Pernyataan diatas juga dikemukakan oleh para kalangan tabi’in seperti Hasan al-Basri, Muhammad bin Sirin, Qatadah dan Hisyam, termasuk pula Madzhab Hanafiyah (Imam Nawawi, Fathil Bari 12/13).
Masyarakat yang ingin melakukan kurban juga panitianya harus mempunyai ilmu sehingga dalam realisasinya nanti tidak mengurangi dan hilangnya pahala kurban.
Pendapat sunat muakkad tersebut di kemukakan oleh Jumhur ulama (Mazhab Maliki, Hambali dan Syafi’i) juga di sebutkan oleh Imam Nawawi dengan sunat muakkad berqurban. (Syekh An-Nawawi dalam kitabnya al-Majmu' 8/385).
Terdapat berbagai hal yang menjadi syarat-syarat ibadah kurban, di antaranya adalah sebagai berikut.
Hukum berkurban adalah sunnah muakkad yang bersifat kifayah apabila jumlahnya dalam satu keluarga banyak, maka jika salah satu dari mereka sudah menjalankannya maka sudah mencukupi untuk semuanya jika tidak maka menjadi sunnah ain. Sedangkan mukhatab (orang yang terkena khitab) adalah orang islam yang merdeka, sudah baligh, berakal dan mampu”.
Terkadang masih ditanyakan apakah larangan memotong kuku dan rambut adalah bagi yang berqurban atau hewannya? Secara jelas adalah orang yang berqurban, sebagaimana dijelaskan oleh Imam An-Nawawi:
Di samping itu apabila ada sebagian masyarakat ada yang melakukan penyembelihan qurban sebelum pelaksanaan shalat aidhul adha, itu di bolehkan, tetapi dengan syarat terangkat matahari dan telah lalu kadar waktu shalat dua rakaat dan dua khutbah yang ringan keduanya. (Syekh Zakaria Al-anshari, kitab Syarkawi ‘Ala Tahrir: 2: 466, Tuhfah Muhtaj: 9
Dalam terminologinya, Syekh Khatib Syarbini menyebutkn qurban itu penyembelihan hewan ternak untuk mendekatkan diri kepada Allah di hari raya idul Adha (10 Zulhijjah) hingga akhir hari Tasyriq (13 Zulhijjah).(Syaikh Khatib Syirbini, Mughni al-Muhtaj 6/122, Syekh Ibrahim, kitab al-Bajuri II:295),
Penjelasan tentang hewan qurban sebagai kendaraan di akhirat.