yang jika hatinya rakus, langsung mencuri. Jika sudah kenyang, berbuat dosa. Jika kurang puas, terus menggerogoti. Jika telah merasa tercukupi, bertindak tidak senonoh.
Perasaan diri yang berlebihan atau yang sering disebut sebagai penyakit hati yang akut dapat berdampak buruk pada seseorang, bahkan bisa berujung pada kematian.
Agama seharusnya mengajarkan kita untuk menjadi lebih lembut berkasih sayang pada sesama, rendah hati, serta menebar manfaat di muka bumi. Jika setelah belajar agama, sikap dan perilaku seseorang justru semakin buruk, maka ada yang salah dalam proses belajarnya.
Ketenangan hati adalah keadaan di mana kita merasa damai dan tenang dalam pikiran, emosi, dan jiwa kita.
Apa yang terjadi setelah seseorang mati dalam kondisi mabuk? Apakah ada hukuman yang menanti di kuburnya?
Orang yang hatinya sakit akan sulit untuk bersikap jujur dan akan merasa iri terhadap kesuksesan orang lain.