Tradisi mesantren di Makkah kemudian surut sejalan dengan kemerdekaan Indonesia dan ketatnya faham Wahabi di Saudi Arabia. Santri-santri Banten pada waktu berikutnya mesantren kepada murid-murid Syekh Nawawi tanara baik yang ada di Banten maupun di luar Banten.
Tiga Purnama dari sebuah generasi platinum telah menunjukkan keteladanan yang tak ternilai bagi kita. Mereka bertiga adalah manusia ajaib yang pernah Gusti Allah anugerahkan untuk bangsa Indonesia.
Syeikh al-‘Arif Billah Abdul Malik bin Ilyas Purwokerto (Mbah Malik), adalah orang yang sangat alim dan hafidz (hafal al-Qur’an), Ahli fiqih dan Tafsir. Mursyid Tarekat Naqsabandi Kholidiyah dan Tarekat Syadziliyyah.
Ada kisah tak kalah menarik lainnya. Habib Luthfi sewaktu mudanya pernah diutus sang ayah untuk berkunjung ke Pesantren Al-Ghazali Bogor. Dalam keadaan sakit, Kiai Abdullah setelah Subuh sudah meminta orang rumah menyiapkan hidangan untuk tamu istimewanya yang akan hadir.
Sejak muda, Kiai Muhaiminan termasuk santri yang gemar berolahraga. Dengan perawakan yang tegap dan gagah, Muhaiminan muda cenderung gemar berlatih bela diri, khususnya pencak silat. Hobi itulah yang selalu menemaninya saat menimba ilmu.
Wahabi hanyalah kelompok (harakah) biasa atau sebut saja semacam organisasi. Wahabi tak memiliki pendapat sendiri, karena ia sepenuhnya mengikuti mazhab Hanbali.
Ada kisah menarik tentang Mbah Jamil. Seorang Habib yang tinggal di Jakarta, suatu malam bermimpi didatangi Nabi s.a.w. hanya untuk mengatakan beliau mengirim salam untuk Kiai Jamil.
Saya melihat apabila watak ke-Jawa-an sangat lentur, mudah larut tapi mempengaruhi citarasa. Ya, sebagaimana telaah Ibnu Khaldun, kondisi sosio-kultural-antropologis mempengaruhi watak manusianya, demikian pula watak orang Jawa. Persis kunyit yang bisa tumbuh di manapun dan pas dipakai campuran jamu apa pun.
Dalam khazanah Islam, disebutkan bahwa Tuhan akan mengampuni sebesar apapun dosa hamba-Nya jika mau bertaubat dan minta maaf pada-Nya. Namun, Tuhan tidak akan mengampuni dan memaafkan dosa sesama anak Adam, jika belum meminta maaf dan dimaafkan oleh orang yang disalahinya sekecil apapun dosa itu.
Tak hanya ada. Tugas kewalian seolah selalu kontekstual terhadap zaman. Di zaman serba cepat, serba tergesa dan serba gupuh ini, pasti masih ada sosok-sosok yang La Khaufun Alaihim wa La Hum Yaḥzanụn sebagai penyeimbang.