Sebagai anak, Lily merasa bahwa ubudiyah ibunya adalah teladan utama yang patut dicontoh. Beliau menjalani kehidupan dengan keseimbangan antara hubungan vertikal dengan Allah dan horizontal dengan sesama manusia. “Ibu adalah sosok yang sangat sederhana, tetapi memiliki hubungan spiritual yang sangat kuat,” kata Lily.
Indonesia, dengan keanekaragaman budayanya, menyimpan banyak kearifan lokal yang mengajarkan nilai-nilai kehidupan. Salah satunya adalah filosofi ilmu padi, yang mengajarkan bahwa semakin berisi seseorang, semakin rendah hati dan bermanfaat bagi sekitarnya.
Suatu hari, Gus Dur menemani ayahnya dalam perjalanan menuju Sukanegara untuk sowan kepada Ajengan Musa. Gus Dur mengenang saat-saat itu dengan penuh hormat dan kekaguman, terutama mengingat kedalaman ilmu dan kebijaksanaan yang dimiliki Ajengan Musa. Setelah mereka bersalaman, Ajengan Musa berbicara kepada KH. A. Wahid Hasyim dalam bahasa Sunda, mengisyaratkan suatu peringatan yang serius.
“Ibu selalu memberikan buku, baik ketika ada peristiwa istimewa seperti ulang tahun atau dalam keseharian kami. Melalui buku, Ibu menanamkan pelajaran hidup dengan cara yang mengesankan,” kenang Aisyah.
Sebagai seorang ibu, Nyai Solichah mendidik anak-anaknya dengan caranya penuh kasih sayang dan penuh penghargaan atas kebebasan mereka. Ia tidak pernah mengekang atau mengarahkan secara ketat, melainkan memberikan kebebasan penuh pada anak-anaknya untuk memilih jalan hidup mereka sendiri.
Hingga kini, makam KH. Achmad Basyari terus menjadi tujuan ziarah yang ramai dikunjungi masyarakat, baik dari sekitar Cianjur maupun dari berbagai daerah di Indonesia. Sebagai seorang sufi yang dihormati oleh tokoh-tokoh besar, termasuk Presiden Soekarno, keberadaan makamnya di Desa Cikiruh, Sukanegara, Cianjur, memiliki daya tarik spiritual yang kuat.
Pengakuan ulama kepada Ir. Soekarno sebagai seorang pemimpin yang sah suatu negara dengan gelar Waliyyul Amri Ad-Dharuri bis Syaukah, telah memberikan dampak yang sangat signifikan.
Kyai Asnawi juga menggubah sebuah doa populer untuk mendoakan Indonesia. Doa ini masih biasa dilantunkan di Masjid Menara Kudus pada pembukaan pengajian rutin bulanan. Doa berupa syair yang dipadu dengan shalawat ini juga sering dilantunkan oleh para pelantun shalawat.
Pada 1325 H atau 1907 M, Percetakan Al-Karimi Mumbai India menerbitkan kitab terjemah Jawa Minhaj al-Atqiya karya Haji Muhammad Sholih bin Umar Samarani atau yang akrab dikenal dengan Kyai Sholeh Darat (1820-1804). Pada halaman 216-219 dijumpai penjelasan Kyai Sholeh Darat tentang “tombo ati” atau obatnya hati.
Gus Sholah, teguh memegang nilai-nilai waisan Nyai Hj. Solichah berupa kejujuran, keberanian, kesederhanaan, egaliter, dan kecintaan pada ilmu dan agama. Tak heran setelah menyelesaikan studinya, Salahuddin Wahid mampu meniti karier di berbagai bidang dan mendapat banyak kepercayaan.